Jumat, 30 Desember 2016

Sepotong Surga yang bernama Wae Rebo

Barang siapa mencintai alam, dia akan mendapatkan kekuatan dari alam 
~ Loys Datang, guide Flores 

Hingar bingar politik yang terjadi belakangan ini membuat orang ingin retret dan mundur dari keramaian media massa dan dunia maya barang sesaat.

Saat memulai perjalanan ke Timur, kita sadar bahwa akan ada daerah pedalaman di mana kita tidak akan mendapatkan signal handphone. Apalagi mobile data. 

Tetapi perjalanan kami ternyata menyimpan lebih banyak petualangan dari sekadar terputusnya akses dari dunia luar. 

Selain memulihkan kebersamaan keluarga dan merajut kenangan kolektif tentang keindahan alam nusantara, kita juga menemukan keindahan lain di Wae Rebo.

Diawali dengan perjalanan dengan kendaraan selama 7 jam dari Bajawa, 3 jam diantaranya melalui jalan yang bukan hanya berkelok-kelok dan membuat orang mabuk darat, melainkan juga sempit dan rusak parah.

Bahkan di beberapa jembatan, tanah amblas dan menyulitkan kendaraan kami yang sebesar Isuzu Elf untuk lewat. 

Belum lagi tragedi pintu belakang kendaraan yang terbuka karena besinya terlepas dari body kendaraan dan menyebabkan beberapa barang berhamburan jatuh ke belakang. Akibatnya sisa perjalanan praktis pintu hanya ditahan dengan simpul tali. 

Kemudian kami menginap di Desa Denge di rumah penginapan Bapak Blasius Monta, salah satu putra Wae Rebo yang berkarir menjadi guru di SD Negeri Denge. Rumah yang sudah disulap menjadi 20 kamar sederhana ini menjadi base camp kami sebelum menuju Wae Rebo. 

Berpose dengan Pak Blasius Monta

Keesokan harinya kami berjalan kaki selama 4 jam (setara 10 km) melalui medan yang sempit dan menanjak. Di beberapa lokasi ada pohon tumbang, jalan berbatu, bekas longsor, air terjun, dan jalan berlumpur yang licin.





Suasana trekking

Seakan alam ingin menambah perjuangan kami, hujan mengiringi trekking kami, diselingi dengan cuaca mendung dan angin kencang di sebagian perjalanan. 

Jalan yang licin pun seakan menghantarkan kita jatuh bangun mengikuti medan perjalanan kita. Tak lupa lintah yang rajin mengikuti kita dan menggemukkan badan dengan menghisap tubuh kita.

Akhirnya setelah 4 jam (yang terasa seperti sehari semalam) kemudian, sampailah kita di rumah kayu atau pos terakhir desa adat Wae Rebo. Sebagai tanda tamu datang untuk kepala adat Wae Rebo, kami membunyikan kentongan dari bambu.


On frame: Pius Neta dan Gregory Mulia

Belum cukup sampai di sana, 500 meter terakhir harus dilalui dengan jalan super licin dan turunan curam sehingga sekali lagi jatuh bangun kita alami. 

Sampailah kita di lapangan terbuka yang dikelilingi 7 rumah adat Mbaru Niang, dimana sebelum melakukan apa-apa, kami diarahkan untuk menemui Kepala Adat di Rumah Gendang, yang merupakan rumah terbesar dari 7 rumah dengan lokasi di tengah dengan atap berbentuk tanduk kerbau kecil. 

Rumah Gendang sendiri dinamakan demikian karena di rumah inilah gendang yang dipakai dalam upacara adat disimpan. Diameter rumah 15 meter dengan tinggi 15 meter juga. Rumah Gendang diisi 8 KK yang berasal dari 8 keluarga.

Kakak kepala suku, Bapak Rafael (91 tahun) di Rumah Gendang

Rumah-rumah lain di sekitarnya berdiameter 10 meter, dan dihuni oleh 6 KK. Dan ada satu rumah di paling kanan yang memang dikhususkan untuk para tamu yang hadir. Di rumah untuk tamu, dapur dipisahkan di bangunan tambahan dibelakang bangunan utama. 

Uniknya Mbaru Niang ini hanya terbuat dari bambu dan kayu dengan ikatan. Tanpa paku, tanpa semen. Saat mendirikan pasak utama di tengah rumah, harus diawali dengan ucapara adat.

Greg dengan Mbaru Niang

Rumah-rumah ini dibuat 5 lantai.
Lantai 1 untuk tinggal, masak, makan.
Lantai 2 dan 4 untuk menyimpan bahan makanan dan hasil panen.
Lantai 3 untuk menyimpan bibit untuk ditanam di musim berikutnya.
Lantai 5 untuk sesajian pada leluhur.

Adapun di bawah panggung digunakan untuk menyimpan kayu bakar, memelihara ayam dan anjing, bahkan menenun. 

Setia menenun di dalam rintik hujan

Saat kami diterima secara adat oleh kepala adat, ada doa dalam bahasa setempat yang menyatakan mohon ijin kepada para leluhur untuk perlindungan  dan keselamatan kita, sekaligus diterimanya kita menjadi anggota warga masyarakat Wae Rebo, sehingga kami bukan lagi tamu, melainkan saudara. 

Di Wae Rebo, kita merasakan ketenangan dan denyut kehidupan rakyat yang sepenuhnya bergantung pada alam sekaligus mengatasi alam. 

Salah seorang penduduk yang datang menyapa dengan hangat, dan ternyata adalah kakak kandung Bapak Blasius Monta. Akhirnya beramai-ramai masuklah kami ke rumah tamu dan ngopi bersama dalam keakraban. Seakan kami bukanlah pertama kali berjumpa.

Bapak Philipus, kakak tertua Bapak Blasius Monta yang tinggal di base camp Denge

Di Wae Rebo, kami menemukan panggilan hidup bukan melulu masalah siapa menghasilkan uang terbanyak atau siapa paling berkuasa, tetapi bahwa jabatan Kepala Adat adalah pelayanan yang mengharuskan orang untuk tinggal di desa dan memimpin semua upacara adat, tanpa kekuasaan atas keluarga lain. 

Di Wae Rebo, kami belajar bahwa hidup ini hahekatnya adalah sederhana dan biasa-biasa saja. Para bapak ke kebun dan membawa hasil kebunnya ke kampung terdeka untuk dijual, dan membawa kembali beras, garam dan gula ke Wae Rebo. 

Di Wae Rebo, kami bersyukur dengan ibu-ibu yang beramai-ramai memasakkan tamu yang singgah, dan sisanya menghabiskan hari menenun kain kehidupan yang beraneka warna. 


Ibu Odilia dkk dan Marcel Silas.

Di Wae Rebo, kami menyerah pada alam, sekaligus mendapatkan kekuatan dari alam seperti quote dari Pak Loys.

Kami pun menemukan keluarga-keluarga baru di Wae Rebo. Pengunjung lain yang bersama-sama menjalani napak tilas kami, akhirnya menjadi seperti saudara yang hilang dan kita temukan kembali. Persaudaraan yang melampaui suku, ras dan agama.

Makan bersama

Dan saat kabut melintas di atas desa Wae Rebo sehingga pegunungan yang mengepung sekitarnya lenyap dari pandangan, kami pun tersadar bahwa kami sudah menemukan surga di bumi, sepotong surga yang bernama Wae Rebo.




Catatan perjalanan Mulia's Flores Trip - Wae Rebo 
23-24 Desember 2016


Kamis, 29 Desember 2016

Trip to Flores - Planning and Execution

Salah satu tempat yang sudah lama ingin aku kunjungi adalah danau 3 warna Kelimutu. Pelajaran geografi tentang keunikan crater lake (danau kepundan) ini sudah aku baca sejak SD, tetapi dahulu hanya bisa berandai-andai. 

Boro-boro mau ke Flores. Lokasi liburan kita yang saat itu tinggal di Surabaya, paling jauh ke arah barat adalah Semarang dan Jogja. Ke arah Timur adalah Bali.

