Kamis, 18 Desember 2014

Saat Anak Menyikapi Perbedaan

Anak-anak adalah pengamat ulung.  Saat kecil,  mereka mengamati dan menirukan apa yang mereka tiru.  Saat remaja,  mereka mengamati dan mengolah itu menjadi lelucon atau kritikan.

Di Indonesia,  negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,  mau tidak mau anak-anak akan bersinggungan dan bersentuhan dengan nuansa Islami. Terlebih menjelang hari raya Idul Fitri,  di mana semua iklan di Tv dan radio,  menjadi bernafaskan Islami dan berirama gambus.

Waktu anak-anak masih kecil,  dengan cerianya mereka ikut menyanyi "Sholatullah ..  Sholamullah ... Dst"  yang memang nadanya ear-catching bahkan untuk kita yang biasa.  Atau melantunkan adzan seperti di TV atau radio tiap maghrib " Allahu Akbar.... Allahu Akbar.... Dst" ...  Bahkan bungsu ku sangat suka dengan pelafalan sengau di bagian "Asyhadu Allaa Ilaaha.. Dst".

Hal ini kadang-kadang disikapi reaktif oleh orang tua dari agama minoritas yang takut anaknya terpengaruh menjadi kurang beragama terhadap agamanya sendiri. Padahal kita tau,  anak-anak ini masih seperti monyet.  Monkey see,  monkey do.  Tapi mereka gak mengerti maknanya.

Wong saya sendiri waktu kecil suka banget menirukan apapun yang terdengar dari loudspeaker langgar kampung belakang rumah.  Yang menarik bagi saya adalah saat puasa orang tidak putus menyanyikan "Allah humma salli ‘ala Muhammad... Dst".  Bahkan saya dan kakak saya berlomba menghafalkan dan turut menyanyikan shalawat tersebut, tanpa tahu maknanya.

Yang menyedihkan adalah setiap kali kita bepergian naik mobil,  dihampir setiap jalan non arteri,  ada segerombolan orang yang membawa jaring atau kotak untuk 'pembangunan masjid'.  Dulu di sekitar Senen,  setiap ke kantor selalu ada orang yang meminta sumbangan,  sampai sopir taksi yang saat itu saya tumpangi  bilang "Ini mbangun masjid,  sudah 5 tahun kaga kelar-kelar masjidnya" 

Hal inipun gak luput dari pengamatan anak-anak.  Sulungku sampai bisa menirukan doa dan ucapan yang dia dengar saat melintas di antara pencari dana ini "Terima kasih amalnya, Bapak Ibu Saudara-saudara, semoga Allah membalasnya, selamat melanjutkan perjalanan dan aktifitas" yang diucapkan berulang-ulang dengan kecepatan shinkansen sampai tiap suku katanya terdengar tumpang tindih.

Gue harap lain kali ada model pencarian dana yang lebih elegan dan aman daripada menaruh anak-anak dan para lanjut usia di tengah jalan untuk membawa jaring atau kotak amal.  Demi Indonesia yang lebih baik.

Demikian juga saat belakangan mulai trend burqa (entah trend entah apa,  karena dulu tahun 80-90an saya gak pernah lihat yang begini).  Pemakai burqa  berkerudung dan berpakaian  panjang ke lantai berwarna hitam dan wajah tertutup cadar hitam pula,  sehingga hanya terlihat bagian mata.  Beberapa yang ekstrim,  bagian mata pun bercadar kain yang lebih tipis. 

Menakutkan?  Iya.  Gue aja dalam hati kecil ada serem. Tapi karena saya harus bertoleransi,  ya saya berusaha bersikap biasa.  Minimal tidak melihat dengan mencolok (walaupun memang mencolok).

Pernah anak-anak saya menanyakan, kalo semua orang berpakaian tertutup,  bagaimana anaknya tau mana yang mamanya.  Saya juga gak bisa menjawab.  Wong saya juga gak tau  apakah harus diam,  mengalihkan pandangan,  atau boleh senyum.  Kalo pun setelah kita senyum dan dia senyum balik juga saya gak akan lihat,  wong ditutupi.

Tapi suatu hari, anak tetangga yang masih kecil yang melihat seperti itu,  langsung berteriak dengan gembira campur excited...  "Mama!  Ada Ninja Hattori!!"

#Lahhh....

Selasa, 09 Desember 2014

Mati Konyol ala Indonesia

Nyaris tiap hari gue melewati tol Jagorawi.   namanya juga penghuni pinggiran Jakarta. Maklum, saking pinggirnya,  rumah gue udh masuk  Kabupaten Bogor.

Beberapa minggu ini,  ada beberapa kegiatan di pembatas jalan tol antara yang arah ke Bogor dan arah ke Jakarta.  Partisi yang dari besi diseling  bunga yang beberapa kali disruduk mobil (termasuk salah satunya mobil anak Ahmad Dhani),  diganti beton.

Suami spontan bilang: kok diganti beton sih?  Kan lebih bahaya?  Dalam artian,  bila ada kecelakaan yang menghantam pembatas jalan,  impactnya akan lebih fatal.

Reasoning saya: daripada kecelakaan di satu arah yang melompat ke arah sebaliknya (seperti kasus anak Ahmad Dhani)  dan menyebabkan mobil dari arah sebaliknya menjadi korban,  mungkin sekalian aja,  mati sendiri yg nyeruduk.  Mungkin gitu logikanya.  Entah.

Selain itu,  proses pembuatan beton setinggi ~1  meter itu dilakukan manual,  siang hari,  dengan pengamanan sangat minim kalo bisa dibilang gak ada. Pengaman para tukang ini hanyalah cone orange yang dipindah2kan mereka sendiri. Karena mereka mengerjakan dengan arah menuju Jakarta.  One slab at a time.

Adapun jalan masih dibuka 3 lajur,  cuma di beberapa lokasi yang diberi cone menjadi 2.5 lajur. Dan mobil-mobil tetap melaju dengan kecepatan tinggi,  sambil banting setir ke kiri kalau melihat cone.

Baru sadar,  memang nyawa warga negara Indonesia nyaris gak ada harganya,  kalau kalian orang biasa-biasa.  Lihat bedanya sangat jauh dengan pejabat menengah atau orang kaya yang ogah kena macet dan menyewa voorrijder untuk mengamankan jalur bepergiannya.  Sungguh ironis.

Apakah karena peribahasa "Mati satu tumbuh seribu",  "Esa Hilang Dua Terbilang",  makanya mati murah marak dimana-mana?  Walahualam.

Rabu, 26 November 2014

Gue Sekarang Isi Shell

Gue bukannya sombong,  ini kenyataan,  bahwa udah dua minggu ini,  gue isi bahan bakar untuk X-Trail 2006 bersejarah lungsuran dari suami,  dengan Shell.  Yang Super,  sih.  Belum yang V-Power. 

Sebagai gambaran,  Shell Super itu setara Pertamax,  dan Shell V-Power itu setara Pertamax Plus. (Lah kenapa gue malah promosi Shell? )

Anyway,  pindahnya gue dari premium Pertamina ke super Shell,  bukanlah berawal dari kenaikan BBM,  walaupun waktunya berdekatan.  Tapi gara-gara mobil gue yang diisi premium itu,  suatu hari ngadat.

Ya,  namanya mobil dipake,  gue maklum lah,  kalo sekali-kali ngadat.  Manusia aja kadang suka ngadat.  Masalahnya,  gue lumayan rajin menjajani mobil gue di bengkel resmi Nissan yang kebetulan deket dari rumah.  Bahkan terakhir,  gue udah kontrol 160rb km di bulan April 2014 (menurut catatan bengkel resmi).

Yang nyebelin,  adalah,  ngadatnya pas gue lagi nyetir ke Bandung,  di tengah jalan tol Cipularang.  Saat tanjakan,  otomatis gue gas supaya bisa mengejar truk di depan, tapi bukannya melaju,  malah berasa mundur ke belakang karena kecepatan menurun dan ada gaya kelembaman (jadi ingat pelajaran Fisika sama Pak Nyoo dan Pak Mariadi).

Untunglah saat itu,  kita mendekat dengan rest area di sekitar Km 80. Jadi langsung menepi.  Dalam deg-degan gue,  gue telepon Nissan Road Assistance,  dan telponnya sibuk.  Walhasil gue telepon Nissan di Bandung,  dan outlet pertama yang gue telepon kaga ada bengkelnya. Cuma showroom. 

Akhirnya dengan tabah dan tawakal,  gue telepon lagi,  kali ini outlet Nissan di Soekarno-Hatta Bandung.  Dan segera minta disambungkan ke SA (Service Advisor)..  (mengenai istilah-istilah bengkel,  gue rada gape,  karena dulu waktu kerja di Isuzu, temenannya sama bapak2 batak yg jadi kepala bengkel.

Setelah nanya dan curhat,  kecurigaan pertama dari bang SA adalah saringan bensin kotor,  karena saat jalan lurus (bukan tanjakan)  masih bisa mencapai 100km/jam (sambil ngeden).  Jadi akhirnya,  dengan memberanikan diri,  gue lanjut melaju ke Bandung.

Untung pulangnya ke Jakarta, karena banyak turunan,  mobil melaju lancar.  Masalah hanya saat tanjakan.

