Rabu, 30 Juli 2014

Acknowledgement: antara Prestasi dan Gengsi

Manusia hidup demi mendapatkan pengakuan dari manusia lain. Acknowledgement. Anak kecil akan berusaha melakukan hal-hal yang membuat orang tua (dan orang dewasa di sekitarnya) untuk merasa senang. Contohnya adalah babbling kata-kata (yang buat kita) gak bermakna saat mulai belajar berbicara. Kemudian mengulang-ulang kata-kata yang (mungkin) buat kita sedikit bermakna (terlihat dari perubahan raut wajah orang dewasa), misalnya: papa, mama (yang sebenarnya merupakan babbling konsonan labial dasar, p, b, m sebagaimana diajarkan di bahsa mandarin dalam pin yin).

Seiring bertambah usia, anak akan membutuhkan pengakuan dalam bentuk yang berbeda. Baik itu merupakan prestasi akademis, maupun prestasi non akademis. Mungkin ada yang bilang, anak berbakat akan lebih berprestasi. Menurut aku, yang berprestasi sesungguhnya adalah anak yang lebih haus acknowledgement. Karena ada anak-anak yang pada usia ini, tidak terlalu memusingkan apakah perlu diakui atau nggak selama dia senang.

Yang lebih rancu adalah saat pengakuan dalam bentuk acknowledgement berbaur dan disalah-artikan dengan gengsi. Siapa yang sepatunya paling up-to-date misalnya eagle atau lotto (jaman kita dulu), atau wakai dan vans (sekarang). Atau siapa yang liburannya paling jauh dan paling wah. Sebenarnya itu bukanlah acknowledgement. Dan hanya anak-anak yang gak berprestasi yang jauh lebih mempermasalahkan hal-hal di luar diri sendiri, dan masih memakai uang orang tua.

Menjelang dewasa, makin susah untuk berprestasi lebih. Dan lebih mudah untuk mendapat pengakuan berdasarkan kepemilikan barang-barang. Jadi sepeda motor dan HP menjadi salah satu indikator 'prestasi', walaupun sebenarnya itu hanya gengsi.

Sebagai perempuan, banyak faktor yang membuat kita mendapatkan pengakuan. Dari sejak kecil, kita pasti lebih memuji anak perempuan yang cantik, imut, lincah, ramah. Ada standar yang lebih tinggi yang diukurkan ke anak-anak perempuan dibanding anak laki-laki. Selain itu, kerapihan, kebersihan, keteraturan, juga dilekatkan lebih ke anak perempuan dibandingkan anak laki.

Saat remaja pun, gadis yang cantik, lembut, berambut panjang, langsing, menjadi lebih preferable daripada gadis yang gak terlalu cantik (I tried hard to avoid using the word ugly here), pendek, gemuk, nyablak. Bukan hanya berpengaruh pada ketertarikan remaja laki, tapi juga diterima tidaknya dalam keluarga laki-laki dan masyarakat.

Laki-laki, di sisi lain, dinilai dari keberhasilannya, kesuksesannya, karirnya, kekayaannya. Gak masalah kalo kekayaannya (yang diasosiasikan dengan keberhasilan dan kesuksesan) itu didapat dari hasil menipu, merampok, korupsi. Asal kaya, jadi terpandang.

Pada akhirnya, banyak laki-laki mencari perempuan yang bisa dijadikan thropy-wife (untuk dipajang, dipamer, walau dibelakang berselingkuh dengan yang lebih bisa bersenang-senang). Di sisi lain, perempuan mencari laki-laki untuk dijadikan meal-ticket, walaupun hanya sebagai istri ke sekian atau selingkuhan. Konstruksi masyarakat yang mem-brainwash kita menjadi kita sekarang.

Makin kita dewasa, makin kita menjadikan gengsi, sebagai tolak ukur prestasi. Entah sampai kapan. Entah bagaimana mengubahnya.

Kota Wisata, penghujung Juli 2014

Jumat, 25 Juli 2014

It's (never) a Black and White World

Pemikiran ini diawali dari pertanyaan anak-anak, "Kenapa Prabowo dibilang melanggar HAM?"