Mimpi ini menguat ketika beberapa teman SMP/SMA yang tergabung di Whatsapp group berkumpul kembali, yaitu Fifi Limena dan Wemmi yang selalu menyemangati untuk pergi ke Maumere dan Labuan Bajo dimana mereka tinggal.

Belum lagi foto-foto spektakular dari akun instagram jalan-jalan. Contohnya @kakabantrip @tanahtimur @wendraalamanda yang bisa menampilkan lebih indah dari warna aslinya. 

Juga beberapa teman yang FB postingnya  membuat iri dengan travel adventure mereka ke Wae Rebo, yaitu Veronica Grasiaveni dan Nuniek Yuliana. 

Bahkan aku pernah bermimpi, bahwa suatu hari, aku akan mengambil sabattical leave dan menjelajah Flores selama 1 bulan. Dari Labuan Bajo ke pulau Padar, Rinca, Komodo, dilanjutkan ke Wae Rebo, Ruteng, Bajawa, Ende dengan Kelimutunya, Maumere, Larantuka, dan menyeberang ke Lembata.

Maka dari itu, saat kita punya kesempatan untuk pergi ke Pulau Komodo (dan Labuan Bajo), aku merasa "Life is too short not to go overland".  Walaupun masih baru 1/3 jalan dari rencana awal dan belom sampai ke Maumere, apalagi Lembata. 

Mulailah pencarian informasi mengenai perjalanan ke Flores. Rata-rata tour operator lokal menawarkan paket-paket singkat di seputaran Labuan Bajo. Apalagi dengan direct flight Garuda sejak September 2016 ini, Pulau Komodo seakan tampil sebagai alternatif long weekend island getaway selain Bali. 

Apabila ada tour operator yang menawarkan trip overland, rata-rata perjalanannya dimulai dari Labuan Bajo dan berakhir di Ende. Kemudian disusul either jalan darat kembali ke Labuan Bajo, atau flight non-direct ke Jakarta.

Dan... perjalanan Labuan Bajo ke Wae Rebo ini killing banget. 6 jam jalan darat dengan kendaraan (+ kondisi jalan raya jelek), disambung 3 jam jalan kaki untuk mencapai Desa Adat Wae Rebo membuat kita nyaris membatalkan perjalanan ini. 

Sampai akhirnya aku menemukan 1 nama yang muncul berulang di TripAdvisor, yaitu Teddy Aimbal. Uniknya, itinerary yang ditawarkan Teddy adalah reverse dari semua tour operator lain. 

Jadi kita akan landing di Ende (dengan 1x transit, either di Denpasar atau di Kupang), kemudian berjalan kembali ke arah Labuan Bajo. Dengan pace yang jauh lebih lambat daripada tawaran tour operator lain. 

Satu kekhawatiran yang kami pertimbangkan baik adalah kekuatan jalan kami ke Wae Rebo dari Denge (desa terakhir yang bisa dicapai dengan naik kendaraan), mungkin instead of 3 jam kita butuh 5 jam, karena kita membawa anak 3, as young as 10 years old, dan 1 Mama berusia nyaris 72 tahun.  (* kita menjalani 7 jam jalan darat karena kabut tebal dan hujan lebat, dan jalan kaki 4 jam karena jalan licin, hujan dan angin)

Tapi itinerary dr Teddy Aimbal bisa mengatasi ini dengan stay overnight di Denge sehingga kita akan berangkat fresh paginya dari Denge. Juga menginap semalam di Wae Rebo sebelum kembali berjalan kaki ke Denge.


Gue tau, ini rada-rada terdengar seperti mission impossible, tapi kita berpikir, kalau mau mengajak Mama, kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Jadilah kita sekarang menjalani Mission Impossible yang menjadi Possible.

Enaknya lagi, harga dari Teddy adalah paket satu trip dengan itinerary demikian untuk sekian orang, harga sekian. Semua harga sudah termasuk hotel (dan sarapan), mobil, guide, sopir, porter. Yang belum termasuk adalah makan selama di darat dan tiket pesawat. Tentunya diluar jajan dan oleh-oleh untuk keperluan pribadi. 

Untuk hotel dan makan, Teddy punya rekanan dia tiap lokasi yang kita hargai ini sebagai effort untuk menggerakkan perekonomian lokal, sehingga kita hanya play along di lokasi-lokasi yang diarahkan.

Jangan expect hotel atau resto mewah, karena kemewahan adalah langka di pulau Flores. So set your expectation and get ready for your adventure.




PS: Kita berterima kasih kepada Sumanto Njono yang sudah menginfokan program pemberian buku cerita kepada anak-anak di Wae Rebo, dan kepada Fransiska Layunwira / Husin Wijaya atas sumbangan buku cerita anak-anak yang kita bawa ke Wae Rebo ini. 

PSS: Buy local products if you want to help the ethnic people in  Desa Adat, if possible. 

PSSS: Di Kelimutu hotelnya sempat diganti ke penginapan yang sangat sederhana, tapi intinya enjoy and go with the flow. Kalau mau upgrade ke hotel yang lebih bagus, bisa minta Kelimutu Eco Lodge.

PSSSS: Mama end up demam dan masuk angin di Labuhan Bajo, dan suspect typhus begitu sampai di Jakarta. May be this trip is not suitable untuk senior citizen.  Mungkin bisa di skip Wae Rebo, atau diperpendek tripnya. 

PSSSSS: Terima kasih banyak untuk Pak Loys Datang yang sudah membuat Trip kita memorable dan memastikan Mama tiba di Wae Rebo dan kembali dengan selamat, Pak Ekky driver kita selama perjalanan, dan penyelamat bagasi ketika pintu belakang tau-tau ngejeplak membuka, Febri yang sudah menemani perjalanan dengan menjadi porter kita dan bersama kita pertama menjelajah Wae Rebo (yang katanya "cape banget"), dan Pius Neta yang menjadi penunjuk jalan ke Wae Rebo.... Tuhan memberkati....



Senin, 19 Desember 2016

Beautiful Indonesia

Kapan terakhir kalian ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII)? Wahana apa yang terakhir kalian kunjungi?

Setelah setahun lalu ke TMII hanya utk melihat Moscow Circus, kemarin gue kembali menjejakkan kaki di TMII. Selain mengunjungi Museum of Indonesia, naik Kereta Gantung, dan mengunjungi beberapa anjungan, menjelang pulang gue memutuskan untuk memasuki salah satu struktur terunik di TMII, yaitu Keong Emas.

Di dalam Keong Emas adalah Teater IMAX. Gue gak akan menceritakan apa itu IMAX. Tapi Keong Emas punya beberapa film yang menarik. Salah duanya adalah "Living Sea" dan "Forces of Nature".

Kemarin karena gue bertekad hanya menonton apa saja di jadwal main berikutnya, jadilah gue menonton "Indonesia Indah 3" atau "Beautiful Indonesia 3".

To my amazement, film ini dibuat tahun 1990 oleh Ibu Sudharmono, yang saat itu menjabat Ibu Wakil Presiden. Dan di credit title masih muncul nama Ibu Tien Suharto, yang saat itu masih hidup, sebagai penggagas dan penasehat pembuatan film.

Berarti film ini dibuat dalam era Orde Baru. Muncul pula nama-nama seperti Joop Ave, G. Dwipayana (hayooo nama ini ngetop di mana??).

Entah mengapa perasaan ini menjadi mengharu-biru tanpa tertahankan.

Kemudian ditunjukkan bahwa film ini adalah sequel ke 3 dari 3 film. Dan di film ini ditunjukkan budaya dari 10 propinsi. Dan propinsi terakhir adalah Timor Timur. Yang kini sudah merdeka menjadi negara Timor Leste, tempat Krisdayanti diboyong Raul Lemos.

Tari-tarian dan adat istiadat yang dipertontonkan dalam film ini disutradarai dengan ciamik. Pakaian yang berwarna-warni cerah dan mewah, ditambah penataan adegan tari secara kolosal, menambah megah film ini.

