Jumat, 28 April 2017

Wisata Flora Balai Kota Jakarta

Beberapa hari ini postingan foto, artikel, status tentang bunga untuk Ahok - Djarot memenuhi seluruh timeline dan feed social mediaku, membuatku melangkahkan kaki ke BalaiKota Jakarta, tempat semua hingar bingar berasal.

Karena hari ini aktifitas di Jakarta Pusat, dan kebetulan selesai cepat, maka setelah parkir di the Plaza, segera aku melangkahkan kaki ke Halte TransJakarta terdekat, which Google Maps menunjukkan Halte Bunderan HI.

Tapi karena tolah-toleh, halte Bunderan HI sudah raib karena konstruksi MRT, maka terpaksa aku berjalan melewati Japan Embassy dan construction site hingga di Halte Sarinah.

Jam 09.00, penumpang TransJakarta sudah berkurang. Masuk ke Halte menggunakan kartu e-money Mandiri maupun Flazz BCA hanya dipotong Rp. 3.500,- selama tidak keluar dari Halte.

Tiap TransJakarta yang lewat, petugas di dalamnya membawa papan bertuliskan tujuan akhir rute tersebut. Karena di Google Maps tertulis jurusan Pulogadung supaya bisa berhenti tepat di depan BalaiKota, maka mulailah proses bertanya-tanya.

Ternyata jurusan Pulogadung tidak berhenti di Halte Sarinah. Tetapi berhenti di Halte Monas. Lanjutlah aku naik TransJakarta ke Halte Monas sebelum akhirnya naik Halte jurusan Pulogadung.

Saat mengantri turun, ada seorang bapak difable yang dibantu petugas turun melalui platform gap yang lumayan besar sekitar 30-40cm. Lumayan menyusahkan bila kita memakai rok.

Yang memudahkan adalah, setiap stop, akan ada pengumuman suara mezzosopran Mbak-Mbak yang terdengar lumayan empuk di telinga.  Penyebutan nama halte dengan jelas memudahkan penumpang-penumpang yang belum biasa naik Transjakarta, supaya halte yang dituju tidak terlewatkan.

Sejak dari Bundaran Indosat atau Bundaran Thamrin sudah terlihat jajaran bunga papan yang ditujukan untuk Ahok dan Jarot. Bunga-bunga ini berjajar sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan.


Bukan hanya itu saja banyak sekali orang-orang yang lalu lalang dan masuk ke area BalaiKota termasuk ibu-ibu juga anak-anak sekolah. Benar-benar seperti tamasya. Semua yang datang pun kebanyakan bergerombol dan beramai-ramai.


Kali ini bukan kali pertama aku melewati balai kota. Setiap mendaftar visa untuk Amerika Serikat, kita selalu parkir di IRTI dan berjalan kaki ke Kedutaan Amerika Serikat, dan itu pasti melewati BalaiKota Jakarta.

Tetapi biasanya tidak pernah terbersit sedikitpun untuk melirik ke dalam BalaiKota apalagi mampir.

Hari ini terlihat jelas bahwa balaikota lah pusat pengunjung. Dan wajah-wajah yang hadir semua adalah wajah-wajah riang.

Sulit dipercaya bila yang hadir di balai kota adalah orang-orang yang merayakan kekalahan bukan Merayakan kemenangan.

Dan begitu turun dari halte busway balai kota kita disambut dengan jajaran bunga papan yang memenuhi kedua sisi jalan, baik yang di deretan Monas, maupun di deretan balaikota, juga di tengah jalur hijau.


Seperti biasa yang menarik pandangan kita adalah banyaknya orang-orang yang berfoto selfie di depan papan-papan bunga itu. Ada yang mencari papan bunga kirimannya ada juga yang berfoto di depan papan bunga yang kata-katanya lucu.

Bahkan ada tim yang sengaja berfoto di depan papan-papan yang tertulis dari luar negeri dan memang banyak.

Kata-kata yang lucu-lucu pun sepertinya hanya bisa dikarang oleh sekelas copywriter profesional.





