Rabu, 27 April 2016

PARIS...

Paris yang menyisakan rindu, sudut-sudut kota yang berhiaskan façade indah, dan bangunan-bangunan genit baroque dan rococo dengan renaissance di sela-sela tembok-temboknya.

Paris yang dialiri denyut nadi Sungai Seine, dimana bateaux mouches lalu-lalang, diiringi pasangan yang bergandengan tangan menyisiri senja di sepanjang urat air. Penduduk yang melambai ke bawah jembatan menyapa turis melintas, dan pelukis jalanan yang memamerkan karya seni sekitar NotreDame.

Paris yang angkuh, dengan kubah emas Des Invalides yang berisi sang penakluk, Napoleon, yang akhirnya takluk oleh jaman.  Tugu Alexander III yang mengkilat di tengah kota. Menara Eiffel yang berdiri kokoh seperti Gatot Kaca dengan otot kawat dan tulang besinya. Arc de Triomphe yang menjadi saksi kemenangan yang tidak pernah dilihatkan pembuatnya. La Defence yang tegak membatasi baru dan lama. Yang vintage dan modern.

Museum yang berjajar menawarkan sejarah manusia. Louvre, Orsay, Versailles, kini menjadi petromaks penarik turis-turis Cina. Semua terbang mendekat seperti laron lapar cahaya. Melesat, lalu moksa.

Sampai kita lupa, kita pun kunang-kunang yang punya cahaya.

Paris, 19-21 April 2016

Selasa, 26 April 2016

Kabar Buruk dari Tanah Air

Hari masih dini, lampu jalanan Paris pun masih redup. Sebuah pesan masuk ke Whatsapp yang hanya mengandalkan WiFi gratisan sepanjang perjalanan:

"Cie, Mama tangannya keple, sepertinya ada syaraf terjepit, harus opname di RS, tapi kamar RS penuh semua"

Demikian pesan dari Shanty, adik bungsuku, dari Surabaya.

Dalam kantuk yang luar biasa, aku berusaha menjawab oneliner: 
"Loh, kok bisa?"

Setelah itu, sebagian dari hati dan pikiranku tertambat pada kondisi mama, hanya bisa menelpon via whatsapp pada saat pagi sebelum bus berjalan lagi, karena Indonesia 5 jam lebih awal daripada Central European Time dengan Daylight Saving Time nya.

WiFi yang on-off dan perbedaan waktu menjadikan informasi menjadi dragging dan scarce.

Tiap kali bicara sama Mama, Mama selalu membesarkan hati dengan bilang 'gak kenapa-kenapa kok, tangannya lemes, nginep di RS dimonitor saja'.

Hasil MRI menunjukkan bahwa ada penyumbatan di otak kiri. Otak kiri, tangan kanan. Wrist down.

Kalo mau nurutin hati, pengen kabur pulang. Sampai ada reassurance lain dari adik-adik kalo mama gak kenapa kenapa.

Dan Paris pun tetap cerah, walaupun suasana mendung di Kapel Rue du Bac, dimana Katarina Laboure dan Louise de Marillac tidur dalam kecantikan abadi. Walaupun jantung Vincentius a Paulo berdenyut menjaga orang-orang miskin dan sakit, lama setelah dia pergi.

Paris, 19 April 2016

Selasa, 19 April 2016

Kesedihan di Nevers

Nevers adalah kota unik di pedalaman Perancis, kota yang terletak di samping sungai Loire yang lebar dan berarus deras ini mungil, rural, dan senyap. Kendaraan yang lalu lalang pun tidak terlalu banyak. Pun sesekali bus turis yang nyasar membuat jalanan padat sementara waktu.

Di kota ini terletak biara Ordo Cinta Kasih, tempat St Bernadette tinggal dan menghabiskan hidupnya, setelah Gereja Notre Dame du Lourdes diresmikan. Di biara ini pun, beliau meninggal dalam usia yang masih belia, karena sakit asma.

Jenazahnya yang kemudian digali ulang untuk penyelidikan beatifikasi (diusulkan sebagai Beata, langkah sebelum dinyatakan sebagai Santa), diketemukan utuh seperti hanya tidur.

Dikatakan pada saat dibersihkan, sempat ada bagian wajah yang terkikis dan menimbulkan bercak di wajahnya, sehingga kemudian diputuskan untuk dililin untuk melindungi dari kerusakan lebih lanjut.