Sebagai anak2 yang lahir setelah Era Millenium (paska Y2K), mereka sulit memikirkan bahwa negara yang dibilang 'gemah ripah loh jinawi' ini bisa menyebabkan luka bathin yang dalam di lokasi-lokasi bertikai, terlepas dari apakah pertikaian itu antara penguasa dan rakyat seperti Kasus Tanjung Priok dan Kedung Ombo, maupun pertikaian horizontal antar rakyat yang dipicu oleh dalang yang menghembuskan isu SARA seperti di Poso, Ambon. Apalagi penumpasan "pemberontakan" seperti di Timor Timur (sekarang sudah menjadi Negara Timor Leste), Papua, Aceh.

Aku sendiri, pra kejadian 98, atau lebih jauh lagi, yaitu sebelum kejadian Juli 1996, susah memikirkan ada Ibu Pertiwi yang memakan nyawa anak kandung sendiri. Negara yang membunuh rakyat. Mungkin aku adalah pengagum Film G30S/PKI, Janur Kuning, buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, dan pelajaran PMP dan PSPB yang dimotori oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Nugroho Notosusanto.  Jadi aku menelan bulat-bulat tai kucing yang disediakan pemerintah dan tercetak di buku-buku.  Aku juara 1 lomba cerdas cermat P4 tingkat SD se Kodya Surabaya saat kelas 6. Aku wakil sekolah untuk lomba bidang studi PMP/PSPB saat SMP. Aku ... produk sukses brainwash orde baru.

Keheranan dan keraguan mulai timbul saat SD kita diwajibkan nonton G30S/PKI di gedung bioskop. Dengan perasaan ngeri karena adegan yang di dramatisir, terutama saat Gerwani menari-nari sambil menyiksa para Jendral, mama membisikkan: "jangan percaya film ini, yang sesungguhnya terjadi gak seperti ini". Sumpah, suara mama yang lirih di gedung gelap saat kita fokus nonton adegan mengerikan itu, lebih seram dari thriller Stephen King.

Dan beberapa tahun sesudahnya, mama menceritakan bagaimana salah satu guru wanita di sekolah cina dimana dulu mama bersekolah, yang sangat sopan, baik hati dan lembut, suatu hari menghilang dan gak pernah kembali, karena dia dianggap Gerwani. Bahwa sesungguhnya gak ada kejadian penyiksaan oleh Gerwani. Bahwa mama pernah berminggu-minggu tidak tidur karena saat bersepeda keluar gang untuk berangkat sekolah, banyak mayat di sungai dekat rumah, setelah kejadian G30S. Sungguh mengguncang 'iman' akan sejarah bangsa ini. Jadi siapa yang benar?

Saat kuliah, sempat ada viewing film Riding the Tiger. Salah satu cuplikannya adalah kasus St Cruz di Dili, Timor Timur. Adegannya nyata, penguburan salah satu tokoh Fretelin yang meninggal beberapa hari sebelumnya, yang dihadiri banyak orang. Kemudian TNI merangsek berteriak-teriak. Orang-orang bubar. TNI menuju kameramen, dan kameramen (sepertinya) terjatuh, kemudian gelap. 

Adegan ini terulang di kepala saat anak-anak menanyakan masalah 'melanggar HAM'... Betapa 1 orang pahlawan suatu bangsa, adalah pembunuh buat bangsa lain. Betapa gerombolan penuntut kemerdekaan, adalah pengacau keamanan, pemberontak, buat golongan lain. Betapa pahlawan adalah siapa yang menang dan mencatatkan sejarah. Mungkin itu sebabnya sejarah disebut HIStory. 

Adegan demi adegan seperti berputar lagi di kepala ini, saat menonton film Act of Killing  nya Joshua Oppenheimer, saat jagal-jagal merasa jadi pahlawan, hanya karena mereka menang. Tidak ada penyesalan. Malah kejumawaan. 