Teknik pembuatan foto yang menunjukkan sistem terasering, arung jeram, maupun lautan bertebing, sudah seperti cinematic shot dari drone. Sebelum akhirnya gue sadar tahun1990 belom ada drone. Yang berarti gambar diambil dengan helikopter yang terbang dengan (sesekali) terbang vertikal.

Frame demi frame membuat rasa bangga terhadap bangsa dan negara ini membuncah. Inilah Indonesia!!!, jerit hati gue... Indonesia yang gadis-gadisnya dengan kecantikan alami menggunakan pakaian daerah sleveless tanpa takut dihakimi tidak religius.

Kemudian ada adegan kunjungan Paus Yohanes Paulus II setahun sebelum film ini dibuat. Adegan Paus dan Kardinal diarak dalam mobil terbuka melambai tangan di Gelora yang sekarang disebut Gelora Bung Karno (GBK) diiringi seruan 120.000 umat yang menyanyikan "Kristus jaya, Kristus mulia, Kristus, Kristus, Tuhan kita!!!" Seperti perarakan Minggu Palma.

Mungkin bila Paus berkunjung hari ini di Indonesia, Ormas Islam siap membubarkan dengan alasan GBK adalah fasilitas umum.

Sungguh membuat merinding, saat itu Paus Yohanes Paulus II, yang kini sudah menjadi Beato, memuji Indonesia sebagai negara dengan toleransi beragama paling tinggi di dunia.  Merinding sekaligus sedih membandingkan dengan kondisi hari ini.

Melihat ke belakang, menenggelamkan diri selama 30 menit dalam Indonesia yang mempesona di tahun 1990, dimana optimisme melambung menuju masyarakat adil makmur, rukun, sejahtera.

Dan gue tidak tahu lagi apakah gue harus memuji Pak Harto karena sudah memberikan rasa utopis kemegahan peradaban walaupun hanya dapat disesap dalam waktu singkat.  Ataukah gue harus membenci Simbah karena sudah membuat gue (dan jutaan orang lain) hanya sekadar bisa bermimpi di tengah bangsa yang tercabik-cabik.

Kamis, 08 Desember 2016

Ujian Kaum Kristiani

Kaum Kristiani (bukan istri mantan Presiden) di Indonesia sedang dihadapkan dengan bertubi-tubinya peristiwa yang sedang terjadi. Mulai dari awalnya penolakan terhadap pemimpin Kristen. Kemudian tuduhan bahwa ada penistaan agama. Merembet ke demo 411 dan 212 yang mencekam IbuKota, pemboman Gereja Samarinda yang memakan korban anak-anak balita, dan terakhir Pembubaran KKR di Bandung.

Seakan-akan buat umat Kristiani, penggenapan dari beberapa ayat di Alkitab yang sudah dinubuatkan ribuan tahun lalu. Bahwa kita akan dimusuhin, dibenci, dan dibunuh karena mengikuti Dia. Seperti di Yohanes 16:1-3. Silakan cari sendiri kata-kata persisnya. Jangan jadi pembaca malas. 


Di antara gempuran berbagai peristiwa tadi, ada 1 hal yang juga menggugat nurani. Gempa Pidie di Serambi Mekkah, Aceh. Gempa berkekuatan 6SR ini meluluhlantakkan banyak bangunan, selain korban jiwa. Tapi mungkin karena jauh dari ibukota, jadi pemberitaan tidak seriuh-rendah peristiwa-peristiwa yang ada di Jakarta.


Secara manusiawi sebagai orang yang terpojok dan terluka, pasti ada yang berpikiran bahwa gempa Aceh ini adalah "balasan Tuhan" atas peristiwa yang menciderai hak asazi agama Kristen untuk beribadah, karena terjadinya persis setelah pembubaran KKR di Bandung. Atau "balasan Tuhan atas penolakan terhadap salah satu calon gubernur DKI,  atau atas demo besar 411 dan 212. 


Tetapi aku memilih untuk tidak melihat Allah sebagai sosok pendendam yang bengis dan penuh amarah. 


Gempa Aceh, BUKAN PEMBALASAN.

Karena Allahku adalah Allah yang baik hati. Dan sebagai mana doa Paus Fransiskus di Tahun Yubileum yang baru berlalu,

"Engkau telah mengajarkan kami bermurah hati seperti Bapa surgawi,dan telah mengatakan kepada kami bahwa barangsiapa melihat Engkau melihat-Nya."

"Engkau adalah wajah yang kelihatan dari Bapa yang tak kelihatan,wajah Allah yang mewujudkan kuasa-Nya terutama dengan pengampunan dan kerahiman :biarkan Gereja menjadi wajah-Mu yang kelihatan di dunia, wajah Tuhannya yang bangkit dan dimuliakan."


Kita harus ... terlebih pada saat ini... menunjukkan seperti apa Allah kita, seperti apa Bapa kita. Apakah yang bermurah hati? Apakah yang pemaaf dan pengampun?


Inilah saat ujian buat kaum Kristiani di Indonesia. Sanggupkah kita mengikuti Yesus dan memanggul salib kita? Sanggupkah kita memberikan pakaian kita saat jubah kita dirampas? Sanggupkah kita memberikan pipi kiri saat pipi kanan kita ditampar? Sanggupkah kita dianggap bodoh oleh manusia?

Secara manusiawi, mungkin kita tidak sanggup, maka berlututlah dan berdoalah, mintalah kekuatan pada Roh Kudus. . Justru pada titik saat kekuatan kita habis itulah, Allah akan menyatakan kekuasaanNya.

Tetaplah lembut hati, tetaplah bermurah hati. Bila ada sedikit saja hati kita tergerak untuk membantu korban gempa, korban bom Samarinda, lakukanlah. Mungkin Allah lah yang menggerakkan kita, melalui tulisan simpang siur di timeline dan di media.

Cibubur, 9 Desember 2016

Rabu, 07 Desember 2016

Islam di Persimpangan Jalan

Entah kenapa dikotomi Islam dan Non-Islam sekarang makin menjadi garis tegas dari sebelumnya garis putus-putus atau garis samar. Seakan di satu kubu adalah Islam. Di kubu lain berhadapan contender agama lain yang diakui di Negara Indonesia: Kristen (termasuk Kristen Protestan dan Kristen Katolik), Hindu, Buddha, Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan agama asli penduduk nusantara yang beragam (Kejawen, Sunda Wiwitan,  dll.)

Pembauran ideal itu seharusnya tidak ada garis antara Islam dan Non-Islam, walaupun kita tau hal tersebut belom pernah sungguh-sungguh terjadi di negara Indonesia ini. Hal ini terbukti dengan masih hebohnya kita bila ada artis (atau lebih lagi) saudara dan anggota keluarga yang menikah beda agama. Ada semacam tabu dan bisik-bisik tetangga di dalamnya.

Adapun yang makin mempertajam segregasi ini adalah Aksi 411 dan yang paling aktual, 212. Lepas dari claim masing-masing pihak antara siapa yang pengikut demonya lebih banyak, siapa membela agama lebih taat, dan siapa yang demonya paling damai; tetap saja yang namanya pengerahan massa dalam jumlah besar menciderai rasa keamanan dan ketenangan bangsa.

Bagi yang turun ke jalanan, mereka punya argumentasi sendiri. Juga bagi mereka yang memilih untuk tidak turun ke jalan, saya rasa juga pasti punya argumentasi yang tak kalah kuatnya. Dan terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam aksi-aksi sipil belakangan, lagi-lagi umat Islam seperti dihadapkan pada dua kubu. Kubu yang mendukung dan actually turun ke jalanan, dan kubu yang memilih jalan lain.

Lebih parahnya, orang yang memilih tidak turun ke jalan pun akhirnya dikecam dan dihakimi sebagai tidak membela agama Islam, tidak taat beragama, tidak sayang Quran, dll. Adapun yang memilih tidak turun juga menyindir bahwa Allah tidak perlu dibela, ada yg lebih sayang agama daripada Allah, dll.

Instead berusaha reaching out untuk memdengarkan kubu lain, masing-masing kubu saling ejek di jalur-jalur social media dan saling sindir.