Saat besoknya kita masukkan ke bengkel langganan,  gue minta untuk sekalian "kuras tangki" (btw ini kuras tangki ke 2 sejak mobil ini gue yang bawa,  sebelumnya yg nguras mas2 Shop&Drive yang datang ke rumah,  karena mobil bermasalah juga).

Akhirnya,  Bang SA menanyakan pertanyaan kunci: "Ibu isi bensin di mana biasanya?".

Kemudian gue jawab,  di sinu dan di sono (2 lokasi Pertamina yang terdekat dari rumah). 

"Ibu lain  kali jangan ngisi di sinu dan di sono,  Bu.  Waktu itu ada Nissan Juke yang sampai pompa injeksi nya kena karena tangki bensin ada airnya setelah isi di sono."

Dhuar !!! Barulah gue sadar,  bahwa tulisan "Pertamina" ,  dan "Pasti Pas" ,  bahkan senyum "Mulai dari 0",  gak berarti mereka baek ama elo.  Itu cuma asesori doang.

Jadi sejak saat itu,  mulailah gue isi Shell.  Secara,  gue mamak2 setengah baya. Kalo kendaraan ada apa2 di jalan,  deg-degannya dan jantungan gue,  serta kenaikan tensi darah gue,  gak setara dengan kenaikan selisih bensin kalo gue pake bensin yg lebih reliable.

Gak semua SPBU Pertamina brengsek sih. Tapi ya gitu deh....

Senin, 10 November 2014

Glorified Violence

Renungan Hari Pahlawan (telat posting) ini sudah ada di kepala selama beberapa waktu,  tapi baru sekarang dituliskan.  Mengapa orang Indonesia kalo gak suka sesuatu adanya rusuh,  bukan ngomong Baik-baik.  Kalau tidak setuju dengan sesuatu,  tipikalnya kita akan bilang "iya"  di depan,  kemudian bikin rusuh di belakang.  Apakah karena kita gak cukup punya keberanian untuk berkata "tidak" di depan orang yg tidak kita setujui?  Atau kita terlalu terpaku untuk tujuan membahagiakan orang lain (dan membuat diri sendiri tertekan)? 

Apa arti pahlawan?  Orang yang berjuang demi nusa dan bangsa.  Itu jawaban standard. 

Pertanyaan berikutnya adalah,  sebutkan nama-nama pahlawan yang kita kenal!  Jawabannya mungkin Pangeran Diponegoro,  Imam Bonjol (Peto Syarif),  Pattimura (Thomas Matulessy), Bung Tomo,  dll.  

Biasanya jawaban yang masuk adalah pahlawan (atau orang yang diberi gelar pahlawan)  karena sudah berperang angkat senjata di era kemerdekaan.  Sangat jarang (bahkan langka)  orang menyebut Sutan Syahrir, Bung Hatta,  apalagi Tan Malaka,  apalagi macam John Lie. 

Padahal jalur diplomasi politik itu sangat penting untuk menjadi berdaulat (diakui oleh negara lain), krusial,  tapi diabaikan bobot perjuangannya. Bahkan saat kita merdeka 1945 itu,  negara-negara Barat belum melihat kita sebagai negara berdaulat.  Mereka masih mengakui pemerintahan kolonialisme Belanda.  Makanya 1947, 1948, 1949 berturut-turut masih ada Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville,  Konferensi Meja Bundar. 

Menurut gue sih, ini akibat brainwash orde  baru,  dimana gelar pahlawan diberikan selektif dengan dasar politik.  Jadi ya,  ada yg benar-benar ikut berjuang demi Nusa dan bangsa,  tapi bukan dari jalur perang fisik,  rada diabaikan.  Dan "kekuatan"  fisik ini,  diabadikan dalam tubuh TNI terutama Angkatan Darat,  dimana mantan Presiden kita sempat berkiprah sebelum naik ke tampuk pimpinan secara kontroversial dengan Supersemar nya. 

Memang sih,  dari jaman Mataram Hindu, Singasari,  Majapahit,  Mataram Islam,  semua pergantian tampuk pimpinan berdarah-darah.  Ken Arok yang orang kebanyakan merampas keris buatan Empu Gandring,  membunuh pembuat Keris,  membunuh Tunggul Ametung,  mengawini istri Tunggul Ametung,  Ken Dedes,  walau akhirnya terbunuh dengan keris yang sama.  

Jayanegara juga beberapa kali di goyang Makar selama tampuk kepemimpinannya.  Bahkan Perang Diponegoro adalah perebutan Tahta antara Diponegoro (sulung yang merasa lebih berhak atas tahta)  dengan adiknya (yang didukung Belanda sebagai manifestasi Politik Devide et Impera). 

Imam Bonjol dalam perang Paderi bahkan adalah pembunuhan umat Islam oleh kaum Paderi (kaum berjubah dan berkorban yang merasa Islam nya lebih murni daripada kaum yang Islam nya bersarung).  ~ mengingatkan gue akan nasib pemeluk aliran Ahmadiyah,  Syiah, dll yang non Suni  dan non Wahabi. 

Bung Tomo yang merupakan tokoh sentral hari Pahlawan kali ini pun,  adalah tokoh diskriminatif yang membenci orang-orang Cina, Tionghoa. Yang mungkin belum tahu,  bahwa sejalan dengan perlawanan terhadap Belanda,  juga ada pendarahan terhadap Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya,  dengan alasan orang Tionghoa adalah antek Belanda.  ~ bandingkan dengan peristiwa Mei 1998 di Jakarta,  dimana banyak penjarahan dan pemerkosaan etnis Tionghoa yang bahkan hingga detik ini tidak diakui oleh pemerintah. 

Begitu banyak sejarah kelam,  yang tidak berani disuarakan,  sehingga tidak pernah kita belajar dari masa lalu. Kita abai.  Dan seperti keledai bodoh,  berulang-ulang terperosok dalam lubang yang sama.  Lubang pendewaan terhadap kekerasan. Merasa kekerasan adalah satu-satunya jalan menuju cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu masyarakat adil makmur sentosa.  

Nama pahlawan orang Cina pun,  kita gak bermimpi akan disorot khusus.  Bahkan cenderung ditutup-tutupi,  dan gak pernah disebut di buku sejarah kita (ya kan?)   sehingga kesannya,  Cina-cina ini cuma numpang hidup di sini,  mau enaknya tapi penghisap darah masyarakat pribumi, pengkotak-kotakan yang didengung-dengungkan sejak era orde baru dan sukses dipakai hingga sekarang. 

Jasmerah ~ kata Bung Karno.  Jangan sekali-kali melupakan sejarah.  Tapi sejarah macam apa yang kita ingat - ingat?  Karena bahkan  buku sejarah adalah sumber kebohongan terbesar jati diri kita sebagai suatu bangsa.  

Sampai kapan? 


Senin, 03 November 2014

Ketika Anak Sakit

Buat yang sudah jadi mama,  mungkin sependapat sama gue,  kalo saat yang paling mengkhawatirkan adalah saat anak kita sakit. 

Urut-urutan khawatirnya sbb:

1. Sakit ringan (batuk pilek tanpa disertai panas),  mama harus sehat dan awas untuk ingat memberikan obat sesuai dosis (terutama bila anak ada beberapa dan dosis berbeda-beda)

2. Sakit sedang (batuk pilek dengan panas dibawah 40°C, mama membatalkan semua janji dan acara (termasuk mendiskon waktu tidur) untuk berjaga dan bersiap dengan kompres

3. Sakit berat (anak menolak makan/minum,  lemas, atau mengeluh sakit),  mama berdoa sama Tuhan supaya sakit anaknya dipindahkan ke mama,  karena gak tega melihat anak sakit

4. Anak opname di Rumah Sakit,  mama rela mati supaya anaknya sembuh,  paranoid dengan semua tindakan suster/dokter yg menyebabkan anak nangis,  bahkan memusuhi tenaga medis.

Gue doakan sih kita gak usah melewati masa-masa No 3 &  4. Tapi kadang kita gak bisa memilih. Misalnya tahun 2002, sulungku harus opname karena bronchiolitis. Fase 1-4 itu terjadi dalam waktu 12 jam saja. 

Bagaimana dengan kesehatan mama sendiri,  relatif to kesehatan anak-anaknya?  Biasanya mama akan bertahan saat anak-anak sakit,  kemudian gantian tepar setelah anak-anak sembuh.  Biasanya....

Dan pagi ini,  anak sulung sudah di tahap 2. Jadilah dilema antara tetap pergi kerja,  atau diam di rumah menjaga dia yang lagi tidur.  Apalagi kalau urusan kerja sudah pending dari minggu lalu.  *mewek*

Get well soon,  A.

Rabu, 29 Oktober 2014

Terimakasih atas Dosa


Tulisan ini bukan mengacu kepada agama tertentu, walaupun Katolik sebagai agama yang gue yakini, sedikit banyak akan memberi 'warna' pada tulisan ini. Tulisan ini lebih pada refleksi pribadi tentang dosa dan manfaat dosa. Manfaat? Iya.


Mana ada manusia yang tidak berdosa? Semua manusia sebagaimana menginspirasinya dia, pasti mempunyai kelemahan, kelemahan manusia itulah yang menjadikan manusia jatuh ke dalam dosa. Bahkan secara teologis, bayi begitu lahir pun sudah berdosa. Yaitu mewarisi 'dosa asal' dari Adam dan Hawa sebagai kakek dan nenek moyang, yaitu melanggar perintah Tuhan untuk tidak makan 'buah terlarang' yakni buah pengetahuan baik dan buruk. Begitu kata guru katekumen (kursus persiapan baptis Katolik) dulu.

