Sabtu, 28 Mei 2016

Pramugari

Terbang dari satu kota ke kota lain. Check-in di bandara satu ke bandara lain. Foto-foto di kabin pesawat dengan bestie yang cantik dengan tubuh sempurna. Mungkin it menjadikan Pramugari atau Air Stewardess sebagai pekerjaan impian buat sebagian orang.

Bagi beberapa orang lainnya, yang gak memenuhi persyaratan utk menjadi awak penerbangan, pramugari / pilot adalah pacar impian, mungkin karena image glamour dan kesempurnaan kecantikan yang dimunculkan oleh airlines dan media sendiri.

Hal ini menimbulkan stigma dan stereotyping dari profesi ini. Bahwa pilot dan pramugari adalah orang-orang liar yang mudah digoda dan tergoda, mudah dibawa tidur.

Stigma yang sama terhadap Sales Promotion Girl , terutama rokok, mobil, minuman beralkohol, yang dari industrinya memang ada keinginan mengeksploitasi birahi customernya demi naiknya penjualan.

Kita jadi lupa bahwa mereka adalah pribadi-pribadi biasa yang punya kehidupan pribadi yang sama sekali jauh dari glamor. Orang biasa yang juga berkutat dengan semua permasalahan pribadi mereka.

Bagaimana mereka harus bekerja dengan jam-jam gila. Dijemput tengah malam dan harus terbang subuh saat semua orang masih lelap. Harus berpisah dengan keluarga. Kebingungan mereka mengatur jadwal cuti untuk acara-acara penting keluarga.

Berapa yang lain yang mungkin kebetulan susah hamil,  tidak bisa mempunyai anak karena jadwal kerja.

Bagaimana SPG yang bekerja malam, menanggung orang tua atau anak yang sakit. Yang suaminya tidak bekerja.

Adeline yang pernah mengunjungi Garuda Training Center bersama Reporter Cilik Media Anak dari surat kabar Media Indonesia, pernah berceloteh... jadi pramugari itu tugas yang berat. Harus bisa jadi porter, ngangkatin koper penumpang kalo mereka gak kuat atau nggak nyampe. Harus bisa menjadi pemadam kebakaran sekaligus tim SAR, kalo terjadi kondisi darurat, memadamkan dan menyelamatkan penumpang. Harus bisa menjadi waitress kalau menyuguhkan makanan. Harus bisa bela diri. Pendeknya, keamanan, kenyamanan, serta nyawa kita selama penerbangan, ada di tangan pramugari /pilot.

Tuntutan itu ditambah dengan tuntutan fisik, berat badan harus 52kg ke bawah. Kalo gue sih udh gak mungkin jadi pramugari *bukan curhat*. Overweight bikin maskapai rugi.

Jadi di tengah pekerjaan yang berpotensi stress dan bahaya tinggi ini, apabila ada yang tega untuk berharap bisa 'iseng-iseng berhadiah' maka terkutuklah orang itu.

Orang-orang yg suka mengambil kesempatan dalam kesempitan ini, juga akan mengambil kesempatan dalam kesempitan lain: korupsi, selingkuh, menindas bawahan, dll.

Lebih terkutuk lagi orang-orang yang tega bertaruh siapa yg bisa meniduri pramugari/pilot mana... gue doakan jomblo ngenes seumur hidup.

29 Mei 2016

Minggu, 15 Mei 2016

50 Hari itu Abadi

Pentakosta. Hari ke 50.

Di Alkitab Perjanjian Lama, awalnya Pentakosta ini Hari Raya Panen Gandum. Dimana mereka bersyukur pada Yahwe, pemberi gandum yand diolah menjadi roti, makanan pokok bangsa Yahudi.

Berikutnya Pentakosta menjadi hari ke 50 dari Passover / Paskah Yahudi, dimana Tuhan lewat. Hari dimana Musa beroleh dekalog (10 Perintah Allah). 50 Hari pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir.