Atas nama kebebasan berbicara, kita seakan lupa untuk mendengar orang yang berbeda pendapat.

Atas nama hak bersuara, kita lupa akan hak orang lain juga.

Atas nama hak untuk beribadah, kita lupa  kita menghalang-halangi orang lain untuk beribadah. Padahal yang mereka halang-halangi orang yang mencari Tuhan dalam damai pun. Lucunya mereka pun menuduh  "kafir" dari orang yang mencari Tuhan.

Sebagai kaum Non Muslim yang masabodoh terhadap politik, awalnya pasti ada rasa resah dan takut, khawatir bahwa suatu saat, akan ada orang-orang yang merasa terjustifikasi dan terbenarkan untuk membully orang monoritas sebagaimana gejala yang kita lihat di UK pasca Brexit, dan di Amerika pasca kemenangan Trump dalam pemilu president.

Namun makin dicermati, kita (notabene kaum Non-Islam) hanyalah pelanduk yang mati ditengah-tengah saat dua gajah berkelahi. Dan tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan selain mawas diri dan bersiap mental untuk hal-hal terburuk (yang sesungguhnya sudah kami lakukan seumur hidup, anyway).

Kami hanya bisa mengadu kepada Allah... Allah yang kita percaya Satu dan Esa. Allah yang sama yang dibela oleh kelompok sebelah. Allah yang kita percaya adalah Sang Maha.

Sesungguhnyalah perang melawan keangkaramurkaan tidak semudah menentukan hitam dan putih. Banyak diantaranya abu-abu. Dan hal ini akan menjadi perjuangan saudara-saudara kami kaum muslim untuk menemukan jati diri baru dari perbedaan pendapat bahkan pertentangan pendapat yang ada.

Atau mungkin sudah saatnya ada yang dikorbankan untuk menjadi martir keragaman, sebagaimana GusDur menyerahkan dirinya dicabik-cabik singa yang lapar kekuasaan, justru saat di puncak kekuasaannya.

Mungkin hal-hal ini yang menyebabkan beberapa orang yang saya kenal memilih untuk melepas agama dan hidup dalam ketulusan dan kebaikan terhadap sesama, daripada beragama dalam kemunafikan.

Ironis bukan?

Minggu, 20 November 2016

Elegi untuk Sahabat

Terus terang bulan ini adalah bulan yang melelahkan. Bulan yang meluluhlantakkan semangat dan optimisme. Diawali dengan hingar bingar politik berbungkus agama yang membuat aku gundah dan bungsuku ketakutan. Bisnis yang tersendat di seberang lautan dihantam barang impor gelap. Dan kemenangan manusia ganjil di balik bola dunia yang dirayakan dengan gegap gempita oleh bahkan beberapa kawan.

Yoga outdoor yang biasanya sangat menyenangkan pun menjadi seperti siksaan karena fokus pikiran berkelebat liar ke sana ke mari.  Merangkak mencari ketenangan bathin yang entah bagaimana mendapatkannya.

Dan gong terbesarnya, salah seorang sahabat berpulang ke dalam keabadian Sabtu pagi.
 

Padahal Jumat malam lalu, sahabat ini masih berkabar di group whatsapp SD bahwa  dia pulang ke Surabaya untuk tugas kerja, suatu hal yang rutin dia lakukan selama ini.

Kami adalah teman satu SD, satu SMP, dan satu SMA. Dan keakraban muncul di group whatsapp SD kami. Mungkin karena SD kami dahulu hanya 2 kelas dan kami kenal satu sama lain dari jaman ingus kami masih meleleh dengan hebohnya, yang berakhir di usapan lengan seragam.

Dan group whatsapp  SD ini jugalah yang pembicaraannya paling absurd mulai dari perjalanan hidup masing-masing teruntai, termasuk pekerjaan, keluarga, kekhawatiran, hingga joke konyol.

Memang terus terang beberapa minggu belakangan, aku mencoba menjauhkan diri dari keriuhan group whatsapp. Berusaha meredakan gemuruh di dada sendiri dengan tidak menambah runyam obrolan yang terkadang gak jelas.

Sabtu pagi ada pertanyaan di group SMP/SMA apakah betul sahabat kami ini meninggal dunia (karena melihat postingan saudaranya di FB dia), yang dengan refleks saya bantah "Jangan ngomong sembarangan, anaknya lagi tugas kerja di Surabaya", hingga kehebohan melacak dari 2 group untuk mencari tahu apa yang terjadi.

 
Ternyata benar, David Lianto sudah berpulang karena kecelakaan kerja.

Langsung di kepala ini berputar film riwayat hidup di kepalaku. Bagaimana dia duduk di depan bangkuku saat SD. Kemudian kegokilannya hafal semua alamat rumah cewe-cewe satu sekolah. Bagaimana kita sering bertukar info sekitar kemacetan menuju rumah, karena rumah sahabat ini berdekatan dengan rumahku.

Dan terakhir japri mengenai kekhawatirannya terhadap anak lelakinya yang beranjak dewasa yang sedang dalam kondisi penuh pemberontakan. Kekhawatiran tulus seorang Ayah yang mungkin dalam kesehariannya lebih banyak menghabiskan waktu menginstal mesin di pabrik orang daripada menghabiskan waktu dengan putranya.

Bagaimana dia sering berseloroh mengenai sarapan rokok dan kopi di pagi hari. Sampai bagaimana resiko bekerja dengan mesin-mesin raksasa. Juga tentang kisah cintanya yang akhirnya menemukan pelabuhannya di orang yang tak terduga.

Bagaimana di reuni terakhir di bulan Agustus 2016, dia ingin sekali hadir, namun tidak sempat karena dia baru jalan darat setengah jalan dari Jakarta ke Surabaya saat acara reuni berlangsung.

How fragile life is... dan kita di sini masih disibukkan dengan siapa yang menista siapa... Betapa ironis.

Selamat jalan sahabat, berjalanlah lurus menuju Sang Pencipta, dan doakanlah semua yang masih berziarah menuju hari kiamat pribadi kita. Serahkanlah kekhawatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kita. Ia juga yang memelihara anakmu, keluargamu yang engkau tinggalkan.

Requiescat in Pace... beristirahatlah dalam damai, sahabat.. Tuhan mencintaimu...

In memoriam Antonius David Lianto Tedjosaksono, 19 November 2016.

Kamis, 10 November 2016

Suppressed Desires

Ada fenomena unik yang aku cermati selama menjelang Pilpres, Pilkada, baik di Indonesia maupun yang terupdate Pemilihan Presiden di Amerika.

Kenapa keagresifan itu menarik pengikut? Kenapa Prabowo, Habib Rizieq, dan Donald Trump banyak yang memilih? Apa yang menyebabkan mereka mengikuti pemimpin-pemimpin yang cenderung arogan, fasis, diktator, full of hatred, kejam dan tegaan?

Teori gue, sering obrolkan dengan beberapa teman. Awalnya dengan Jenny Xue, teman twitter dan online publisher di US. Kemudian dengan Lyna Augustine sesaat setelah US Election ditutup dan Trump diumumkan sebagai Presiden Amerika yang baru.

Teori gue itu adalah tentang "Suppressed Desires". Alias keinginan-keinginan terpendam.

Jadi begini, saat pertama kali mendarat di Amerika utk bersekolah lebih dari 25 tahun yang lalu (iya.. iya.. gue tau gue tua..) , saya sempat dibrief oleh kakak kelas yang berkali-kali mengingatkan: "Hati-hati ya. Jangan sampai bilang orang hitam itu negro. Nanti mereka marah. Harus bilangnya African American"...

Ucapan itu sampai membekas.. dan dari sana kita tau yang namanya "political correctness". Bahwa kita gak boleh bilang Chinky for Chinese because it's politically incorrect. Kita harus bilang Asian American. Dan seterusnya.