Apa sih definisi dosa? Dosa adalah perbuatan / pikiran yang menjauhkan manusia dari Allah, dan merusak hubungan sesama manusia, dan dilakukan dengan bebas (tidak dalam paksaan), sadar (tidak dalam keadaan terbius), dan tahu (bahwa yang dilakukannya adalah salah). Itu definisi dosa menurut agama Katolik.

Dari definisi di atas, akan ada 2 kriteria mendasar: 
1. menjauhkan manusia dari Allah
2. merusak hubungan sesama manusia.

Bahkan lebih jauh lagi, 10 Perintah Allah yang diterima oleh Nabi Musa di Gunung Sinai pun, bisa dibagi 2.

No. 1-3 termasuk yang menjauhkan manusia dari Allah

1. Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepadaKu saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu
2. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat
3. Kuduskanlah hari Tuhan


Adapun no. 4-10 merusak hubungan sesama manusia (dan menjauhkan manusia dari Allah)
4. Hormatilah ibu-bapamu
5. Jangan membunuh
6. Jangan berzinah
7. Jangan mencuri
8. Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu
9. Jangan mengingini istri sesamamu
10. Jangan mengingini milik sesamu secara tidak adil


Sekarang ambillah contoh A, seorang wanita yang pakaiannya seksi, merokok, mungkin juga gak pernah beribadah yang kelihatan orang ataupun bahkan seorang ateis/politeis sekalipun, liberal secara seksual. Siapa yang dirugikan? Masalah dosa itu urusan Tuhan toh. Apalagi bila dalam karya-karyanya, wanita ini memang sangat sosialis dan punya keperdulian tinggi pada orang miskin dan punya empati tinggi untuk orang yang berkekurangan, ringan tangan untuk memajukan orang lain.

Kebalikannya, contoh B, wanita lain, yang pakaiannya sopan, tertutup rapat, beribadah supaya terlihat orang, dan kelihatan seperti istri baik-baik, tetapi gemar korupsi yang berujung pada kesengsaraan orang lain. Dosa juga sih. sama-sama dosa. Tapi dosanya gak cuma terhadap Tuhan, tapi juga terhadap sesama.

SAYANGNYA..... di masyarakat kita yang sakit ini, B inilah yang lebih diterima di masyarakat. Orang seakan-akan memicekkan mata terhadap fakta bahwa dosanya gak cuma ke Tuhan, tapi juga ke sesama. Adapun A akan diungkit-ungkit terus dosanya yang menyakiti Tuhan. Bahkan kita pun gak tahu, apakah Tuhan tersakiti dalam proses dosanya itu.

Bila gue sendiri ditempatkan dalam posisi memilih menjadi A atau B, gue akan memilih menjadi A dan menanggung dosa sendirian, daripada menjadi B. Tentunya akan sangat ideal bila kita bisa menjadi wanita alim, istri baik-baik, berpakaian tertutup rapat, rajin beribadah, dan juga philantropis, dermawan, menginspirasi banyak orang, dan membantu banyak orang miskin. Tapiiii.... biasanya yang serba sempurna ini akan jatuh ke dosa lain. Dosa KESOMBONGAN ROHANI, bahwa dirinya lebih baik dari orang lain, dirinya sempurna, bahkan mungkin berasa lebih sempurna dari Allah dan berhak menghakimi orang lain yang gak sesempurna dirinya, yang mungkin bahkan Allah pun gak menghakimi.... 

Jadi bila anda masih merasa berdosa, berterimakasihlah pada Allah, karena itu salah satu caraNya untuk membuat kita merasa kecil dan selalu bergantung padaNya... Terimakasih Allah akan anugerahMu yang bernama dosa.... 

-- perspektif dari seorang pendosa -- 

Senin, 27 Oktober 2014

Vespa

Weekend kemarin, kita jalan-jalan ke Pacific Place, SCBD. Sebenarnya, kita bukan keluarga yang suka ke mall. Terutama karena pekerjaan gue sehari-hari mengharuskan gue hang out dari mall-ke-mall. Sudah cape. Jarang juga masuk ke Jakarta, kecuali ada janji. Karena walaupun tol dalam kotanya lancar, tapi jalan dari kompleks menuju ke jalan tol itu macetnya na'adzubillah min dzalik.

Tapi setelah sampai disana, ternyata ada pameran Italian products di Pacific Place.


Seminggu sebelumnya ketika berkeliling untuk urusan pekerjaan, gue sempat melihat designer gowns yang haute couture dari perancang-perancang Italy. Dan kemarin, sudah gak ada designer gowns tersebut. Yang ada yaitu pameran Vespa. Ya. Vespa.


Seketika teringat nostalgia saat masih kecil, papa selalu kemana-mana naik Vespa. Pertama Vespa coklat yang rada kecil, dan roda depannya benar-benar mirip bemo. Kemudian berganti Vespa biru muda dengan sayap yang lebih lebar. Sampai akhirnya papa berhenti naik motor pasca kecelakaan motor dimana dia menghindari anak berseragam putih merah menyebrang jalan di Jln. Ngaglik, yang menyebabkan papa terpelanting dan luka borok sekujur tungkai.

Saat papa masih naik Vespa dulu, gue demen banget naik Vespa sama papa, bonceng di depan. Berdiri. Dan jangan harap ada windshield. Udah dicopot. Jadi berangin. Rambut pendek berkibar-kibar ke belakang. Itu jaman TK. Apalagi kalau ke toko bareng, karena jarak ke toko lumayan jauh untuk anak TK.

Saat beranjak SD, karena gue udah terlalu tinggi untuk berdiri di depan papa, dan mengganggu pandangan saat mengendarai Vespa, lokasi gue pindah ke belakang. Bonceng belakang. Ngangkang lah. Gimana lagi?

Saat udah kelas 4 SD, dengan tinggi 144cm dan berat 44 kg, papa udah mulai risi melihat gue masih ngejodog ngangkang di Vespa bututnya. Walhasil, gue dilarang naik Vespanya sampai gue bisa bonceng miring. Supaya celana dalam gak kemana-mana di balik seragam SD gue. Tapi, gue gak bisa bonceng miring. Aku merasa gagal jadi wanita. Jadilah sejak saat itu, gue dikasih uang untuk naik becak .... #mewek.

BTW, mengenai bonceng miring. bahkan sampai sekarang gue teteap gak bisa bonceng miring. Sesekalinya bonceng miring ngikut Sentiono Leowinata saat kelulusan SMA, dan kita harus legalisir rapor dan STTB, itu membuat motor pinjaman itu oleng ke kanan ke kiri. Sejak saat itu, Seng pun menyuruh gue bonceng ngangkang, atau jalan kaki balik ke sekolah.

#nasib........

Rabu, 22 Oktober 2014

Runaway Mom

Setelah sebelumnya sepedaan menjadi olahraga yang hits, sampe orang-orang spending jutaan sampai puluhan (1 teman bahkan ratusan juta) untuk beli sepeda, olahraga berikutnya yang happening adalah lari.

Seluruh perusahaan besar sepertinya belum dianggap 'besar' sebelum mengadakan acara lari. Mulai dari Fun Run, 5K, 10K, Half Marathon, sampai Full Marathon. (Sebagai gambaran Full Marathon = 42km).

Sebagai orang yang aslinya bergaya hidup sedentary, jujur, gue benci keringetan. Selain harus ganti baju (kalo nggak masuk angin #tuaitusederhana), rambut basah, harus keramas, cucian jadi banyak. Jadi saat sepedaan lagi nge-trend, gue ya tenang-tenang aja. Saat lari jadi lifestyle, gue juga tenang-tenang aja. Santai agar badan tidak pegal, seperti yang dihimbau oleh Bang Haji Rhoma Irama. 

Lagipula secara anatomi, tubuh gue memang tidak terbentuk untuk lari. Bayangkan saja. Pelari akan memakai kaki sebagai tumpuan. Ada yang bilang, saat kita berlari, impact beban yang diterima kaki besarnya 3x lipat berjalan. Lah gue??!! Gak ada pantes-pantesnya lari. Badan segedhe gabon, kaki kecil. Gak proporsional blas. Masih bersyukur sih, dengan lengan dan tungkai kecil, gue bisa pake celana pendek dengan manisnya, asal bagian atasnya jangan ketat. Nanti dikira gue lontong lewat.

Apalagi temen pelari yang kini hijrah ke Makassar pernah cerita, heart rate (denyut jantung) dan tekanan darah juga harus dimonitor saat lari, karena ada kejadian pelari Singapore yang berusia 21 tahun ambruk di garis finish karena ngoyo (mungkin karena hadiah uang event lari ini lumayan). Makin takutlah gue yang punya tensi tinggi ini.

Tapi karena tuntutan post-surgery untuk 'tetap bergerak' supaya peredaran darah lancar, maka gue mulai jalan keliling di dalam cluster. Saat itulah terbersit keinginan untuk memonitor seberapa jauh gue jalan. Note ya: JALAN. Bukan lari. Akhirnya gue putuskan download Endomondo. Apalagi applikasinya free #fakirgratisan . 

Nah mulailah perjalanan di dalam kompleks perumahan,  pamer jarak yang ditempuh (untuk waktu tempuh dan kecepatan gak ada yang bisa dibanggakan karena gue jalan dengan kecepatan nenek-nenek ~ menurut Julian),  dan sok-sokan minum air sesudahnya sesuai dengan indikator Endomondo.  