Di Perjanjian Baru, Pentakosta adalah 50 Hari setelah Yesus bangkit setelah mati disalib. 50 Hari yang ditandai dengan turunnya Roh Kudus dalam rupa lidah api bertebaran di ruangan.



Roh Kudus yang membuat mereka mampu berkarya untuk Kerajaan Allah di luar kemampuan dan keberanian manusia biasa, karunia kharismatik.

Dan hingga kita tiba di Lourdes dan mengikuti Misa Internasional di Basilica bawah tanah (yang bentuknya seperti alien spaceship), dan saat prosesi, terasa bahwa Roh Kudus juga turun di tempat ini.

Bagaikan para Rasul di Gereja Perdana, peziarah dari berbagai macam bangsa dan bahasa, berdoa dalam bahasa mereka sendiri, namun masing-masing dari kita mengerti dan memahami apa yang didoakan.

Di Lourdes, 50 Hari itu, menjadi abadi....

Kenangan perjalanan Lourdes, 17-19 April 2016

Hari Raya Pantekosta, 15 Mei 2016.

*gambar dari www.joyfulheart.com
Lukisan Joseph Ignaz Mildorfer (Swiss painter, 1719-1775),"Pentecost" (1750s), oil on canvas, 55x33 cm, Hungarian National Gallery, Budapest

Rabu, 11 Mei 2016

#AADC2 dan Realita Persahabatan

Udah nonton #AADC2?


Bukan, kali ini bukan tentang Rangga. Bukan pula tentang Cinta. Karena Cinta selalu dapat memilih #eciyeee


Tapi ini tentang persahabatan.. persahabatan remaja yang bertransformasi menjadi persahabatan dewasa.

Semudah itu kah?

Teorinya iya. Apalagi menilik berat badan artis-artis pemeran di #AADC2. Setelah 14 tahun masih tetap. Kecuali Milly. *loh, sek ta lah, iki tentang opo seh?* #curcol #baper


Kenyataannya gak seindah dan semudah itu. Selisih terbesar antara teori dan realita adalah 10kg berat badan, at least, karena mempertahankan berat badan itu susah, terutama setelah menikah dan punya anak. Jauh lebih susah dari soal-soal Ujian Nasional. *iki maneh*


Selain itu, gak semua suami modelnya seperti Christian Sugiono, suami Maura yang modis dan stylish itu. Kebanyakan suami modelnya seperti Trian yang serius, dingin, dan gak seru. Minimal macam Mamet deh, suami Milly. Kalo gak kenal nama-nama di atas, silakan nonton dulu #AADC2. Mumpung masih main di bioskop.


Belom lagi masalah anak. Kalo mereka 11 tahun setelah lulus SMA, kita ini double dosis nya. 25 tahun. Jadi kalau mereka itu baru mau nikah, baru mau punya anak, atau anaknya masih kecil, tidak demikian dengan kita. Begitu masuk SD, jadwal bolos lebih susah. Pun kalau ditinggal, jadwal antar jemput sekolah dan les akan terbengkalai. Apalagi jaman sekarang cari pembantu susah... Belum lagi lirikan maut dari mertua...#curcolmaneh...


Hal-hal tersebut membuat main ke luar kota beberapa hari itu hanya utopia kaum jojoba (jomblo jomblo bahagia). Apalagi bisa sambil ketemu mantan #lahhhh

Demikian juga dengan rencana reuni kali ini. Sempat terpikir serunya beberapa jam berkumpul dengan konco lawas, sebelum reality bites, bahwa semua sobat jaman sekolah gak bisa datang, kecuali 1 orang bestie yang bisa datang.

Langsung mellow semalaman...

Cibubur, 11 Mei 2016

Selasa, 10 Mei 2016

Makna Reuni

Belakangan group whatsapp SMP/SMA kami meriah, sejak adanya rencana Reuni 25 tahun kelulusan SMA (iya, gue tua. Diem nape?)