Karena banyaknya aturan political correctness di Amerika, maka banyak orang yang menahan diri dari mengatakan apa yang sesungguhnya, karena ditutupi dengan ameliorasi-ameliorasi.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Orang Cina gak boleh disebut Cina, harus disebut Tionghoa. Menurut gue saat kita diharuskan untuk memperhalus ucapan, saat itulah kita sebenarnya dibedakan dan diposisikan 'liyan', sehingga orang harus berhati-hati menjaga perasaan kita.

Coba bandingkan dengan arek-arek Suroboyo yang dengan santai meneriakkan kata "janc*k!!* sebagai ungkapan keakraban tanpa batas antar dua sahabat.

Sama juga sih dengan majalah dewasa dan pelacuran yang dilarang oleh pemerintah/ormas, malahan membuat orang menyalurkan hasrat seksual dengan memperkosa, pelecehan seksual, pedofilia, atau poligami (maaf, ini disclaimer, kalau ada pembaca yang menganggap poligami ini sah secara agama, ya monggo silakan nulis artikel sendiri dan jangan nyampah di blog maupun wall saya).

Rasa tertekan dalam ketidakbolehan menyerang agama lain dalam bingkai toleransi juga membuat suppresed desires di antara bangsa kita.

Jadi begitu ada orang-orang seperti Trump yang dengan leluasa mencaci maki kaum minoritas yang selama ini terlindung dalam gelembung political correctness, maka pecahlah kepundan kebencian dan rasa tertekan yang selama ini menghimpit kemerdekaan bicara. Atas nama freedom of speech pula, orang jadi merasa berhak berkata kasar yang berpotensi menyakiti orang lain yang selama ini dijaga perasaannya.

Begitu juga dengan orang-orang yang kemarin demo tanggal 4 November 2016 di jalan2 di Jakarta. Mereka sebenarnya sudah memupuk api dalam sekam. Negara yang kelihatan damai tentram gemah ripah loh jinawi ini ternyata menyimpan ketertekanan. Suppressed desires untuk mengusir yang 'liyan'.

Dan yang jelas liyan adalah yang secara fisik tampak berbeda. Kenapa Cina? Karena kita yang paling penakut dan diiriin oleh kaum pribumi. Kenapa bukan bule? Karena deep down inside, sebagai kaum inlander, masih ada rasa minder dan tidak percaya diri. Juga masih percaya adanya supremasi bule.

Saat suppressed desires orang banyak ini bertemu dengan teriakan Habib R*z**q, jadilah yang namanya jihad jalanan yang menginginkan pengadilan jalanan untuk satu orang yang bernama Ahok, dengan menakut-nakuti cina-cina lain.

Sambil menyelam minum air. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Apalagi dengan adanya backing donasi material dari you know who. Pecah bisulnya.

Jadi bagaimana?

Ada bagusnya sih. Dengan pecahnya bisul, seharusnya sementara aman, dan tidak akan pecah kerusuhan yang jauh lebih besar seperti 1998. Itu teorinya. Kecuali... bahwa demo yang kita lihat kemarin hanyalah the tip of the bisul.

Lagipula, memang kerusuhan di Indonesia itu terjadi berulang kali, berkala, dengan korban yang kira-kira ya mereka-mereka (kita-kita) itu.

Nasib.

Sabtu, 05 November 2016

Airmata untuk AnakBangsa

Pasca demo 4 November dan ketegangan suasana politik sekitarnya, dan mudahnya akses terhadap berita membuat anak-anakku bertanya-tanya 'Apa yang sebenarnya terjadi?', yang tidak mudah dijelaskan karena banyak logical fallacy di dalamnya.

Ucapan Ahokkah biangnya? Pelintiran editan Sang Penghasut Buni Yani kah? Kebencian di alam bawah sadar kaum pribumi terhadap Cina kah? Politikkah? Atau memang agenda-agenda agama mayoritas untuk menjadi single supremacy dan mayoritas tunggal satu-satunya yang menguasai seantero negeri?

Lepas dari apa yang sesungguhnya terjadi, yang bahkan sampai saat ini saya yakin, yang kita lihat dari sisi elit politik maupun massa grassroot, hanyalah 'the tip of the iceberg'.

Pergolakan antar elit, dan kebencian lama di massa grassroot menurut gue ujung-ujungnya duit utk para sutradara di balik layar dan pentolan massa. Sisanya tinggal dibuat menari sesuai dengan gendang para pemain gelap ini.

Jo sempat bertanya "Apakah benar ada Ustad yang akan bayar 1M bila ada yang bisa bunuh Ahok?"

Pertanyaan berikutnya dari Adel tentang "sweeping terhadap Cina".

Terakhir kepolosan Greg yang bertanya "Kenapa orang-orang itu demo?" Yang gak bisa aku jawab karena sampai detik ini saya juga nggak ngerti tuntutannya apa.

Dan sehari setelah hajat keramaian yang katanya bernilai 100 Milyar proyek Sang Mantan tersebut, anak-anak gue hidup dengan realita baru di Indonesia. Bahwa sesama anakbangsa (yang mereka kira) baik, suatu hari akan berteriak kalap dan menyerang mereka, hanya karena mereka Cina.

Terlontar polos dari bibir mungil Greg "Oh man... aku nanti mau tinggal di Jerman aja", thinking bahwa yang akan dia hadapi nanti, adalah AnakBangsa yang tanpa alasan akan menyerang Cina.

Malam ini, airmata mengalir deras menangisi sekaratnya kepercayaan di hati anak-anakku bahwa semua AnakBangsa sama derajatnya di mata negara. Matinya optimisme kebangsaan yang berkebhinnekaan di dalam hati anak-anakku.

Bukankah anak-anakku juga layak disebut AnakBangsa walaupun kita Cina?

Cibubur, 5 November 2016.

Jumat, 30 September 2016

Diaspora Overseas Chinese - Renungan dari Penang

Keinginan untuk menjelajah di Museum Sun Yat Sen di Penang, Malaysia, sejak tahun 2008 saat pertama kali kita menginjakkan Pulau Pinang untuk health check up di Adventist Hospital. Delapan tahun lalu, kita sengaja meluangkan waktu untuk menjelajah Georgetown dengan segala keunikannya yang merupakan salah satu UNESCO World Heritage Site.

Namun baru minggu ini, kita sampai ke sana, menjejakkan kaki di jalan yang strangely familiar dengan bau dupa dan bunga dari pedagang pinggir jalannya. Benar-benar membangkitkan kenangan.

Sambil mereka-reka.. diantara sederet jalan yang sekarang sudah menjadi shophouses di lorong sempit yang hanya muat 1 mobil, manakah yang menjadi pintu gerbang ke masa lalu Nasionalisme Cina dan terpisahnya Taiwan (Republic of China) dengan Cina daratan (People Republic of China).

Setelah bertanya sambil menyisir sebelah kanan jalan, akhirnya kita menemukan juga pintu masuk ke Museum Sun Yat Sen.


Dengan membayar RM5 /orang untuk biaya perawatan Museum, kita bertemu dengan guide yang dengan semangat 45 menceritakan mengenai sejarah rumah ini dengan bahasa Inggris yang luar biasa bagus.

Karena bosan dengan penjelasannya yang sangat detail (gue susah menghafalkan detail), gue memutuskan untuk berjalan ke ruang depan dimana terpampang foto Sun Yat Sen yang gue yakin jaman mudanya ganteng banget, juga biografi singkatnya.

 


Sebenarnya rada perplex juga dengan kenyataan bahwa pelarian Sun Yat Sen, pahlawan Taiwan sekaligus penjahat perang Cina, bisa sampai ke Penang, sampai kita menemukan kekagetan berikutnya bahwa perjalanannya itu as far as US dan Hawaii... komo cuma Penang.. (kitu cenah).. lihat peta pelariannya di bawah ini.


Dan terbayang bahwa untuk keberhasilan propaganda 三民主義 (Sanmin Zhuyi)  yang diusung Sun Yat Sen... ada beberapa faktor lain penentu keberhasilannya:

1. Kemampuan orasi yang diatas rata-rata, mengingatkan kita pada Bung Karno, yang disebut pengikut Revolusi Modern setelah Sun Yat Sen, ada beberapa pemimpin dari beberapa negara yang disebutkan mengikuti Pan Asianism.