Yang berikutnya menakutkan adalah,  tiba-tiba akun Endomondo cemen ini difollow oleh suhu-suhu lari. Yayan Mulyana di BSD yang average lari 10K rutin,  Rudy Kurniawan di US yang pasti ikut city-marathon di kediamannya,  serta Edoardo yang dedengkot Cibubur Runners dan pelari profesional. 

Bukan apa-apa sih.  Malunya itu. *sigh*

Kamis, 16 Oktober 2014

Cover Reveal : My Lea by E. Mellyberry

As an ex-student who used to study in United States, I realize that love story during university are part of the exciting new journey that Indonesian students embark.  I still remember everytime my mom calls, she would ask: "Is there any Indonesian boy who is interested in me?". And to her constant disappointment, I always answer: "Of course not".

But this book is different from my pathetic little story above. Moreover, this book is written by a friend of mine, a talented children book-writer. And this is her new adult-genre novel. So yeah, I am excited for her new book and I wish her lots of success. 

So this is how the book looks like (designed by EorG):


BOOK & AUTHOR INFO:

My Lea by E. Mellyberry
(A Broken Love Story, #1)
Publication date: November 2014
Genres: Contemporary, New Adult

Synopsis:
A simple girl.


A broken guy.

One horrible incident.
When Lea Amelia landed her feet in San Francisco for her overseas study, her idea of freedom was simple, like eating junk food ten times a day, sitting in front of the TV in her PJs, or going out late with her friends without the need to check in with her mother constantly.
Then she met Andrew Jaya, her brothers’ best friend. A twenty-two-year-old guy whose physical appearance looked like he was crafted straight from God’s heavenly hands, but possessed a past as bleak as if it was drawn by Evil himself. A conflicted guy who wore sadness like nobody’s business beneath his mask, a perfect-looking mask she slowly peeled away.
He was also the guy who hurt her.
Suddenly, everything about her was no longer simple.
Andrew Jaya had convinced himself that not feeling was good for him. He’d been doing it splendidly for almost his entire life. But that was before his best friend’s sister stepped into his life and ruined it. After weeks of knowing Lea, all of those warm and wonderful feelings he’d long ago denied to himself started to reappear. Problem was, the brighter the light, the bigger the shadows that came with it.
His traumatic past refused to let him go.
When the unthinkable happened, the easiest thing to do was to run. But life often proves that the easiest way is usually the hardest. 



AUTHOR BIO:



Melly is a full-time mom, wife, and fangirl. She used to work in a school and she’s very passionate about education.

Melly has been writing children’s books since 2011 under the name mellyberry. She loves reading all kinds of books in her spare time, mostly MG, YA, NA, contemporary, paranormal, and fantasy. She avoids horror and sci-fi as much as she can.

Melly was born in Indonesia and grew up in a multi-language environment. When she talks to people, she could accidentally string words from different languages into one sentence. When she does that, simply reminds her to speak properly.

Her ideal vacation always involves a beach; usually it’s the Nusa Dua beach, Bali. She spent a few years in USA to complete her Master degree. It was during that time that she’d fallen madly in love with San Francisco and the Bay Area. According to her, San Francisco is no doubt the most romantic city in the world.

Author links:

Selasa, 14 Oktober 2014

Nurani yang Terusik (Kasus Penganiayaan Siswi SD Bukittinggi oleh Teman Sekelas)

Beberapa hari ini,  sejak melihat postingan video gadis berseragam putih merah dengan hijabnya digebugin teman-teman sekelas,  gue merasa gelisah.  Detail mungkin pembaca juga sudah menonton. Saya gak mau post link di sini.  Terlalu menyedihkan.

Dengan lokasi di kelas,  dengan begitu banyak teman di sekitarnya,  tanpa takut-takut dan malu-malu,  beberapa temannya bergantian,  menabrak,  memukul,  menendang,  seorang gadis yang sudah terpojok di sudut kelas dengan isak tangisnya.  Tidak berapa lama,  teman yg gadis,  yang sama-sama berhijab,  ikut perpartisipasi menendang dan memukul gadis ini.

Dan tidak ada satupun yang berani menolong atau stand up untuk gadis ini. 

Yang masih punya nurani, berucap (dalam bahasa Minang) : hentikan.  Tapi tidak ada upaya lain. 

Hati saya hancur.  Sedih yang perih. 

Lepas dari trauma yang ditimbulkan kepada korban kekerasan,  ada 1 hal yang lebih urgent,  lebih mendasar,  lebih sistematik.

Anak-anak inilah yang nantinya akan berhadapan dengan anak-anakku.  Anak-anakmu.  Anak-anak kita.  Anak-anak yang dengan mudah main kekerasan karena ada ucapan yang "tidak enak".  Mereka akan bersama-sama menghuni negara Indonesia,  bersama anak-anak kita.

Apakah kita siap?  Apakah anak-anak kita siap? Apa yang sudah kita lakukan?

Lebih miris lagi melihat perkembangan kasus ini selanjutnya.  KPAI dan Polisi justru mengusut pengunggah video yang mencelikkan mata kita ini.  Pengunggah video akan dipidanakan dengan pasal UU ITE. Undang-undang yang sama yang menjerat Prita (vs.  RS Omni) ,  juga @benhan (vs.  Misbachkun-dulu politisi PKS kini Golkar) . Anak-anak dan sekolah tidak proses,  isunya karena urusan politik (yang saya gak bisa disclose di sini supaya jangan saya yg kena UU ITE).

Negara dan Polisi,  yang seharusnya jadi benteng pelindung terakhir,  sekarang menjadi penindas utama. Entah demi apa.

Dan ingat,  anak-anak pelaku kekerasan yang kini dibela sekolah,  guru,  KPAI,  akan merasa bahwa memang kekerasan adalah jalan keluar apabila ada konflik.  Tidak ada proses pembelajaran dari pengalaman ini.

Maka seperti yang aku bilang ke anak-anak.  Manusia,  adalah binatang yang paling sadis.  Semua binatang buas membunuh,  menyerang,  karena lapar dan bertahan hidup.  Manusia menyerang,  membunuh,  karena "tidak suka".

Duh Gusti...  Kasihanilah kami... 

Senin, 29 September 2014

Living Digitally in Singapore

Singapore adalah negara maju yang dalam hal aplikasi digital, sangat advanced dibandingkan dengan kita, negara tetangganya yang notabene adalah negara besar (baik dari luas area maupun jumlah penduduk).

Banyak yang beralasan bahwa Singapore itu negara kecil, jadi level kompleksitasnya juga sederhana dibandingkan dengan Indonesia. Okay, katakanlah gue agree dengan excuses itu. Sekarang kita bandingkan Singapore dengan Jakarta deh. (Karena Singapore, selain menjadi nama negara, sekaligus menjadi nama pulau, dan menjadi nama kota. Sweet).

Singapore, dengan MRT dan Bus yang sudah merambah rapi ke seluruh ujung pulau, masih terus bebenah dengan menambahkan rute-rute MRT baru. Setiap ada penambahan mall atau hotel, atau tempat atraksi, akan selalu ada pembangunan jalur MRT baru.  Gak usah jauh-jauh dibandingkan dengan Indonesia deh, yang bikin MRT aja masih mabok dan ngeri kalo banjir, terowongan MRT dipenuhi air, bunuh diri massal deh, kita.

Bandingkan dengan Hongkong aja deh. Hongkong punya MTR udah lama juga. Tapi... selain di utara Pulau Hongkong, mentok hanya merambah ke Kowloon dan New Territory. Di selatan Pulau Hongkong, seperti Aberdeen? Sepi, terbelakang. Bahkan Ocean Park aja gak terhubung dengan MTR. Yang di develop adalah Kereta Api arah ke Shenzhen. Tujuannya, Hongkong akan disatukan aktivitasnya dengan mainland China (PRC). Pantes orang-orang Hongkong marah dan bikin gerakan #OccupyCentral ... I wonder gimana nasib TKW kita yang suka nongkrong di Victoria Park.. kegusur deh dengan pendemo.

Selain itu, MRT Singapore bersih, rapi, teratur, dengan banyak tempelan sticker himbauan dalam 4 bahasa (Inggris, Mandarin, Melayu, Tamil). Dengan beberapa stasiun mencapai 5 level di bawah tanah, amazingly di MRT kita masih bisa mendapatkan sinyal telepon dengan kecepatan yang lumayan. Bandingkan dengan provider-provider ngehek kita yang di ruang terbuka aja sinyalnya sekarat. Dengan iseng menyalakan google map di dalam MRT jalur CityHall - Bayfront di Circular Line, kita bisa melihat jalur mana di bawah tanah kita bergeraknya. Makanya di MRT, orang anteng nunduk ke gadget masing-masing, nonton streaming video, chatting dengan teman.