Sisi kanan altar yang menjadi rumah dari jenazah St Bernadette yang diletakkan di peti kristal dengan inisial ND.L (Notre Dame du Lourdes) ini pun kaca patrinya lebih gelap dengan nuansa biru, dibanding kaca patri lain di kapel kecil ini.

Adapun pengunjung dan peziarah dilarang untuk mengambil gambar jenazah St Bernadette demi menghormati beliau dan (logika saya) mencegah kerusakan lebih lanjut karena lampu blitz.

Tetapi saat menunggu giliran Misa pagi iti, beberapa orang di group kami, mencuri-curi mengambil gambar. Juga dengan blitz. Saat itulah hati yang terasa teriris. Bahkan demi exist dan bukti pernah melihat jenazah yang sungguh utuh, orang mengorbankan melanggar kesucian seorang Santa.

Apakah manusia benar-benar harus melihat bukti baru percaya, dan bukan hanya melihat dengan mata iman. Bukankah Yesus sendiri berkata "Berbahagialah yang tidak melihat, namun percaya"

Nevers, 18 April 2016

Sabtu, 16 April 2016

Roma

Kota yang menyimpan sejuta romansa dalam denyut nadinya. Kota dimana bangunan-bangunan tua dan sejarah dunia berkelindan dengan spiritualisme dan modernitas.

Kota di mana gedung-gedung berarsitektur bersolek indah bersanding dengan kemuraman puing-puing kuno. Kota dimana gadis-gadis molek berlenggok menggoda pria. Dan kaum berjubah yang bertebaran di sepanjang jalan kota. Kota dimana laki-laki menjadi laki-laki sesungguhnya, dan yang suci sesekali binal tanpa dihakimi.

Langit pun berbicara banyak di Roma. Tentang keceriaan matahari senja yang keemasan. Tentang kesenduan mendung dan awan yang menggayuti halaman Basilica.

Pillar ballustrade yang angkuh, keras kepala seperti Santo Petrus, berjajar menjajah lapangan San Pietro. Patung raksasa di sepanjang jalan kota, menyapa membisikkan berbagai kisah insan dunia.  Bahkan angin pun berbisik merayu pengembara hati dan peziarah yang singgah di sudut-sudut kota, menyusuri pori-pori kota yang berdenyut dengan gairah. Menjelajahi urat nadi kehidupan antara keharuman aroma kopi dan roti yang baru dipanggang.

Reruntuhan kuno  meneteskan kisah-kisah kaisar-kaisar dan raja-raja. Tentang kemewahan, kejayaan, juga kejatuhan suatu wangsa. Gedung-gedung indah dengan ornamen baroque yang bersolek.

Jalan setapak sepanjang sungai Tigris, melewati kolong jembatan berornamen indah, atau sekadar mengamati aliran air yang melintasi kota sejuta Gereja.  Atau lorong-lorong yang melewati gang-gang sempit penuh dengan bau pesing pemabuk dan bau alkohol menyengat.

Roma adalah kota pusat paganisme dengan dewa-dewa Romawi, juga pusat Gerejawi. Berjaya namun beda masa. Sisa kejayaannya berserakan di jantung dunia. Berdetak perlahan namun pasti.

Roma seperti apa yang lekat dalam ingatanmu? Yang membuat engkau rindu untuk kembali. Roma seperti apa yang ada dalam khayalmu? Yang membuat engkau berangan pergi?

Roma, 12 April 2016

Jumat, 15 April 2016

Kubur Berbisik

Menara miring Pisa adalah menara lonceng yang ada di pelataran Katedral Pisa. Di kompleks Katedral tersebut, ada kubah Baptistry untuk tempat pembabtisan massal, yang terdekat dari gerbang utama kompleks. Kemudian ada bangunan Katedral sendiri dengan façade nya yang megah dengan Regina Caeli ada di puncak façade.

Selain itu, agak ke belakang, ada menara Pisa yang di puncaknya (lantai ke 7) ada 5 buah lonceng tembaga yang sudah kehijauan dimakan cuaca. Kelima lonceng ini besarnya berbeda. Yang paling besar diameter kira-kita 120cm. Yang paling kecil 50cm. Berurutan berkeliling dari terbesar ke terkecil searah jarum jam.