Adegan berikutnya adalah saat FPI berteriak-teriak menyerang gereja dan orang beragama lain, dengan dalih membela Islam. Betapa pahlawan buat seseorang, adalah ancaman buat orang lain. Atau tetangga berburqa yang demi menghindari bersentuhan dengan laki-laki lain yang bukan muhrim, melemparkan kartu parkir kawasan ke tanah, untuk dipungut Bapak Satpam. Betapa keinginan kita untuk dekat dengan Tuhan membuat kita jauh dengan sesama, bahkan memperlakukan sesama manusia seperti binatang.

Sungguh betapa ironisnya bangsa ini... Ironis karena untuk menjadi orang baik untuk seseorang, kita harus jadi orang jahat untuk orang lain. Ironis karena untuk menjadi putih, kita akhirnya menjadi hitam....

Kota Wisata, 25 Juli 2014

PS: Thank you, mama, engkau membuat aku jadi manusia kritis yang kadang menyebalkan. Terima kasih atas sudah mengajariku:

Lebih baik memelihara kenyataan yang pahit daripada khayalan yang indah.




Selasa, 22 Juli 2014

Sesumbar



Demam pemilihan presiden th 2014 kali ini sungguhlah unik. Pertama adalah banyaknya black campaign yang berseliweran DAN (anehnya) dipercaya sama orang-orang, walaupun yang mengeluarkan pertama kali masih belum jelas manusia atau jin, pun yang memuat pertama kali adalah blog abal-abal milik perseorangan, atau website kaum fundamentalis ekstrim yang hari-hari biasa juga omongannya penuh fitnah dan kebohongan. (Memang masalah iman adalah masalah hati dan tidak ada logika -- bukan AgnezMo -- tapi ini akan jadi satu tulisan terpisah kalau mau dijabarkan panjang lebar, dan aku lagi gak minat ngomongin itu)


Selain itu, banyak orang sesumbar. Sesumbar di KBBI definisinya sebagai berikut:


sumbar /sum·bar/, bersumbar /ber·sum·bar /v cak bercakap besar; menyombong; menantang


Tetapi menurut aku, sesumbar itu ada makna spiritualnya, bahwa keyakinan atas apa yang kamu sombongkan atau tantangkan, diatas keyakinan kita bahwa Allah lah perencana terbesar dan tersempurna. Saat kita sesumbar, maka ada makna konotasi bahwa kita mendikte/memerintah Allah untuk mengabulkan apa yang kita mau, bukan sebaliknya, bahwa manusia ini hanyalah menjalankan rencana Allah.


Di dalam sejarah dan dongeng, dahulu kala pun banyak yang sesumbar. Salah satunya mungkin yang terkenal adalah Sumpah Palapa-nya GajahMada (again, ada interpretasi lain bahwa kepatriotisan GajahMada hanyalah drama karangan Moh. Yamin yang masuk ke kurikulum sekolah karena Moh Yamin pernah menjabat Menteri Pendidikan di awal kemerdekaan -- tapi sekali lagi, itu akan jadi tulisan tersendiri).


Tetapi, dahulu kala, sesumbarnya itu sifatnya pribadi, personal.


Tahun ini, banyak sesumbar yang mendukung calon presiden andalannya, dan dengan efek yang ... er... rada-rada. Mulai dari sesumbar potong titit, diperkosa rame-rame, lari telanjang (kalo ini kalo gak salah Sutradara @jokoanwar pernah melakukannya beberapa tahun lampau, walau tanpa lari -- sesumbar Joko Anwar).


Jadi sebagai pop culture yang merupakan produk sampingan dari pilpres kali ini, silakan menikmati hasil dari sesumbaran orang-orang pendukung capres 1 ini : sesumbaran selama pilpres


Adapun buat gue sendiri, sesumbar dalam bentuk apapun, adalah melangkahi kehendak Illahi. Hingga dalam pepatah Cina pun, ada istilah: 人算不如天算 (rén suàn bùrú tiān suàn), yang berarti Rencana Manusia tidak seperti Rencana Langit. Ada unsur spiritualitas disana. Sifatnya sangat pribadi, dan tidak perlu diumbar. Apalagi sampai dishare ke internet, yang cache-nya gak akan ilang walau tulisan utamanya dihapus.