Di tanah pendopo banyak orang mengantri untuk bisa berfoto di corner, yang pertama kali ketika melihat, aku pikir benar-benar ada ahok-djarot nya. Namun setelah dilihat lagi yang ada hanya boneka Ahok Djarot.

Orang ngantri dengan sabar dan tawakal untuk berfoto hanya dengan boneka dan mereka happy.



Diantara orang-orang banyak yang datang untuk berfoto dengan papan papan bunga itu ada beberapa ibu-ibu tua yang memunguti bunga-bunga segar dari papan papan yang mulai jelek. Mereka bisa mengumpulkan segenggam bunga bunga segar yang entah untuk apa.


Di sisi lain ada mobil mobil bak terbuka yang mengangkut papan papan bunga yang mulai rebah karena dibuat untuk semi permanen. Pihak security pun seakan sudah angkat tangan dengan jumlah massa yang datang.


Banyak juga tukang ojek yang mangkal di sekitar balai kota. Benar-benar kelihatan seperti pesta. Benar benar terasa bahwa rakyat merasa balaikota itu adalah rumah mereka.


Berbagai perasaan menyergap hati. Ada geli melihat tulisan-tulisan lucu. Ada haru melihat begitu banyak perhatian untuk Ahok Djarot sekaligus sedih dengan fakta bahwa ahok-djarot harus keluar dari Balai  kota.

Di sana aku menyadari bahwa Ahok sudah membuat ruang terbuka di Jakarta menjadi lebih ramah. Tidak ada rasa khawatir berjalan kaki di tepi jalan raya. Pedestrian tertata dengan rapi. Transportasi umum dengan Transjakarta membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Apalagi di hari panas, masuk ke Transjakarta yang dingin, maknyess sekali rasanya.



Sebagai anak dari keluarga kelas menengah yang dari kecil di brainwash bahwa ruang itu tidak aman, sehingga berjalan di ruang  terbuka dengan kendaraan umum itu menakutkan, pemerintah daerah berhasil mengubah pandangan itu.

Bahkan bila di luar negeri, aku merasa bahwa menjelajah kota yang terbaik itu adalah dengan jalan kaki dan dengan angkutan umum;  hari ini aku merasakan hal yang sama untuk kota Jakarta.

Dan kita melihat dengan kasat mata pembangunan infrastruktur masih berjalan terus. Setiap bulan ada hal-hal baru yang selesai dibangun dan mulai bisa dimanfaatkan.

Dorongan agar warga beralih ke kendaraan umum pun mulai nyata hasilnya. Kelas menengah tidak ragu-ragu naik TransJakarta karena kenyamanannya.

Di Thamrin, dalam perjalanan kembali memgambil kendaraan, ada Park and Ride seharga Rp. 5.000 / hari / mobil (bandingkan dengan tarif di mall yang Rp. 5000 / jam).


Kasarnya bila karyawan sekitar Thamrin / Sudirman memarkirkan kendaraan di lokasi ini, pengeluaran Parkir sebulan hanya 120.000 (asumsi 25 hari kerja).

Apabila dengan ongos TransJakarta Rp. 3500/jalan, pp adalah Rp. 7.000 (alias Rp 180.000/bulan). Total hanya Rp 300.000 atau 10% dari UMR Jakarta (diluar tol dan bensin).

Perlahan, Jakarta menjadi kota yang lebih ramah. At least itu yang dirasakan kelas menengah. Kecuali saat jalan-jalan diblokir orang orang-orang yang beribadah sambil menghujat sesama.

Saat ini ada satu dorongan yang menyebabkan orang bangga menyebu diri sebagai warga Jakarta , orang bangga menyebut diri sendiri sebagai bangsa Indonesia.

Selain itu, juga ada harapan yang dirasakan hilang dengan masuknya pemenang pemilihan kepala daerah yang dianggap proxi penguasa-penguasa lama, yang berhutang budi untuk modal kampanye dan black campaign.

Mungkin memang kita belom boleh secepat itu bahagia.