2. Kemampuan menuliskan pokok pemikiran dan membuatnya menjadi propaganda. Contohnya speechnya dibawah ini:


3. Kemampuan mengumpulkan Overseas Chinese yang rata-rata adalah pedagang atau pengusaha sukses untuk mendukung gerakannya dengan sumbangan moril dan materiil. Sumbangan materiilnya bahkan sampai seluruh dunia mencapai lebih dari US$186,000.00 (pada jaman itu tahun 1911), dengan Indonesia (namanya masih Hindia Belanda) menyumbang US$32,550.00 . Daftar donatur asli sempat hilang dibakar, nama-nama dibawah ini kemudian dituliskan lagi oleh salah satu pengusaha Penang.


4. Wanita-wanita di sekitarnya. Selalu ada romansa dalam revolusi. Sebagaimana Soekarno dengan wanita-wanitanya, Sun Yat Sen juga menikah 4 kali, adapun istri ke 2 yang sangat terkenal karena menjadi pendamping revolusi. Foto istri ke 2 nya ada di bookmark yang dijual di dalam museum.


Dari persinggahan ke Museum Sun Yat Sen, terpikir bahwa, kekuatan dari revolusi Modern Sun Yat Sen adalah fondasi kuat dari sisi financial yang didukung oleh Overseas Chinese di seluruh dunia. Sumbangan uang datang dari 华侨 (hoaqiao) seluruh dunia.

Sebagai seorang hoaqiao, gue jadi berpikir, tahun itu angkatan keberapa dari leluhur yang meninggalkan Cina pertama kali? Diaspora macam apa yang ada di seluruh dunia. Seperti ditekankan oleh tour guide, philantropis macam Liem Sioe Liong dari Indonesia pun menyumbangkan banyak uang untuk membantu desanya di China (yang kebetulan tetangga desa kakek gue dari sisi mama).

Pun seperti kakek gue, dia masih concern dengan pembangunan di kampungnya, membangun sekolah dan membiayainya, dari jaman Cina masih tertutup dan rakyatnya sengsara, hingga akhir hayatnya, yang entah masih diteruskan atau nggak oleh paman-paman saya,

Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih mempunyai keterikatan kuat dengan Cina sebagai tanah leluhur? Ataukah kita lebih mempunyai keterikatan dengan Indonesia sebagai tanah tumpah darah? Diaspora apa yang kita bawa bila kita ada di luar negeri? Diaspora Cina, ataukah Diaspora Indonesia? Akanlah angkatan kita masih memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan orang-orang di kampung halaman leluhur di Cina, ataukah lebih perduli dengan kesejahteraan orang di kampung halaman sendiri di Indonesia?

Akankah Sun Yat Sen bisa sesukses itu bila dia hidup di jaman sekarang yang keterikatan terhadap Cinanya sudah lebih loose daripada angkatan pertama dan kedua?  Apakah kita masih bisa disebut 华侨 (hoaqiao) bila berbicara bahasa Mandarin saja kita gagap?

Apakah kebijakan Soeharto untuk penghapusan pengajaran bahasa Cina dari 1965 - 1998 itu langkah brilliant yang membentuk persatuan seluruh suku dengan menggunakan bahasa Indonesia? Ataukah memang cultural genoside dan merupakan kutukan untuk keturunan Cina di Indonesia? Bahkan seorang teman mempunyai sahabat orang Malaysia yang iri dengan kondisi bangsa kita yang hampir homogen secara bahasa, hal yang tidak bisa ditemukan bahkan di Malaysia?

Berkecamuk berbagai pikiran di kepala ini...

Penang, 27 September 2016

Selasa, 06 September 2016

"Bahagia apabila" atau "Bahagia walaupun"

Di dunia ini kebahagiaan itu bagaikan mantera yang dicari banyak orang. Dan sebagian besar tidak bahagia dengan kondisi mereka saat ini. 

Mereka merasa mereka akan "berbahagia apabila"...... 
- lebih kaya
- lebih cantik / ganteng
- lebih kurus / bertubuh ideal
- lebih pandai 
- lebih dicintai pasangan
Daftarnya bisa panjang dan tidak pernah berakhir.

Tapi kita tahu bahwa banyak orang yang mempunyai hal-hal tersebut di atas, juga tidak bahagia. Berapa banyak orang cantik yang bunuh diri, terjerumus dalam pergaulan sesat, terjebak perselingkuhan, kawin cerai, dst.

Yang menarik adalah ada tawaran bahagia dengan cara yang berbeda. Tawaran ini awalnya datang dari Injil. 

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."  (Mat 5:3-12)


Perikop di atas paralel dengan bacaan liturgi hari ini, 7 September 2016, yaitu Luk 6:20-26.

Kebahagiaan yang ditawarkan oleh Yesus adalah "bahagia walaupun"...

"Berbahagia walaupun" miskin,
"Berbahagia walaupun" berdukacita,
"Berbahagia walaupun" lapar dan haus,
Demikian seterusnya sampai perikop habis.

Apabila kita melihat dari mata manusia yang keduniawian, "bahagia walaupun" ini adalah hal bodoh. Orang miskin mana bisa bahagia. Bahkan ada joke yang mengatakan "menangis sambil naik ferrari lebih membahagiakan daripada menangis sambil berjalan kaki".

Tetapi bila ada tawaran "kenapa pula harus menangis bila kita bisa tersenyum atau tertawa?"... well mungkin sebagian dari kita tetep memilih naik Ferrari sambil nangis sih.. namanya juga manusia makhluk materialistik.

"Seeking happiness in material things is a sure way to be unhappy" ~ Pope Francis

Jadi buat mereka yang merasa bahwa kebahagiaan itu mahal, mereka mencarinya di tempat yang salah.


Bonus quote dari Bunda Teresa:


Mari mencari dan memperjuangkan kebahagiaan kita, karena Allah ingin kita bahagia....

Cibubur, 7 September 2016

Rabu, 31 Agustus 2016

Tergoda

Bacaan Injil Senin 29 Agustus 2016 adalah cerita yang sangat populer. Saking populernya tidak kurang dari Oscar Wilde menulis play/pementasan dengan tokoh dan jalan cerita sama. 

Pun beberapa pelukis kenamaan juga melukis subyek dalam cerita biblikal ini, dengan sudut pandang berbeda. Carravagio, pelukis Italia yang memperkenalkan konsep chiaroscurro (gelap/terang) dalam lukisan tidak hanya mempunya 1 gambar tentang pemenggalan St Yohanes Pembaptis, melainkan beberapa, dengan kekhasan chiaroscurro nya yang membuat lukisannya terasa mencekam.


Beberapa pelukis melukiskan betapa meriahnya tarian Salome dalam pesta Herodes. Dengan kostum khas abad pelukis tersebut hidup, yang tentunya berbeda dengan kostum saat Salome dan Herodes hidup.


Jadi bertanya-tanya wanita macam apakah Herodias? Manusia kejam yang meminta kepala orang lain sebagai hadiah? Wanita yang tega meninggalkan suaminya demi saudara suaminya yang penguasa? Yang menyodorkan anak gadis menari untuk "menyenangkan hati suaminya"?

Orang seperti apakah Herodes? Gengsi seorang penguasa saat dihadapkan di tamu-tamunya disaat ditagih untuk memenuhi janji yang di sesumbarkan sesaat sebelumnya. Dan laki-laki yang tega merampas istri saudaranya dan dijadikan istri sendiri. (Rupanya jaman-jaman itu berebut istri itu sudah biasa, seperti juga kisah Daud dan Betsheba).

Sikap bathin bagaimanakah yang dialami seorang Salome, yang menari karena menuruti ibunya, kemudian meminta kepala sesorang karena menuruti permintaan ibunya. Adakah rasa penyesalan dan ngeri meliputi hatinya sesaat setelah kepala Yohanes Pembaptis dipersembahkan padanya di atas nampan? Beberapa lukisan menunjukkan wajah ngeri dan pucat yang berpaling dari pemandangan ngeri penggalan kepala yang dihidang di piring.