Menuju lokasi yang belum ada jalur MRTnya? Atau malas berpindah MRT dan jalan jauh ke bawah tanah? Bisa tinggal unduh aplikasi yang bisa menunjukkan bis berikutnya berapa menit lagi tiba. Cukup mengisi tujuan. Titik awal otomatis dipindai dari Location service di Halte tempat anda berdiri. Apabila ada multiple option dengan bus dalam beberapa nomor, akan muncul semua opsi anda. Aplikasinya ini:


Nah, saat kemarin ke sana, orang Singapore pada heboh dengan asap kiriman dari Jambi, mereka memonitor selain dari TV jumlah psi (particle per square inch) yang berkisar 60-70. Di atas 100, mereka menutup semua pintu dan jendela apartemen dan menghindari keluar rumah dalam waktu lama. Mereka bilang di Riau sudah mencapai 300. Dan kita baik-baik saja. Mereka sudah bersin-bersin, asma, gatal mata. Kita manusia super... wkwkwkw ... Aplikasinya dibuat country spesific oleh National Environment Agency, seperti ini:


Dan Indonesia...??? Menteri Kominfo nya masih nanya... "Buat apa internet cepat" dan "mengancam tutup twitter"??? Bener-bener gak mutu...



Rabu, 24 September 2014

Kenapa Wanita Anti-Pujian?

Wanita memang makhluk yang misterius.  Sering kita dengar laki-laki pusing karena gagal menebak kemauan wanita.  Lah, gimana nggak?!  Wong wanita sendiri aja gak ngerti kemauan dirinya sendiri.  Bingung kan?!

Wanita pada dasarnya memang kompetitif.  Ada hal-hal  bagus yang dihasilkannya.  Kita lebih cantik, rumah lebih rapi,  masakan lebih enak,  anak lebih terurus.  Karena ada kecenderungan untuk membandingkan dengan kecantikan orang lain, rumah teman,  masakan tetangga,  anak saudara. Makanya kita sering lihat wanita-wanita suka ke toilet bareng-bareng (yang merupakan keanehan buat laki-laki karena laki-laki gak akan melakukan hal tersebut.  Mau ngapain coba?  Membandingkan otong?).  Guys  simply don't do that kind of thing. Kecuali jaman mereka SMP.

Tapi banyak pula hal negatif dari kompetisi yang berlebihan.  Boros duit karena berusaha selalu lebih cantik,  lebih kinclong,  lebih wah dalam penampilan — salah satunya.  Efek lain adalah anak jadi stress dibebani gengsi orang tua untuk bisa main piano/gitar/biola,  juara kelas/nilai tinggi,  juara ballet/renang/basket. 

Yang lebih aneh lagi saat semua effort untuk menjadi cantik ini,  suatu hari benar-benar dipuji oleh orang lain,  kita akan menjadi anti-pujian.  Coba deh,  kalo ada orang bilang: "Kamu cantik",  kita akan jawab: "Ah,  nggak kok.  Gue gak cantik."  Nah!!!  Bingung kan?!  Tapi kalau gak dipuji,  padahal kita sudah dandan pol,  kita juga nyesek.  (buat cowo-cowo...  yang tabah yaaaa).

Kemarin,  saat gue share video "I'm enough"  di FB (cek di FB gue lah,  jangan malas-males nape?),  beberapa teman turut menshare video tersebut.  Video utk woman empowerment ini memang menyentuh the very heart of woman questioning her self-worth. Dan beberapa teman yang dimata gue biasa-biasa saja (penampilannya) , dengan mudah mengatakan "I'm enough".  Sedangkan beberapa yang lain,  yang dimata gue termasuk cantik dan have-it-all malah justru merasa belum layak bilang "I'm enough".

Memang hal ini membingungkan.  Tapi saran gue sih,  belajarlah,  biasakanlah diri,  agar saat ada yang berkata: "Kamu cantik",  terlepas dari pujiannya tulus ataupun hanya basa-basi,  tersenyum lebar,  katakan: "Auwww,  thank you,  you're too kind",  and just enjoy the (triumphant)  moment.

Because beauty comes in all faces and sizes.  And we deserve that.

Disclaimer for the picture: Done by professional,  don't try this at home.  Apalagi di jalanan. Nanti kena garuk satpol PP

Senin, 08 September 2014

Anjing dan Tu(h)annya

Tetangga belakang punya anjing Beagle yang selalu diikat di depan rumahnya.  Anjing ini mirip hush puppies,  tp telinganya gak selebar dan gak seletoy hush puppies.

Walau anjing ini diikat,  dan jarak dari tembok rumah tempat dia diikat ke jalan kira-kira 4 meter,  setiap kali gue lewat,  baik sendirian maupun dengan anak-anak,  dia selalu menggonggong dengan hebohnya. 

Mungkin dia merasa terganggu karena gue berjalan lewat-lewat sambil lihat-lihat (untuk melatih kepo).  Padahal gue gak berusaha mendekat.  Cuma melihat dari jauh aja.

Hari ini,  waktu gue lewat,  ownernya kebetulan ada di depan,  lagi ngosek teras.  Saat gue lewat,  anjing ini melihat ke gue,  trus ke tuannya,  seakan2 menunggu reaksi tuannya,  apakah dia harus menggonggong ke gue atau nggak.

Dan karena tuannya indifferent terhadap gue yg lewat-lewat dengan piyama bermotif hati-hatian gue,  Beagle itu diam,  gak menggonggong.

Jadi ingat dengan pemeluk agama tertentu yg juga sering 'menggonggong'  untuk membela Tu(h)annya, walaupun orang lain gak ngapa-ngapain dan asyik dengan urusan sendiri,  mungkin mereka adalah yang merasa gak secure karena gak dekat dengan Tu(h)annya. 

On the other hand,  yang dekat dengan Tu(h)annya akan cuek aja,  gak perlu pake acara menggonggong membela Tu(h)annya karena mereka yakin,  Tu(h)annya bisa membela diri sendiri,  bahkan membela mereka apabila ada hal buruk yang terjadi.

Kamis, 04 September 2014

Hidden Beauty

My morning walk has revealed hidden beauty in my common life, my Secret Garden. I found more places where there are pine trees with little black birds with white chest and a stripe of white tails. I found tiny prairie with butterflies. All within few footsteps away from my front door.

This situational beauty, can only be felt when you are in your leisure, when you're not catching up some appointment, worry about being late sending the kids to school, or going to work.

And that is rare case. 


Similar case when there is statement that Indonesia is a beautiful place. Say what??!! For Jakarta people that always in a rush of rush hour and stuck in a traffic jam, and garbage being dumped every second at random place by its own residents, that is an absurd statement. 

But when my friend @johanamay posted this on her instagram yesterday (which has to be seen while listening to her golden voice as posten in her soundcloud, and I saw this video on Mentawai island  (I shall give credits to the original post in vimeo.com which is banned by our dearest Minister of Communication and Information, Fuck you, Tiffi, thank me) -- I understand, that beauty will not present itself easily. It has to be searched, sought after.  Like what we found in a remote island in Kepulauan Seribu that we went to 3 years ago.




I call this locational beauty (suka-suka gue donk term-nya).


Other kind of hidden beauty, in on the people around you. Be it your spouse, your children, thy neighbors, or the passer-by. If you keep being caught in the web of everyday boring chores, it's easily think that everyone is awful and disappointing for not meeting our expectations. 

Yet, when we stop and thank God for all the people around us that has so willingly love us even when we are not very lovable, or even fleeting smile from the passer-by that you barely know or remember, that is when you found their personal beauty.


As Frances Hodgson Burnett suggests in The Secret Garden, you will find beauty everywhere. Yes, even at the most unexpected situation, or location, or people. The place where we are perfect in every aspects at that very moment, and the world are beautiful as can be.


You only need to find a door to enter that Secret Garden, that is through your own heart.

Selasa, 02 September 2014

Parallel Universe

Someone ask me in Askfm,  whether I do believe in parallel universe.  I answered that question with half wit because this it that comes to my mind then....

BUT....  Parallel universe is exactly that comes out from my mind this morning.

So,  here's satellite map from Google map of the area that I explore this morning


It looks perfectly neat since the housing here is for upper middle class. rows of pristine houses,  with cars in the driveways.  Maids and gardeners tending manicured garden.

Yet,  there is places where you will be transported out from this world.  And I will use the same map to illustrate my point.


Yellow circle is the corner where it has pine trees.  And those pine trees are inhabitant for many little birds.  This morning I watch those little black birds with white chest flying very very low from one tree to another,  chirping happily.  And the morning transcends to a walk in the mountain in the middle of pine forest.  I stayed there a while..  Watching in fascination. May be this is what they called by parallel universe. Place within a place.  Situation within a situation.

The blue circle,  has cocks,  hens, guinea pigs in small neat rows of wooden boxes.  It almost feels like you're in McDonald farm. Another parallel universe.

Now what's that red lines?  Red lines indicate the border of the housings.  They erected wall-enclosure to ensure the safety of the residents.  Also to keep away of those who live outside,  which might not considered worthy enough to mingle.

You might ask,  how do I came to that conclusion?  Because along the road that I was walking, I smell garbage being burnt.  Means,  nearby,  there is other people that live nearby with 'lower'  education,  'lower'  income, and have no access to sanitation and garbage disposal, that they know no other way than to burn the garbage.

Those are the invisible people.  They're there,  but we choose to believe that they don't exist.  For they only exist in their own parallel universe.


Sabtu, 30 Agustus 2014

Sukses yang Personal

Selama hidup kita, kita berjuang supaya sukses. Sukses artinya punya pencapaian yang bisa dibanggakan. Dan batasan sukses ini berbeda-beda setiap orang.

