Senin, 13 Februari 2017

Ramalan PilGub DKI 2017

Tahun 2017 jadi tahun menarik karena terjadi pemilihan kepala daerah serentak di 101 lokasi tanggal 15 Februari. 7 provinsi, 18 kota, 76 kabupaten. 

Sebenarnya sejak era otonomi daerah, pemilihan kepala daerah serentak ini sudah pernah terjadi tanggal 9 Desember 2015. Bahkan jumlah daerahnya ada 265 daerah, yakni 8 propinsi, 35 kota, 222 kabupaten. 

Walaupun jumlahnya lebih banyak, tapi di tahun 2015, gak ada kehebohan massif di media maupun sosial media. Gak ada isu yang mempengaruhi gerakan massa di level nasional. Wong namanya juga Pilkada. 

Berbeda halnya dengan tahun 2017. Dari 101 lokasi, yang diributkan dan disorot seluruh pihak hanya satu: Pemilihan Gubernur DKI.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta seperti matahari dalam konstelasi planet-planet partai politik. Jakarta adalah sumber terang dan kehangatan bagi laron-laron politisi yang ingin mengecap hangat sebelum moksa karena terlibas kasus korupsi.

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/25/20170331/mengapa.seluruh.bakal.calon.gubernur.dki.berasal.dari.non.partai.



Putaran uang yang 60+% berputar di Jakarta juga membuat Jakarta menjadi magnet kuat buat power seekers. Juga putaran uang yang dahsyat bagai beliung yang memporakporandakan pertemanan dan akal sehat.

Nah.. sekarang bagian ramal-meramal... sebetulnya ini bukan ramalan, tapi lebih ke analisa probabilitas. 

Berdasarkan survei terakhir sebelum minggu tenang :
Pasangan 1: 23%
Pasangan 2: 31%
Pasangan 3: 26%
Sisanya (undecided): 20%

Dengan undecided 20% dan selisih antar calon hanya 3-8%, mustahil pilgub DKI akan berlangsung 1 putaran. 

Berikutnya di putaran ke 2, asumsi saat Pasangan 2 dan Pasangan (antara 1 dan 3 >> perkiraan gue no. 3), diperkirakan ada penggabungan suara antara pendukung 1 dan 3 (karena berada di sisi yang sama dalam kubu Muslim vs. Kafir).

Banyak yang menolak dibilang bahwa pemilihan guberbur DKI adalah pertarungan Muslim vs. Kafir, walaupun isu yang berhembus selalu ke arah sana. Jadi silakan denial, tetapi itu yang disetting oleh tokoh-tokoh Muslim dan pimpinan agama Muslim.

Adapun logikanya, Muslim di Indonesia ini 90%. Jadi pasangan 2 dapat 31% itu aja udah tidak masuk akal apabila pemilihan ini murni muslim vs. kafir. Katakanlah seluruh kafir memilih Pasangan 2 (padahal kita tahu, macam Lius Sungkharisma, itu tidak mendukung Pasangan 2). 

Seandainya pun 10% itu didapat pasangan 2 dari non Muslim, ada 20% yang memilih bukan berdasarkan agama. Sebagai incumbent, Pasangan 2 diuntungkan dengan hasil kerja selama ini. Jadi ini bisa dipakai sebagai showcase keberhasilan kepemimpinan (lepas dari pro kontranya, termasuk dana dari mana, karena DPRD menyandera anggaran).

Ada lagi 20% yang undecided atau tidak mau menyatakan pilihannya saat ditanya, dan itu pun hak warga negara karena pemilihan apapun sifatnya langsung, umum, bebas, rahasia (LUBER). 

Jadi ada at least 40% diantara sekian juta penduduk DKI yang memilih berdasarkan berbagai sentimen (baik positif ataupun negatif), tetapi bukan berdasarkan agama dan etnis.

Di putaran kedua akan menjadi pertaruhan kualitas rakyat Jakarta. Karena gue percaya banget bahwa we will get the leader that we deserve. Pantaskah Jakarta mendapat pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan kota dan beban sebagai ibukota? Atau apakah Jakarta akan mengalami reverse development? Semua akan terjawab tanggal 15 Feb nanti.

Ada teman yang percaya bahwa masyarakat grassroot Jakarta sudah rasional dan sentimen agama hanya dimainkan di kalangan pemimpin agama dan mempengaruhi level atau kalangan tertentu. Dalam hal ini pemenangnya adalah Pasangan 2.

Atau kepercayaan gue bahwa masyarakat Jakarta bukanlah masyarakat rasional, dan sentimen agama berpengaruh luas terhadap hasil pemilihan nanti. Begitu juga kehebohan kelas menengah di social media ternyata hanya selapis tipis masyarakat umum, bahkan sebagian tidak mempunyai KTP DKI. Dalam hal ini pemenangnya adalah Pasangan 3.