Tapi yang paling menarik adalah tarian macam apa yang sampai membuat seorang raja terpikat sedemikian rupa sehingga ia berani menjanjikan separuh Kerajaannya dan bahkan (akhirnya) kepala nabi tawanannya? Kesenangan hati seperti apa yang membuat orang lupa diri? Keindahan apa yang dimaksud? Apalagi dikatakan menari di depan tamu-tamu raja.



Mari merenung..

Kamis, 25 Agustus 2016

Begini Rasanya Ditinggal Anak




Sebenernya cerita ini adalah flashback dr perjalanan Adeline mengikuti summer camp di Norwegia tgl 30 Jun - 24 Jul 2016 lalu. Tetapi karena safety issue, semua social media posting is discouraged demi keamanan anak2 yang mengikuti summer camp. Jadi gue baru posting sekarang.

Kita semua yang pernah muda pasti tahu radanya ditinggal pacar dan kemudian harus LDR. #eaaa... gak enak kan? Ditinggal anak lebih gak enak lagi. Suwer!!.. Apalagi dalam program ini, program koordinator menganut "No news is good news". Terlebih lagi dengan no gadget policy dan no communication with home selama program.


Saat pesawat mulai take off, seperti orang gila gue following the plane path via FlightStats. Wondering how she is doing inside airplane. If she warm enough for the trip, etc. 


Malam itu, setelah keberangkatannya, gue (yang biasanya begitu diem dikit langsung pules) nyaris gak tidur semalaman, kebangun tiap jam dan ngecek dia di mana. Edan kan? Untungnya besoknya udah mulai bisa tidur. 

Satu-satunya kabar kita terima dari program coordinator. Foto mereka nunggu boarding di CGK, transit di KUL, transit di AMS. Setelah itu gak ada news.


Sebetulnya ada blog program. Dan gue seperti orang gila sehari beberapa kali membuka website yang gak tiap hari diupdate *cobalah ngana bayangkan!!*

Sekalinya kita pergi berlibur tanpa anak gadis, saat kita memperbolehkan anak2 lanang beli permen di C*nd*licious, gue juga beli satu kantong sampe bapaknya anak-anak kaget kok mamanya ngikut doyan. Dan aku bilang: "ini untuk anak gadis" yang setelah itu diketawain karena anak gadis mah entah kapan pulangnya, masih lama banget.

Belum lagi setiap beberapa hari sekali, masuk ke kamar anak gadis dengan perasaan nostalgic... melihat sekeliling dan memikirkan sedang apa dan di mana dirimu yang slalu kurindu.. *nyanyi seperti Sammy Simorangkir*... hahahha

Saat camp akan berakhir, yang terasa adalah mixed feeling antara dia yang mau pulang ke pelukan, dan dia yang akan bersedih meninggalkan teman-teman di camp. Trman-teman yang 3 minggu sebelumnya awkward dan malu-malu, dan harus berpisah di zenith keakraban mereka (sebelum banyak konflik muncul kalau diperpanjang sampai jangka waktu tidak tertentu).



Begitu Flightstats menunjukkan pesawat BGO-AMS sudah bergerak, serasa melonjak hati ini. Perasaan semakin berdebar saat pesawat bergerak sepanjang jalur AMS-KUL. Ngalah-ngalahin deg-degannya menunggu pacar jaman baheula. Sumpah.


Dan lebih uring-uringan lagi saat penjemputan yang nyaris terlambat dan salah terminal (kita epic fail)... tetapi semua terbalas dengan nguwel-nguwel kepala anak gadis yang udah gak mandi puluhan jam. 


Dan malam harinya, membaca komentar semua temannya di buku BrokenPlanet nya.. I know you're gonna be okay.. 



May be deep down inside ada hal-hal yang selalu dikhawatirkan seorang ibu, worry because the unknown future, fear karena gak bisa melindungi anak lagi. But sometimes, there are things that better left unanswered and best left to God's hand.

29 July 2016
Mellow Mama

Selasa, 02 Agustus 2016

MENGAPA KAMU SEORANG KATOLIK?

Sebenarnya gue pernah baca artikel ini, tapi lupa entah di mana. Nah kemarin sore, artikel ini dikirimkan oleh Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC, Uskup Agung Merauke. Jadi supaya gak lupa, gue repost di sini.

MENGAPA KAMU SEORANG KATOLIK?
oleh Pater William P. Saunders

Pertanyaan:

Terkadang saya bertemu dengan orang-orang yang mengatakan, "Oh, saya dulu seorang Katolik." Kemudian mereka bertanya, "Mengapakah kamu tetap tinggal dalam Gereja Katolik?" Mohon jawaban yang baik untuk menanggapi pertanyaan "Mengapa kamu seorang Katolik?"

Tanggapan:

Setiap orang Katolik sepatutnya dapat memberikan suatu jawaban yang mantap dan mendalam atas pertanyaan, "Mengapa kamu seorang Katolik?" Tentu saja, bagi tiap-tiap invidivu, jawabannya bersifat amat pribadi dan mungkin agak berbeda dari jawaban orang lain. Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah dewasa akan sekedar menjawab, "Yah, karena orang tua membaptisku Katolik" atau "Aku dibesarkan secara Katolik" atau "Keluargaku semuanya Katolik." Bukan. Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan. Saya akan memberikan jawaban saya atas pertanyaan ini.

Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya seorang Katolik karena inilah Gereja yang didirikan Yesus Kristus. "Sejarawan paling ahli sekali pun akan harus mengakui bahwa Gereja Kristen pertama yang ada sejak jaman Kristus adalah Gereja Katolik Roma."  "Perpecahan besar pertama dalam kekristenan baru muncul pada tahun 1054,"  ketika Patriark Konstantinopel berselisih dengan paus atas siapa yang lebih berwenang; sang Patriark mengekskomunikasi paus, yang ganti mengekskomunikasi Patriark, dan lahirlah Gereja-gereja "Orthodox".
Kemudian, pada tahun 1517, Martin Luther memicu gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin, Zwingli, dan Henry VIII. "Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya."

Namun demikian, "satu-satunya Gereja dan Gereja Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah Gereja Katolik." "Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lainnya."  "Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen lainnya tidak dapat masuk surga."  "Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai Gereja Katolik."  Konsili Vatican II dalam "Konstitusi Dogmatis tentang Gereja" memaklumkan bahwa KEPENUHAN dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus (No. 8).

Alasan kedua mengapa saya seorang Katolik ialah karena Suksesi Apostolik. Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada para rasul. Ia memberikan otoritas khusus kepada Petrus, yang disebut-Nya sebagai "batu karang" dan kepada siapa Ia mempercayakan kunci Kerajaan Allah. Sejak jaman para rasul, otoritas ini telah diwariskan melalui Sakramen Imamat dari uskup ke uskup, dan kemudian diperluas ke imam dan diakon. Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri kembali otoritasnya sebagai seorang uskup hingga ke jaman para rasul. Dalam tahbisan imamat yang suci, Bapa Uskup menumpangkan tangannya ke atas kepala calon imam yang akan ditahbiskan. Dalam saat khidmad itu, suksesi apostolik diwariskan. Dalam terang iman, orang dapat melihat bukan saja Bapa Uskup, melainkan St. Petrus dan St. Paulus, bahkan Yesus Sendiri, menyampaikan tahbisan suci. "Tidak ada uskup, imam ataupun diakon dalam Gereja kita yang menahbiskan dirinya sendiri atau memproklamirkan dirinya sendiri;"  tetapi otoritas itu berasal dari Yesus Sendiri dan dijaga oleh Gereja.