Kota Wisata, 23 Juli 2014

Minggu, 20 Juli 2014

(Masih) Tentang Kematian

Sebenarnya satu-satunya yang pasti dari kehidupan adalah kematian. Kita tidak bicara mengenai definisi medis kapan manusia disebut mati. Karena bahkan menua pun adalah proses dari matinya sel-sel di tubuh kita.

Kematian selalu terasa jauh, sampai kita memberinya wajah. Iya, wajah....

Empat hari silam saat kabar bahwa pesawat Malaysia Airlines MH17 ditembak jatuh di Ukraina, berita ini hanya berkesan seperti berita-berita seperti hilangnya pesawat MH370 (beserta seluruh penumpang dan awak pesawat). .. Sampai suatu keesokan harinya, di Blackberry Group beredar kabar bahwa salah satu penumpang, Tante Gerda Lahenda, tenyata adalah mantan tetangga di rumah lama. Dan Yuli Hastini, adalah temen sekantor suami di perusahaan lamanya.

Seketika juga teringat di lembar ADDENDUM yang diserahkan pihak rumah sakit NUH Singapore untuk dibaca. Tertulis Death is a risk of any surgery. Approximately 1 every 4000 surgery. Well... 0.025% sih. Tapi tetap saja ada resiko yang namanya kematian.

Maka saat Greg dan Adeline weekend kemarin minta untuk dimandikan seperti jaman mereka bayi, dengan senang hati dan diselingi ketawa cekikikan, aku menyetujui permohonan mereka. Who knows that this might be the last chance to give them a shower. Dan mereka sangat menikmati kemanjaan gak jelas mereka.

RIP Tante Gerda dan Bu Yuli... Tuhan sayang sama kalian... and in time, too... hopefully Tuhan juga sayang sama aku...

Kota Wisata, 21 Juli 2014

Rabu, 16 Juli 2014

Berdamai dengan diri sendiri

Biasanya hari-hari menstruasi adalah hari yang paling mendebarkan,  sekaligus menyebalkan buat aku. Bagaimana tidak,  sejak jaman sekolah dahulu,  kita takut apabila 'tembus' (bukan BOCOR  ya)  ke rok seragam.  Terlebih bila ada kegiatan yg menuntut aktivitas tinggi seperti olahraga atau pramuka.

Begitu beranjak dewasa,  mulailah tiap masa menstruasi selain keluarnya banyak,  kadang diselingi nyeri. Mulailah aku menjadi pencandu obat-obatan mulai dari anti nyeri kelas paracetamol hingga asam mefenamat. Selain itu juga obat asam transeksamik untuk meredakan pendarahan.  Juga zat besi yang kuminum tanpa jeda selama 6th terakhir,  walaupun sel darah merah di tubuh selalu terlalu rendah.

Namun kali ini, hanya kali ini,  aku berjanji untuk menikmati hari-hari penyiksaan ini,  sebagai kenangan bahwa kali ini akan menjadi menstruasi terakhir dalam hidupku.  Bahwa hari ini,  Dokter akan menyuntikkan hormon blocker untuk menghentikan sementara kerja estrogen dalam badan.  Dimenopausekan. Itu istilahku.

Kali ini,  aku menghentikan segala obat-obatan dan dengan tabah berusaha menahan nyeri dan kram melilit yang timbul dari adenomiosis ini.  Kali ini,  aku berdamai dengan rahim ku,  berdamai dengan kewanitaanku.

Berdamai dengan tubuhku sendiri. Tubuh yang mungkin selama ini selalu aku anggap kurang sempurna, terlalu gemuk,  terlalu bertulang besar,  terlalu gempal,  terlalu kekar.  Sampai lupa berterima kasih,  bahwa tubuh ini adalah tubuh yang memberi kehidupan untuk diriku dan ketiga anakku.  Tubuh yang memberi pelukan dan kekuatan terhadap orang-orang yang aku sayang.  Tubuh yang lebih sering dicela daripada dipuji.

Jakarta, 16 Juli 2014