Selain dibentuk kepanitiaan untuk hari H yang menentukan dari dekor hingga layout, juga ada koorinator per lokasi untuk yang tugasnya mencari alumni di sekitar kota/negara tersebut.


Maklum, walaupun SMA kita di Surabaya, tapi alumninya tersebar seluruh Indonesia, bahkan di berbagai kota di manca negara. (Sombong dikit boleh, kan?! Kapan lagi gitu loh!)


Dan sebagai orang yang ditunjuk sebagai koordinator Jakarta, mulailah aku bergerak dengan menuliskan nama-nama teman yang diingat-ingat kemungkinan ada di Jakarta.


Beberapa nama memang kita sering chat, beberapa lagi aktif di whatsapp group. Tetapi challenge terbesar adalah mengajak dan mendata teman-teman alumni yang silent reader, maupun yang silent beneran (alias gak ada kabarnya).


Memang group whatsapp kita itu kalo dipikir-pikir isinya pada orang bawel. Dalam kondisi ramai, ditinggal beberapa jam, chatnya bisa mencapai ribuan. (SUWER!! Tanyain para pelaku kalo gak percaya!)


Dan saat menghubungi kembali teman-teman yang silent, dan tidak aktif di social media, barulah kita ngobrol hati ke hati. Tentang keluarga dan anak-anak yang susah ditinggal, tentang pendidikan anak-anak, tentang belajar melepaskan anak-anak seperti melepaskan anak panah (tercantum di sajak Khalil Gibran).


Juga ada kisah tentang kesulitan di tempat kerja, juga tentang orang tua kami yang menua, dan segala problem kesehatannya.


Di situlah aku sadar. Reuni bukanlah saat tubuh kita hadir di tempat yang sama.
Makna reuni yang terdalam justru adalah saat kita berbagi mengenai kehidupan sekarang, menyetem ulang dawai-dawai kehidupan kita supaya menghasilkan nada yang sama, bersimpati pada permasalahan yang sama, menjadikan permasalahan orang lain menjadi anugerah yang kita olah sebagai doa-doa kita. Mengejar dan menyelaraskan apa yang tertinggal dari 25 tahun yang lalu.


Bahkan pada saat fisik kita berjauhan.


Cibubur, 10 Mei 2016

 credit image by Addy Widjaja... yang sekelas di kelas gila IIA1.1

Selasa, 03 Mei 2016

Mama

Apalah artinya hidup?

Hidup tak lebih dari sekumpulan aksi hectic menyambung nafas, yang kemudian menggumpal menjadi kelebatan memory.

Sepanjang hidup, memory tentang mama berkisar pada toko kain yang beraroma acetate, parfum Diorissimo, lembut harum jasmine, lipstick yang patah karena dipakai bermain adik lelakiku saat usia 3 tahun.

Mama adalah lagu-lagu Teresa Teng yang membuai dan rambut bergelombang yang harus dikeriting setiap sekian waktu. Perjalanan naik becak menjahitkan kakekku pakaian saat ulang tahunnya yang merenta, dan buku 姐妹 yang menjadi acuan mode Hongkong.

Mama adalah tangan hangat yang menggenggam saat menyeberang jalan, elusan di rambut yang mendesirkan syaraf kepala, juga pelototan mata saat kita bertingkah.

Mama adalah paradoks, yang melarang sekaligus nantinya memberi ijin. Tentang berkawan. Tentang baptis. Tentang suami. Tentang studi di luar negeri. Mama yang bangga kita mandiri, sekaligus selalu memberi.

Dan saat Mama ischemic stroke kemarin, Mama bukan lagi wanita tegar yang ada di masa laluku. Saatnya kita yang menggenggam tangannya, menyiapkan obatnya, mengancingkan bajunya, dan  membantu menyiapkan kebutuhannya.

Mungkin memory baru akan terbentuk perlahan. Tetapi, bagi aku, mama selamanya adalah hangatnya rumah.

Singapore, 28 April 2016