Alasan ketiga mengapa saya seorang Katolik adalah karena kita percaya akan kebenaran, yakni kebenaran mutlak yang diberikan oleh Tuhan Sendiri. Kristus menyebut Diri-Nya sebagai "jalan dan kebenaran dan hidup" (Yoh 14:6). Ia menganugerahkan kepada kita Roh Kudus, yang disebut-Nya Roh Kebenaran (Yoh 14:17), yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita dan yang akan mengingatkan kita akan semua yang telah Ia ajarkan (Yoh 14:26). Kebenaran Kristus telah dipelihara dalam Kitab Suci. Konsili Vatican II dalam "Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi" memaklumkan bahwa, "segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus,

maka harus diakui, bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita" (No. 11). Kebenaran ini terus dipelihara dan diterapkan pada suatu masa dan budaya tertentu oleh magisterium, yakni otoritas mengajar Gereja. Sementara kita menghadapi berbagai macam issue seperti bioetika atau euthanasia - masalah-masalah yang tak pernah dibicarakan secara spesifik dalam Kitab Suci - betapa beruntungnya kita mempunyai Gereja yang mengatakan "Cara hidup seperti ini adalah benar atau cara ini salah menurut kebenaran Kristus." Tak heran, Gereja Katolik menjadi berita utama di surat-surat kabar; kita adalah satu-satunya Gereja yang berpendirian tegas dan mengatakan, “Ajaran ini adalah benar selaras dengan pemikiran Kristus.”

Alasan lain mengapa saya seorang Katolik adalah karena sakramen-sakramen kita. Kita percaya akan ketujuh sakramen yang dianugerahkan Yesus kepada Gereja. Masing-masing sakramen menangkap suatu unsur penting dari kehidupan Kristus, dan melalui kuasa Roh Kudus mendatangkan bagi kita keikutsertaan dalam kehidupan ilahi Allah. Sebagai contoh, coba renungkan betapa anugerah mahaberharga kita boleh menyambut Ekaristi Kudus, Tubuh dan Darah Tuhan kita, atau menyadari bahwa dosa-dosa kita telah sungguh diampuni dan jiwa kita dipulihkan setiap kali kita menerima absolusi dalam Sakramen Tobat.

Dan yang terakhir, saya seorang Katolik karena orang-orang yang membentuk Gereja. Saya mengenangkan begitu banyak para kudus: St Petrus dan St Paulus yang memelihara agar Injil hidup pada masa-masa awali. Pada masa penganiayaan Romawi, para martir awal Gereja—seperti St. Anastasia, St . Lusia, St. Yustinus atau St. Ignatius dari Antiokhia, yang pada tahun 100 menyebut Gereja "Katolik"—membela iman dan menderita aniaya maut karenanya. "Pada Abad-abad Kegelapan, ketika banyak hal sungguh "gelap", memancarlah terang yang benderang dari St. Fransiskus, St. Dominikus dan St. Katarina dari Siena". Pada masa gerakan Protestan, ketika bidaah mengoyak Gereja, Gereja dibela oleh St. Robertus Bellarminus dan St. Ignatius Loyola, para reformator sejati. Saya berpikir mengenai para kudus yang hidup di jaman kita, seperti Moeder Teresa atau Paus Yohanes Paulus II, yang dari hari ke hari melakukan karya kudus Allah. Ada begitu banyak para kudus yang mengilhami masing-masing kita untuk menjadi warga Gereja yang baik.

Tetapi ada mereka-mereka yang lain juga. Pada waktu Misa, arahkanlah pandangan ke sekeliling gerejamu. "Lihatlah pasangan-pasangan suami isteri yang berjuang untuk mengamalkan Sakramen Perkawinan dalam abad yang memperturutkan hawa nafsu dan perselingkuhan". "Lihatlah orang-orangtua yang rindu mewariskan iman kepada anak-anak mereka." " Lihatlah kaum muda yang berjuang untuk mengamalkan iman kendati dunia yang penuh pencobaan." "Lihatlah kaum lanjut usia yang tetap setia kendati perubahan-perubahan dalam dunia dan Gereja". "Lihatlah para imam dan kaum religius yang membaktikan hidup mereka demi melayani Tuhan dan Gereja-Nya". Ada begitu banyak orang yang membentuk Gereja kita.

Ya, tak seorang pun sempurna. Kita berdosa. Itulah sebabnya mengapa salah satu doa terindah dalam Perayaan Misa dipanjatkan sebelum tanda damai; kita berdoa, "Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu." Ya, kendati segala kelemahan manusia, Gereja, sebagai lembaga yang didirikan oleh Kristus, terus melaksanakan misi-Nya di dunia ini.

Singkat kata, itulah alasan-alasan mengapa saya seorang Katolik dan seorang warga Gereja Katolik Roma. Alasan-alasan ini bukanlah asal. Melainkan, mencerminkan permenungan mendalam dan pergulatan, setelah dibaptis Katolik, setelah melewatkan masa pendidikan di sekolah St Bernadette, setelah lulus dari SMA West Springfield, dan setelah pergumulan sengit dengan iman sepanjang hari-hari perkuliahan di William and Mary dan kemudian di Seminari. Saya harap setiap orang Katolik dapat dengan bangga memberikan suatu jawaban yang jelas dan mendalam atas pertanyaan, "Mengapa kamu seorang Katolik?"

Fr. Saunders adh Dekan the Notre Dame Graduate School of Christendom

Senin, 18 Juli 2016

Hari Pertama Sekolah 2016/2017

Ada yang berbeda dengan hari pertama masuk sekolah 2016. Gong hari pertama masuk sekolah tahun ini diramaikan dengan himbauan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menghimbau orang tua untuk mengantar anak di hari pertama sekolah.

Himbauan yang buat orang tua seperti gue yang memang tiap pagi mengantar anak sekolah, baik ada himbauan maupun tidak. Mungkin juga klise untuk jutaan mama lain yang mengantar anak ke sekolah baik yang ibu rumah tangga maupun wanita karir. Mengantar ini dalam arti membawa dari rumah sampai gerbang sekolah dan membiarkan mereka masuk sendiri.

Tapi entah mengapa, banyak juga yang menanggapi ihwal pengantaran anak ini hingga Senin pagi di hari pertama masuk sekolah, arus kendaraan ke gerbang sekolah penuh sesak dan macet panjang.

Beberapa orang tua yang mungkin gak kebagian parkir, parkir di sekitar sekolah. Batas parkiran mobilnya sudah sama seperti parkir umat yang mau ke Gereja Natal dan Paskah. Luberrrrr....

Pun halaman sekolah yang tak seberapa itu, separuh badan sebelah kanan dipergunakan paksa untuk mama-mama yang mengantar anak ke Batita, PlayGroup, dan TK.

Mengantar anak pun yang biasanya 30 menit top, molor hingga nyaris dua kali lipat karena stuck di halaman sekolah saja hampir 20 menit.

Sorenya sepulang kerja, barulah anak bungsu bercerita bahwa orang tua diperbolehkan masuk ke kelas sekitar 20 menit dan banyak orang tua yang berkeliaran di dalam pagar sekolah. Padahal biasanya setelah gerbang, sekolah selalu steril dari orang tua kecuali ada keperluan dengan guru atau tata usaha (atau kantin). Wah.. pantes macet banget... dan pantas tol ke Jakarta masih sepi banget. Bahkan bisa tiba lebih cepat dari perkiraan Waze (biasanya +50-100% dari prediksi waktu tempuh).

It's amazing bahwa 1 edaran yang hanya didistribusikan getok tular dari WA ke WA dan via FB dan media sosial, bisa tercipta mejadi aksi yang setengah mengharukan, terutama untuk orang tua sibuk yang biasanya berangkat subuh untuk sampai lokasi kerja tepat waktu.

Betapa dalam hati setiap orang tua, apabila diberi waktu dan alasan yang cukup, dengan senang hati menjadi bagian dari gerakan mendukung anak untuk sekolah dengan hati riang gembira.

Mungkin yang perlu dijaga adalah ekspektasi anak yang bisa jadi merindukan hal ini bisa dilakukan setiap hari. Ah..

Anyway, bersyukur bahwa hari ini kemacetan di halaman sekolah mulai normal. Mungkin nanti urusan ke Jakarta sudah mulai macet...

Selamat memasuki tahun ajaran baru!!!!

Cibubur, 19 Juli 2016