Mungkin jaman kita sekolah dulu, sukses adalah nilai ulangan dapat 100. Kemudian beralih menjadi memperoleh pacar saat SMA. Kemudian menjadi nikah di usia tertentu yang dijadikan target. Dan bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji 8 digit rupiah. 

Semakin kita dewasa, kita melihat, ukuran sukses yang tadinya kita pikir akan membahagiakan kita, tidak lagi bisa membahagiakan kita. Untuk itu orang mulai memulai dengan sukses adalah bisa beristri lebih dari 1 (kemudian timbullah Poligami Award yang alhamdulillah sudah gak ada lagi, karena perusahaan milik penggagas Poligami Award ini gak laku sebagai resto keluarga). Juga orang merasa sukses bisa memiliki puluhan mobil seperti Bupati L*bak, walaupun beberapa mobil mewahnya itu bukan dia sendiri yang mempergunakan melainkan dipergunakan oleh wanita-wanita cantik yang dia pergunakan. #halah

Atau ada orang yang baru merasa sukses apabila bisa jadi Presiden #rauwis-uwis.

Anyway... saking bervariasinya ukuran sukses ini, maka ukuran sukses ini semata-mata bersifat personal, intim, hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan.

Jadi normal, apabila ada teman yang merasa bisa mencapai finish dalam lomba lari sekian kilometer dalam waktu sekian menit adalah sukses. Sementara pada waktu yang bersamaan, buat gue, 1 puteran keliling taman yang sekitar 500 mtr, adalah sudah merupakan suatu kesuksesan.


Normal pula, bila ada yang menghitung penaklukan terhadap lawan jenis sebagai prestasi pribadi, sedangkan untuk orang lain, mati-matian menghindar dari perhatian lawan jenis yang tidak sepantasnya kita terima.

penghujung Agustus 2014

Jumat, 29 Agustus 2014

To (have) Pet or Not to (have) Pet?

I think every dog owner agree that dog is a man best friend.  Or cat if that is your pet.

When we were young,  our house is full of pets that my dad used to keep.  Dogs,  birds,  turtles.  We grew up with Ello the dog that has been in our house since I have ever known.  He died of old age.

Then we have Hittle,  Ello successor. Then Nancy,  given by my English teacher.  And they all go away. Hittle died of old age.  Nancy died when we went for vacation.  Rumours has it that she died because one neighbor put her in a gutter where she can't escape. She has been buried when we return from holiday.

I was the one who's very devastated when Nancy died.  May be because she's the one who always chew my shoes.  (Actually I still want to use those shoes,  but my mom throw my shoes away with the speed of light).  May be because Nancy is a present for me from my English teacher.

Long before that,  my elder brother have small chicken,  but they all die too,  and my brother cry all the way.  He even insist on a funeral for his chicken.

After my dad passed away,  we never have pets anymore.  My mom resorts her hobby to grew orchids.

Somehow,  I identify pets with the sadness of separation.  May be that's the reason why I never want any pet anymore.

Few years back,  we have a stray cat that stayed in our front porch, and the kids insist on keeping her as a pet.  We called it Pus,  short of Puskesmas.  One day after knowingly mating season,  we found her dead under the tree,  and those feeling of loss,  once more.

I also identify the same sadness when a friend left.  During our primary,  secondary,  and high school,  most of us stay together for a long time.

However,  in university,  we are close to students from more senior years.  Thus everytime someone graduate,  I feel a pang of loss that I can't explain.

May be that's also why I never have a really really close friend.  I have plenty of friends,  but I am ready to lose each one.  May be they became close to other people,  or left to other companies or countries.  I keep them at arm length.

May be it's true that the most cheerful people,  are in fact hiding the most turmoil in his/her heart.

May be...

PS: Currently we have 2 hamster, Jonathan' pets.

Kamis, 28 Agustus 2014

Thank You, Moms

Tulisan ini di dedikasi kan kepada semua orang dengan naluri keibuan,  kalian lah ibu-ibu kehidupan yang menyebarkan denyut kasih sayang.

Bukan,  aku bukannya punya lebih dari 1 mama.  Juga tidak,  aku tidak punya mama tiri.

Tetapi dalam kehidupanku,  aku bersentuhan dengan orang-orang dengan kualitas sebagai ibu.  Mereka mungkin nenek,  mertua,  adik,  bahkan kawan.

Beberapa di antara mereka benar-benar mempunyai anak, suka masak, dan segala tipikal keibuan seorang ibu.

Beberapa yang lain,  karena pilihan atau belum beruntung untuk menjadi ibu biologis.

Yang aku ingin hormati adalah semua perempuan yang mempunyai sifat nurturing,  comforting,  protecting,  terlepas dari kemampuan biologis mereka untuk mempunyai anak.

Betapa menyedihkannya apabila nilai keibuan ini hanya dianggap penting,  bila perempuan bisa ber-reproduksi.  Seakan tubuh hanya dinilai sebagai mesin untuk menghasilkan keturunan. Banyak perempuan yang kemudian disebutkan masyarakat dan keluarganya hanya karena dianggap 'gagal' memberikan anak.

Di sisi lain,  banyak perempuan yang sukses, mengandung/ melahirkan anak,  tetapi memilih aborsi/ membunuh/ menelantarkan bayinya.  Apa itu yang kita lebih banggakan?

Terima kasih kepada para ibu di dunia ini yang pernah memberikan ku hidup,  kenyamanan,  keamanan,  nurturing,  caring,  comforting,  menginspirasi,  dan menerima kita apa adanya, terutama di saat-saat yang terburuk sekali pun.

And yes,  that's you,  too,  my dear friends.

Senin, 25 Agustus 2014

PKI ~ Pelayanan Kesehatan Ideal

Well,  biarpun judulnya adalah PKI,  tp tulisan ini gak berkonotasi politik sedikitpun.  Ah ya,  mungkin ada,  tapi gue lebih suka menyoroti dari sisi kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga.


1. Jam kerja

Jam kerja dokter di Indonesia dari pagi sampai subuh.  Terutama dokter-dokter laris.  Lihat saja rumah sakit M di tepi pintu masuk tol K,  misalnya,  ada dokter cardiologist terkenal yang pasiennya menunggu sampai tengah malam,  bahkan lewat tengah malam.  Hal ini selain mengganggu kesehatan dokter,  juga membahayakan kesehatan pasien.  Orang jantung kok disuruh begadang. Apa kaga percaya ama kata Bang Haji?

Di Singapura,  negara kecamatan tetangga kita,  Dokter praktek dari 09.00-17.00. Jadi kesehatan dokter terjamin,  dan pasien di jadwal rapi dalam slot-slot waktu tiap harinya. Walhasil Dokter pun bisa hidup normal dan punya kehidupan lain di luar profesi dokternya. Hal ini menjadikan dokter lebih punya sentuhan manusiawi.


2. Lokasi praktek

Di  Indonesia,  Dokter praktek di beberapa lokasi.  Ijin praktek bisa sampai 3 lokasi,  belum praktek-praktek terselubung..  ((TERSELUBUNG))!!...  Mungkin  kalau sinetron,  prakteknya masuk kategori kejar tayang. Walhasil, pasien seakan-akan terbatas waktu konsultasinya,  dan sering kena skak dengan ucapan: dijelaskan juga gak akan ngerti kok.  Which is merendahkan nalar pasien dan keluarganya. Padahal kalo dokter gagal menerangkan penyakit pasien dengan bahasa yang mudah,  berarti dokter tersebut gak pintar-pintar amat.

Di Singapura dan Malaysia, Dokter hanya berpraktek di 1 rumah sakit,  bbrp dokter di RS pemerintah,  setelah pensiun,  punya klinik di RS Swasta.  Kaga ada Tumpang tindih praktek.  Kaga ada dokter kejebak macet.  Kaga ada pasien ngantri nunggu dokter masih di jalan,  atau pasien lari-lari mengejar dokter yang praktek di berbagai lokasi.


3. Lokasi parkir mobil Dokter

Okay.  Mungkin ada orang yang merasa ini gak relevan.  Tapi ada temen yg menganut paham ini.  Berkaitan dengan point No. 2, apabila dokter hanya praktek di 1 RS,  maka mobilnya akan di parkir di paling belakang.  Maka mobil pasien menempati lokasi depan untuk memudahkan mobilitas para pasien.

Kebalikannya,  di negara yg dokternya praktek di beberapa tempat,  parkir pasien di belakang,  dan parkir dokter di depan,  untuk memudahkan mobilitas dokter berpindah RS.  See.


4. Lama rawat inap

Di Indonesia ada paradox dalam penanganan pasien rawat inap.  Di sisi lain,  pasien di RS swasta seringkali ditahan utk tinggal di RS lebih lama dg alasan supaya pulih dengan berbagai tes laboratorium dilakukan.

Di sisi lain,  untuk pasien kelas bawah,  banyak cerita bahwa pasien ditolak karena tidak ada kamar.

Di Singapore,  RS adalah tempat merawat org yg gak bisa merawat diri sendiri.  Misalnya post-surgery,  setelah melahirkan,  etc.  Nginapnya berapa lama?  Semalam.  Maksimum dua malam.  Itu rata di semua kelas.  Setelah bisa berdiri,  pasien disuruh pulang.

Prinsipnya adalah apabila di awal pemulihan ada progress,  pemulihan boleh dilakukan di rumah.  Kita cuma sakit.  Bukan cacat permanen. Plis,  deh!!