Selanjutnya, kita lihat final resultnya. Karena gue juga pengen tahu, pola pikir seperti apa yang ada di masyarakat Jakarta yang notabene kota Metropolitan di satu sisi, tapi bagai kampung raksasa di sisi lain. 

Untuk masyarakat Jawa Timur, siap-siaplah Pasangan 1 akan mencalonkan diri untuk PilGub Jatim mendatang. 

Implikasi apa untuk kita bila skenario gue yang benar? Most likely not much buat kelas menengah seperti kita. Kita tetap bisa jalan-jalan dan tidur nyenyak. Yang lebih banyak merasakan impact dari kebijakan publik adalah masyarakat kelas bawah yang bergantung kehidupannya dari transportasi publik, kebijakan-kebijakan publik. 

Dan saat itu harus terjadi, sebagai umat Kristiani, berusahalah yang bisa diusahakan agar sebagian beban itu terangkat, entah bagaimana caranya. Bahkan jika pemimpin itu adalah jawaban dari permohonan mereka. 

NB: analisa utak atik gathuk dari seorang ibu rumah tangga yang sumpek dengan berita Pilkada
13 Februari 2017


Selasa, 07 Februari 2017

Kejamnya Social Judgment

Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri , demikian pepatah yang sering kita dengar sehari-hari saat orang mengeluh kerasnya hidup di Jakarta.

Sesungguhnya ada yang lebih kejam daripada ibukota, yaitu Social Judgment. Penghakiman sosial.

Kita bukan ngomong mengenai maling ayam yang digebugin walaupun sepintas itu juga termasuk social judgment alias penghakiman massal. Alias main hakim sendiri. Soalnya kalo main hakim rame-rame namanya Kidzania.

Salah satu penghakiman sosial yang paling hot sepanjang akhir tahun hingga awal tahun ini, yaitu yang dikompori oleh suasana Pilgub DKI.

Karena ada 1 oknum yaitu Buni Yani, yang mengedit ucapan petahana, sebut saja "Ahok" (bukan nama sebenarnya), dan editannya menjadi viral, maka ada social judgment bahwa si Ahok ini menista agama tertentu.

Lepas dari betul atau tidaknya judgment tersebut (yang seharusnya dibuktikan di pengadilan yang sayangnya tidak dibuka, sehingga lagi-lagi ucapan saat di pengadilan rawan diedit), umat agama tertentu tadi sudah menjatuhkan vonis bahwa Ahok bersalah.

Kemudian ada yang namanya Social Judgment turunan, yaitu orang lain yang tidak mempunyai kesalahan, tapi tetap dimusuhi juga hanya karena openly menyatakan dukungan terhadap orang yang dianggap bersalah, walaupun dukungannya tidak berkaitan dengan kasusnya.

Hal ini terjadi pada artis cantik kesayangan umat infotainment sebut saja "BunMai".

Hanya karena dia di salah satu social medianya menyatakan dukungan terhadap petahana yang dinilainya "bekerja dengan benar" dan berfoto bersama petahana tersebut, dimana petahana tersebut sudah dijatuhi vonis sosial, banyak followernya yang kontan marah, berhenti ngefans, dan unfollow.

Seakan-akan keberpihakan seseorang terhadap satu tokoh menjadi keberpihakan menyeluruh sebagai mana mereka membebek terhadap junjungannya para artis.

Mungkin karena memang begitulah kerangka berpikir di level mereka. Sampai salah satu komentar menyuruh sang artis mengikuti agama petahana.

Absurd? Iya.

Satu lagi yang lagi Hot beneran adalah F*rz* Hots. Karena screenshots sexting yang melibatkan seorang petinggi agama tertentu yang dalam perkataannya bak malaikat penjaga sorga, jadi hebohlah dunia pergosipan.

Yang lucu adalah walaupun sexting adalah ranah privat, kita happy banget dengan bocoran yang masih belom tahu apakah ini beneran atau nggak, siapa yang membocorkan, apa tujuannya; kita menggunakan moment dan weakness itu untuk imposing our social judgment towards those couple.

Dan... kita lebih banyak menjudge pihak perempuannya, karena yang kita bicarakan gak jauh dari sprei dan TV, juga symbol 😍 dan ❤.

Sama seperti jaman ada video 3gp dari seorang penyanyi berkharisma dengan beberapa artis cantik. Secara moral kita mengutuk mereka, pada saat yang bersamaan kita menikmati adegan percintaan itu. Mungkin untuk bahan coli.

Di satu sisi kita sadar bahwa social judgment itu kejam tapi di sisi lain, kita dengan bahagia turut menjadi salah satu pelaku.

Ironis? Iya. Absurd? Kita juga.