Di sebelah kiri bangunan Baptistry dan Katedral, terdapat bangunan polos persegi memanjang ke belakang. Bangunan ini lebih jarang disambangi pengunjung. Bangunan ini berisi kuburan umum. Selain banyak orang awam, juga ada beberapa orang kudus disemayamkan di tempat itu.

Bagian dalam cemetery itu, berjajar sarkofagus marmer. Di bagian lantai terdiri dari kotak-kotak makam, bertuliskan relief dengan aksara romawi sebagai penanda makam.  Di salah satu dinding juga ada deretan patung dada entah siapa.

Taman di tengah kuburan itu adalah hamparan rumput hijau berbingkai jendela gothic, yang mengakibatkan bulu kuduk berdiri.

Karena bagian ini paling jarang pengunjung, maka makin terasa suhu udara yang dingin. Ditambah lantai dari marmer dan dinding ber-fresco yang mengelupas dan pudar membuat suasana makin mencekam.

Sore itu, kita diperbolehkan untuk mengadakan Ekaristi di salah satu kapel di dalam pemakaman itu. Kapel dengan atap dome yang melengkung, yang membuat suara Romo menjadi indah secara akustik.

Ternyata di dalam kapel tersebut terdapat 2 lemari besar berisi relik pada kudus. Bagian tubuh. Tulang, tengkorak, jubah. Yang disimpan dengan baik dalam bejana-bejana dibalik lemari kaca.

Meja altar yang menempel di dinding mau tidak mau membuat Monsignor yang memimpin Misa mengadakan Misa secara Tridentin, dimana Imam membelakangi umat, bukannya menghadap umat.

Di lagu terakhir saat penutupan Misa, yaitu "Hai Makhluk Semua" (PS 672), refren yang kita nyanyikan bersama, berasa seperti yang menyanyi Alleluia Alleluia nya bergaung dan bergema, seakan lebih dari jumlah orang yang menyanyi.

Seakan arwah-arwah orang kudus dan para-kudus yang ikut berbisik mendaraskan Alleluia Alleluia bersama dengan kita, mereka yang berdiam di sana bersemayam menunggu relikwinya ...

Pisa, 14 April 2016

Kamis, 14 April 2016

Buongiorno Papa Francesco

Buongiorno, Papa Francesco!!

Thank you for the beautiful audition this morning. Baru kali ini aku melihat langsung lautan manusia berjejal-jejal ingin bertemu denganmu. Mungkin cuma bisa dibandingkan Jokowi saat Pilpres.

Bedanya, Jokowi butuh dukungan, jadi orang-orang datang menyatakan dukungan dengan kerja gratis, baik itu menyanyi, mengkoordinir, dll.

Kalo Bapa Paus? Aku yakin Bapa gak butuh dukungan. Justru Bapa yang mendukung kami. Bukan aneh, tetapi Engkau mendukung kami untuk waras dalam beragama. Bahwa kemanusiaan lebih penting dari kebenaran ritual, dan tafsir ayat. Bahwa kita menjadi wajah Bapa di surga, Boss besar kita.

Terima kasih sudah menyapa kami, yang mungkin rada minder karena berkulit coklat dan berasal dari negara kere. Engkau tidak membeda-bedakan umatmu yang tersebar di seluruh dunia.

Papa Francesco, terima kasih pula memilihkan Injil Matius yang dibacakan bergantian dalam 8 bahasa, antara lain : Perancis, Inggris, Jerman, Spanyol, Italia, bahkan Arab. Ya. Arab... bahkan dari bangsa yang "katanya" membenci Engkau.

Injil yang kau pilih menunjukkan Kerahiman Ilahi, bahwa saat pagi hari, apapun masalahmu , suatu hari akan terangkat dari pundakmu. Matius pun, pemungut cukai, meninggalkan pekerjaannya dan mengikutiNya. Bukan karena Ia menjanjikan harta berlipat ganda. Tetapi dengan menunjukkan bahwa pendosa pun diterima.

Dalam hingar bingar perjumpaan denganmu, yang sudah di skala otaku bertemu superstar idola, aku tidak tahu lagi mana yang bagi hatiku lebih penting...

Foto close up kala engkau lewat kah?

Atau sapaanmu agar kami menanggapi ajakan Tahun kerahiman ilahi dengan berpaling kepadaMu dan menerima saudara-saudara yang berdosa dengan sentuhan kasih?