Di Jerman,  bahkan wanita hamil,  datang mengendarai mobil dg car seat ke RS,  melahirkan,  dan pulang kembali mengendarai mobil dengan bayi di car seat.  Selang 2 hari.


5. Penanganan pra-operasi 

Di Indonesia,  pasien masuk RS sehari sebelum operasi.  Puasa diawasi.  Kuras perut diawasi.  Obat-obatan diawasi.  Kita gak dipercaya utk melakukan persiapan sendiri.  Dan kita merasa itu normal.

Di Singapura,  kita datang sehari sebelumnya untuk diambil darah,  ECG, tapi gak perlu rawat inap.  Justru yang membuat kita kaget, kita diberi obat yang harus diminum utk persiapan operasi,  termasuk untuk kuras perut.  Dan harus dilakukan di rumah.  Very good philosophy...  That everybody has to take care of their own shit.  Literally.


6. Kondisi kamar

Di Indonesia,  kondisi kamar bisa berbeda jauh antara RS Swasta di kelas VIP yang fasilitasnya melebihi hotel,  dengan RS Umum kelas bawah yang (menurut sepupu gue yang dokter di Singapura tetapi pernah magang di RS Umum di kota terbesar kedua di Indonesia)  pasiennya dijajarkan bagai ikan pindang,  dan gantungan infus sederet mirip jemuran.

Di negara maju,  kondisi kamar gak seperti hotel,  yang jelas menjamin kebersihan (bahan-bahan mudah dicuci/disteril),  dan keamanan (shower mat,  handle dan bangku untuk pasien di kamar mandi).


7. Biaya 

Walau biaya pelayanan kesehatan di negara maju relatif lebih mahal daripada di Indonesia,  tetapi untuk kelas kamar yang berbeda,  selisih nya hanya di harga kamar. Di Indonesia,  jasa dokter pun bisa ikut tarif VIP utk pasien di kamar VIP.

Di Malaysia, biaya pelayanan kesehatan di beberapa RS justru lebih rendah dari di Indonesia.

Mungkin salah satu jalan keluarnya adalah asuransi kesehatan seperti yang dirintis Pakdhe Jokowi.


Yuk ah,  kita ubah paradigma pelayanan kesehatan dari mencari keuntungan menjadi sungguh-sungguh fungsi pelayanan.

Jumat, 22 Agustus 2014

Endless Corridors

Hari ini hidup berawal dan berakhir dari koridor-koridor panjang.  Sebagaimana kehidupan berawal dari sel telur dari ovarium menyusuri tuba falopii, dan berjumpa dengan jutaan sel sperma yang berenang sepanjang saluran vas deferens dan menyeberang ke vagina,  leher rahim dan mulut rahim.

Demikianlah kehidupan awal terbentuk seturut pemahaman sederhana ku.

Pagi ini berulang di koridor-koridor panjang yang berbeda.  Kali ini koridor-koridor yang aku lalui menghubungkan antara woman's clinic tempat dokter yang mengoperasi aku,  dengan bagian farmasi,  dengan bagian jantung.

Ya,  aku di diagnosa adenomiosis dan harus mengalami pengangkatan rahim.  Suatu hal yang buat masyarakat Timur melambangkan kewanitaan,  kesuburan.

Entah mungkin karena tegang ataupun takut,  tekanan darahku pun ikut-ikutan berulah,  meninggi dan tidak mau turun walau sudah dosis ganda. Sehingga dokter mengirim aku ke heart clinic untuk mengambil alat yg memonitor tekanan darah setiap 2jam dan di transfer otomatis ke medical record di NUH (talking about technology in science,  dan Tifatul Sembiring masih bertanya buat apa internet cepat?  - - Fuck you,  Minister!!  thank me)


Selain itu dokter juga menemukan kadar potasium (K)  di dalam tubuh sedikit rendah yang mungkin dapat mengakibatkan irama jantung terhenti saat dalam pengaruh anestesi,  sehingga harus makan makanan ini.

Demikianlah pagi itu,  aku dibaringkan di kasur rumah sakit dan didorong melalui koridor-koridor panjang yang berwarna putih. Lampu sepanjang koridor terlihat menyilaukan.  Mungkin surga mirip seperti ini,  kataku dalam hati.

Dalam koridor-koridor panjang itu,  kadang kita berpapasan dengan kasur RS lain yang juga didorong ke arah yang berlawanan.  Entah siapa mereka,  entah mereka sudah selesaikah dari operasinya atau tindakan yang lain.

Ada kalanya koridor itu bercabang,  dan berliku-liku.  Beberapa pekerja rumah sakit juga dengan ceria saling menyapa.  Mungkin mereka seperti penghuni awal surga sebelum Adam dan Hawa terusir dari Firdaus.

Di salah satu koridor,  ada kaca menuju keluar. Serta merta sinar matahari menyeruak masuk menghangatkan hati.  Tercurah kasih sayang dan doa dari teman-teman dan keluarga yang mengiringi perjalananku melalui koridor-koridor putih itu.  Terbayang senyum bahagia anak3 yang ditinggal di rumah.  Dan satu tekad..  Aku akan kembali.

Demikian saat Julian dan mama berpisah denganku di  salah satu sisi koridor,  kuucapkan "see you later,  alligator",  seperti yang sering kita selorohkan saat mengawali hari.

Koridor-koridor itu berujung di Operating reception no.  11 dan  Operating Theater no. 6 kemudian recovery area no.  17.  Lalu sekali lagi melalui koridor-koridor panjang...  Tidak hanya aku masih hidup,  tapi aku dilahirkan kembali,  dengan curahan roh kudus melalui kasih sayang orang-orang yang ada disekitarku.

Ada kalanya hidup kita harus di stop dan di restart ulang...

Singapore,  21 Agustus 2014

Senin, 11 Agustus 2014

Jika...

Jika kecantikan itu membawa bahagia, mengapa ada orang cantik yang depresi?
Jika kekayaan itu membawa bahagia, mengapa ada orang kaya yang kesepian?
Jika ketenaran itu membawa bahagia, mengapa ada orang tenar yang pecandu?
Jika lelucon itu membawa bahagia, mengapa ada komedian yang depresi?
Jika kepandaian itu membawa bahagia, mengapa ada orang pandai yang delusi?
Jika kekuasaan itu membawa bahagia, mengapa ada orang kuasa yang paraniod?

Jika hidup itu membawa bahagia, mengapa ada orang yang bunuh diri?

Mother|Daughter Love|Hate Relationship

There's a theory said that strong mom will yield weak children.  I am not sure if the other way around is true (i . e . : weak mom yield strong children (?))

I was brought up in 70s and 80s. May be it's the era where the way we were brought-up,  when we need to obey our parents sometimes without question asked.  And I being the rebel in the family,  I was the one in constant battle with my mom.

My first drama was when I overheard that I was about to be aborted at the beginning of pregnancy because I was the 3rd child (my eldest sister passed away few months after I was born,  then I became the 2nd),  and my mom's pregnancy is within a short distance apart.  I whine about my being unwanted child and make a big drama out of that,  even if I know I was treated no difference than my elder brother.

Then there's a big fight between mom and me when I want to get baptized and she objected.  I brought all things being unwanted child and all,  crying, while my mom pray to her Guan Yin Goddess - - also crying,  and my dad got caught in the middle of all those drama. And of course I always had my dad on my side.

May be this sibling rivalry also didn't make it any better for all of us.  I constantly think that my elder brother received more attention that I do.  Although now I took it as a sign that my mom has a big trust in me that she let me do things my way.

Later on,  we also had big disagreement when I want to study abroad and my mom won't allow a girl to go that far for studying. May be that was my attempt to go far away from her. Although,  once again,  dad came to the rescue.

Until one day,  my dad passed away,  and I knew that my mom had done all the might in her humanly power to keep me and my brothers in university.

Another big fight was when I started to go out with my boyfriend (that is currently my husband),  she objected to make choice and even try to introduce me to other guy.  Now that I have my girl,  I realize,  that for any mom,  no man is good enough to take care of her daughter.

I even hated my mom that she fretted about why I chose natural  birth when I had my first child,  knowing that I have a low pain threshold.  She said that I should've opted for caesarean instead (which is what I end up having after hours of unfruitful labor in which the baby's heart rate drops everytime I was in excruciating pain).

I feel that in my every step of way,  I need to prove myself that I'm worthy enough and that I am up to my mom's standard,  even now.

Yet,  now,  as I am maturing,  I realized that all her fussiness,  all her preppiness,  is because she cares for me,  in a way that I might not understand then. She might be afraid that I don't have a nice life (in the way she can provide me),  she concerned about how I would take sub-zero weather abroad (while she knows I sleep with blanket on at 30C weather), she worried that I suffer more than I can take (while giving birth),  she wants to make sure that I will have good life ahead (in the way that she knows that may be just different from what I want). She became lver-protective because she cares,  and she cares a lot. Sometimes too much.

But I know she really cared for me,  when she cancel all her schedule to accompany me during my three times delivery,  and soon,  during my surgery. Right when I thought no one would be able to accompany me.

And the best compliments that I received from my mom,  that I exceed her standard,  when I sent her life orchids for her birthday (my mom has been a big fan of orchids),  and weeks after weeks it continues to bloom,  it's like I keep giving her flower long after the birthday has passed.  She said that was the best give that she ever received,  ever.

My mom,  my hero,  my role-model,  my friend,  my arch-enemy.  And if anything happen during my surgery,  please tell her I love her when you see her...

12/08/14

Kamis, 07 Agustus 2014

Langit Jakarta Saat Lebaran

Adakah yang memperhatikan langit Jakarta saat Lebaran?

Jakarta adalah kota yang super sibuk. Sekaligus super-polluted. Penduduk Jakarta yang 10+juta orang berdasarkan data BPS tahun 2011 ditambah dengan beberapa juta penduduk Bodetabek yang setiap hari keluar masuk Jakarta untuk mencari nafkah, menuntut ilmu, atau sekedar numpang lewat, membuat kota Jakarta harus menanggung beban environmental yang sangat berat.

Hitunglah jumlah kendaraan yang lalu lalang di Jakarta tiap detik, tiap menit, tiap jam. Ditambah dengan macet yang bisa berjam-jam. Tambahkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang dipelopori oleh sepeda motor. Dan berbagai industri di seputar Jabodetabek yang menyangga kehidupan bukan hanya warga Jakarta, melainkan juga secara nasional. Tingkat polusi di Jakarta menjadi tertinggi di banding kota-kota lain di Indonesia. Bahkan artikel National Geographic menunjukkan Hanya 81 Hari Udara Jakarta Bebas Polusi . Luar biasa bukan?

Bersyukurlah, Indonesia tiap tahun punya hajatan akbar yang bernama Mudik Lebaran. Saat lebaran lah Jakarta bisa sedikit bernapas lega dari himpitan penduduk yang harus ditanggungnya, karena mayoritas pabrik libur, kendaraan dibawa ke kampung (atau kota) halaman. Tahun ini ditambah dengan hujan lebat yang mengguyur Jakarta saat lebaran.

Walhasil, saat libur lebaran, matahari sore terlihat keemasan. Cityscape Jakarta terlihat tidak berkabut dari tol Wiyoto Wiyono (Priok-Cawang). Dan malam hari bintang-bintang bersinar bertaburan. Hingga rasi Salib Selatan (Southern Cross) pun terlihat nyata Selasa malam kemarin.

Kini, penduduk Jakarta sudah kembali berdatangan seiring berakhirnya libur lebaran. Langit Jakarta berangsur kembali berkabut seiiring dengan berjalannya kembali roda ekonomi sekaligus perusakan alam. Walaupun mungkin bintang jarang terlihat, janganlah berhenti menatap langit. Seperti pepatah dari Oscar Wilde: "we are all in the gutter but some of us are looking at the stars" ... because the stars never lie....

Selamat menatap langit. Selamat kembali bekerja...

7 Agustus 2014

Rabu, 06 Agustus 2014

When Education Comes to Life

My Teaching Assistant  back in university said one time,  that all the boring things that we learned in school is useful for every day's life. At that time I thought he must be kidding.  But now,  when I really think about everything that I am doing,  I know that he is right after all.

I life in Jakarta's suburb,  where driving to the city takes 2 hours in a good day.  Which means, driving back and forth easily takes minimum 4 hours,  which leave me lots of time to daydream. Driving in the highway which has sharp turns,  I can't help but thinking about centrifugal and centripetal force that was exerted by my car and which speed I have to maintain to be able to stay on track instead of smashing the road side (which I almost did when I was in my first pregnancy.  But that - -  I can always blame the hormones).  When I press the break pedal,  that's the friction between my wheel and the asphalt that slows down my car.  Therefore  worn tire are more slippery, because they have lower coefficient of friction. And that's Physics!

When I take a bath,  I would need to adjust the faucet knob to achieved the desired temperature of the water.  This reminds me of the Process Control in Chemical Engineering class where 2 streams coming in with variable flowrates at different temperature mixed into 1 total water coming out at certain temperature.

When I cook rice,  we're turning rice to cooked rice through gelatinization process from the starch with the help of water and high temperature.  When I mix the eggs to make cake,  I am incorporating air into my egg to get the right consistency from that suspension. That's Chemistry!

Even when my kids walk with their loaded backpack,  I always lecture then about shifting in the center of gravity to the back.  Which makes them fell more easily if the floor is slippery. And that's Biology!

Call me a geek,  if you want.  But you can't stop me from having all these thoughts in my head..  :P

Home,  6 August 2014

Senin, 04 Agustus 2014

Perempuan dengan Banyak Cerita

Aku adalah perempuan dengan banyak  cerita.  Jujur,  sebagian dari cerita-cerita itu adalah cerita yang aku pungut sepanjang perjalanan hidup dari mulut orang-orang lain.

Sebagian lagi,  aku angkat dari ceceran tinta yang menempel di buku-buku. Tinta yang semakin lama semakin lapuk dan pudar.  Kadang aku kalah cepat dengan kecoa-kecoa yang menjilati ceceran tinta itu.

Tahukah kamu bahwa cerita-cerita itu bernyawa?  Ia semakin kuat saat ia diceritakan berulang-ulang.  Sebaliknya saat ia tidak diceritakan,  cerita itu perlahan meregang ajal,  lalu mati.

Aku perempuan dengan banyak  cerita.  Jangan tanyakan padaku cinta,  karena cinta hanya salah satu sonata dari cerita-cerita yang menunggu di ujung lidah,  siap untuk berlompatan keluar ke telinga yang setia mendengar.

Aku hanya perempuan dengan banyak  cerita yang pasrah memungut kata,  yang pelihara mereka seperti sukma.

Ingin aku terbang dalam imajinasi bersama kata dan cerita,  tapi apa daya - -  aku hanya perempuan dengan banyak cerita.

Kota Wisata,  4 Agustus 2014

Rabu, 30 Juli 2014

Acknowledgement: antara Prestasi dan Gengsi

Manusia hidup demi mendapatkan pengakuan dari manusia lain. Acknowledgement. Anak kecil akan berusaha melakukan hal-hal yang membuat orang tua (dan orang dewasa di sekitarnya) untuk merasa senang. Contohnya adalah babbling kata-kata (yang buat kita) gak bermakna saat mulai belajar berbicara. Kemudian mengulang-ulang kata-kata yang (mungkin) buat kita sedikit bermakna (terlihat dari perubahan raut wajah orang dewasa), misalnya: papa, mama (yang sebenarnya merupakan babbling konsonan labial dasar, p, b, m sebagaimana diajarkan di bahsa mandarin dalam pin yin).

Seiring bertambah usia, anak akan membutuhkan pengakuan dalam bentuk yang berbeda. Baik itu merupakan prestasi akademis, maupun prestasi non akademis. Mungkin ada yang bilang, anak berbakat akan lebih berprestasi. Menurut aku, yang berprestasi sesungguhnya adalah anak yang lebih haus acknowledgement. Karena ada anak-anak yang pada usia ini, tidak terlalu memusingkan apakah perlu diakui atau nggak selama dia senang.

Yang lebih rancu adalah saat pengakuan dalam bentuk acknowledgement berbaur dan disalah-artikan dengan gengsi. Siapa yang sepatunya paling up-to-date misalnya eagle atau lotto (jaman kita dulu), atau wakai dan vans (sekarang). Atau siapa yang liburannya paling jauh dan paling wah. Sebenarnya itu bukanlah acknowledgement. Dan hanya anak-anak yang gak berprestasi yang jauh lebih mempermasalahkan hal-hal di luar diri sendiri, dan masih memakai uang orang tua.

Menjelang dewasa, makin susah untuk berprestasi lebih. Dan lebih mudah untuk mendapat pengakuan berdasarkan kepemilikan barang-barang. Jadi sepeda motor dan HP menjadi salah satu indikator 'prestasi', walaupun sebenarnya itu hanya gengsi.

Sebagai perempuan, banyak faktor yang membuat kita mendapatkan pengakuan. Dari sejak kecil, kita pasti lebih memuji anak perempuan yang cantik, imut, lincah, ramah. Ada standar yang lebih tinggi yang diukurkan ke anak-anak perempuan dibanding anak laki-laki. Selain itu, kerapihan, kebersihan, keteraturan, juga dilekatkan lebih ke anak perempuan dibandingkan anak laki.

Saat remaja pun, gadis yang cantik, lembut, berambut panjang, langsing, menjadi lebih preferable daripada gadis yang gak terlalu cantik (I tried hard to avoid using the word ugly here), pendek, gemuk, nyablak. Bukan hanya berpengaruh pada ketertarikan remaja laki, tapi juga diterima tidaknya dalam keluarga laki-laki dan masyarakat.

Laki-laki, di sisi lain, dinilai dari keberhasilannya, kesuksesannya, karirnya, kekayaannya. Gak masalah kalo kekayaannya (yang diasosiasikan dengan keberhasilan dan kesuksesan) itu didapat dari hasil menipu, merampok, korupsi. Asal kaya, jadi terpandang.

Pada akhirnya, banyak laki-laki mencari perempuan yang bisa dijadikan thropy-wife (untuk dipajang, dipamer, walau dibelakang berselingkuh dengan yang lebih bisa bersenang-senang). Di sisi lain, perempuan mencari laki-laki untuk dijadikan meal-ticket, walaupun hanya sebagai istri ke sekian atau selingkuhan. Konstruksi masyarakat yang mem-brainwash kita menjadi kita sekarang.

Makin kita dewasa, makin kita menjadikan gengsi, sebagai tolak ukur prestasi. Entah sampai kapan. Entah bagaimana mengubahnya.

Kota Wisata, penghujung Juli 2014