Roma, Rabu 13 April 2016
Pasca audisi umum dengan Paus Fransiskus

Sabtu, 09 April 2016

Kita dan Budaya Kemarahan

Belakangan ada satu video yang berhasil menjadi viral. Isinya anak gadis berseragam SMA yang marah-marah dan mengancam polisi sambil membawa nama "bapak"nya yang merupakan salah satu petinggi di salah satu instansi.

Gadis yang bersama teman-temannya yang baru saja melampiaskan euphoria selesai Ujian Nasional (dan belom tentu lulus) ini, diberhentikan polantas karena mengendarai mobil dengan bagasi terbuka.

Alih-alih sadar dengan diingatkan secara baik-baik, anak kemarin sore ini dengan suara tinggi marah-marah. Melotot-melotot. Bak maling yang ketangkep kemudian lebih galak dari yang dimalingin.

Kemudian netizen dan media beramai-ramai memblow up kelakuan yang memang kurang pantas itu, dan diresonansi oleh social media dan citizen jurnalists. Mungkin antara lain gue.

Karena kabarnya jadi besar berkat resonansi ini, jadilah polisi terpaksa bertindak, melacak siapa gerangan dia, apalagi polisi yang diakuin si Bapak, menampik dia memiliki anak gadis. Dan saat polisi datang ke rumah, keluarga kaget dan ayah ybs justru sakit dan menginggal karena shock dan tertekan.

Memang belakangan ada budaya dan fenomena mengumbar kemarahan. Ada yang mengumbar kemarahan secara langsung seperti gadis ini.  Gesture nunjuk-nunjuk seakan-akan dia doang yang punya telunjuk. Dan mimik melotot-melotot seperti ibu tiri galak di sinetron lokal abal-abal.

Ada juga yang mengumbar kemarahan di media, dengan tulisan. Dan media yang dipilih adalah media sosial. Karena dengan media sosial, semua bisa menulis, semua bebas bicara.

Tetapi ada perbedaan mendasar dengan freedom of speech (atau freedom of writing) dengan freedom of attacking.  Sejak kapan keduanya itu dianggap identikal, atau paling tidak sejalan seiring?

Memang marah atau ngamuk itu so khas bangsa Indonesia. Bahkan salah satu serapan kata di Bahasa Inggris dari Bahasa Indonesia adalah "amock" ... mungkin orang bule kaget lihat bangsa kita ngamuk dan kalap seperti kesurupan.

Paling utama adalah, orang yang marah-marah padahal salah, itu biasanya menutupi ketakutannya karena sadar dia salah. Atau dia tau, kesalahannya yang ketahuan orang akan mengubah privilege-nya dari hak yang sebelumnya dia punyai secara tidak adil.

Yang kedua adalah orang nyinyir di media sosial, karena selama ini kita merasa banyak ketidakadilan yang tidak bisa dijamin apalagi diwujudkan oleh negara (termasuk institusi kenegaraan seperti DPR, Polisi, KPU), bahkan kadang kita merasa Tuhan pun gak adil karena yang korupsi tetap senyum manis nenteng Hermes, sedang yang jujur tetap kere.

Rasa ketidakadilan diperparah dengan deretan berita anak petinggi dan anak artis beken lepas dari hukuman setelah menabrak orang sampe mati. Juga artis cantik sexy yang dihukum ringan, bahkan sekarang bisa main film dan jual diri lagi.

Jadilah salah satu pelepasan kekesalan itu adalah ngoceh dan ngomel di social media. Iye, termasuk gue.

Dan bila ngomel massal ini dianggap sebagai bullying, ya itulah kefrustasian orang biasa menghadapi orang-orang yang merasa lebih punya hak daripada orang umum.

Mentang-mentang anak polisi, berarti boleh seenaknya. Mentang-mentang artis. Mentang-mentang kaya. Dan kementang-mentangan yang lain yang menjadi kesewenangan.

Jadi inget teman yang menunjukkan survei AC Nielsen bahwa media cetak yang paling banyak dibaca adalah majalah Hidayah, diiringi analisa "mungkin orang mau bahwa keadilan itu langsung ditegakkan dalam bentuk nyata" mengingat cerita-cerita di majalah Hidayah itu adalah... ya gitu deh..

When will netizen stop being nyinyir? Mungkin kalo keadilan benar-benar terwujud. Keadilan ala-ala Nabi Sulaiman atau Ratu Shima.

Bermimpi boleh, kan? Mumpung mimpi masih belom menjadi obyek pajak...

9 April 2016