Rabu, 25 November 2015

Blaming the Victim: Sexual Harrasment

Masih banyak orang yang menyalahkan korban perkosaan dengan kata-kata: Salah sendiri tidak berhijab, berpakaian mengundang, pantas diperkosa, dll. Bahkan tanpa tau kisahnya.

Posting ini dari status Facebook gue yang menshare tulisan Arman Dhani yang lebih komprehensive, dan juga menyambung artikel di Facebook BBC Indonesia tebtang seorang survivor kekerasan seksual yang justru dihujat orang.

Marilah berbagi kisah...

Gue ketika itu kelas 6 SD dan sedang main di game arcade dengan Lyna Agustine dan cousinnya, sambil menunggu mama Lyna menjaga butik di gedung yang sama.

Saat seru melihat ke layar game, gue merasa ada seorang yang memperhatikan. Otomatis ekor mata gue mengikuti feeling gue, mencari wajah yang memperhatikan.

Dan berdiri tidak sampai 30cm dari tempat gue berdiri, di tengah kerumunan orang banyak, gue melihat wajah laki-laki itu. Usia awal 20an. Kemudian pandangannya jatuh ke bawah. Otomatis gue mengikuti arah pandangannya.

Disanalah gue tersadar, pria tersebut sudah mengeluarkan alat kelaminnya, dan "memamerkan"nya.

Iya. Aku yg masih kelas 6SD, dengan pakaian celana panjang baggy. Kebetulan saja gue bongsor. Tapi jauh dari kata-kata sexy. Kasarnya tete aja baru numbuh.

Hati berdebar kencang, antara malu, marah, dan takut. Tapi dengan ketenangan level dewa yang entah gue dapatkan dari mana, gue memalingkan wajah kembali ke layar game, sambil tetap bertahan untuk tidak bergeming dari tempat aku menginjak lantai.

Dan entah berapa menit yang terasa seperti selamanya, kita berdua bertahan berdiri di situ. Sampai melalui ekor mata, aku lihat, bayangan tubuhnya menghilang dari kerumunan manusia.

Belakangan baru tahu tentang kelainan sex yang namanya voyeurisme, bahwa aku baru mengalami pelecehan seksual.

Dan aku gak pernah cerita sama siapa-siapa, kecuali kepada sahabat pria, sekitar setahun setelah kejadian yang membuat trauma itu. Aku tidak pernah menginjakkan kaki lagi ke bangunan tersebut. Tidak pula saat semua teman heboh bermain roller blade di gedung ini. Hingga detik ini. (Bangunan ini sudah desserted sekarang)

Saat hal ini terjadi, menangis pun aku gak sanggup. Bersyukur sahabat saya mendukung saya, dan berkata: "Seharusnya bukan kamu yg malu. Kan kamu gak menunjukkan kemaluan elu. Harusnya dia yg malu karena menunjukkan kemaluannya." ...and after that, I feel much better.

Gue gak kebayang kalo gue ketemu sama sahabat abal-abal yang menyalahkan kenapa saya ada di sana, berpakaian seksi, dan berbadan bongsor, mungkin gue menjadi pribadi yang bertolak belakang dan penuh kepahitan.

If you don't know their story, don't judge!

Senin, 23 November 2015

Filosofi Kopi: Keajaiban di Banceuy

Namanya Pak Widya. Perawakannya kurus, dengan wajah bersinar dan mata sayu. Tangannya menghitam antara jelaga dan bubuk kopi. Kemeja putihnya terlihat menipis dan keabuan, walau rapi. Bicaranya lembut menenangkan, dengan antusiasme yang menyihir.

Pertama kali berjumpa dengan beliau, sosoknya menangkap mata saya dari belakang counter penjualan yang sibuk. Beberapa menit sebelumnya, aku melongokkan kepala ke jendela samping yang gelap dengan kaca film, sebelum akhirnya menanyakan kepada bapak pedagang kaki lima yang berjualan di depan tokonya, mengharap limpahan rejeki.

"Kopi ada 2 macam", demikian ia memulai kisahnya, bak romansa. "Robusta dan Arabika".  Kemudian dia menjelaskan keunggulan Arabika untuk wanita, melangsingkan, tidak asam di lambung. Disusul keunggulan Robusta untuk kejantanan pria.

Beliau melambaikan tangan mengajak kita  ke bagian dalam toko/ pabrik/ rumah beliau. Sampai pada halaman dimana biji kopi yang berwarna hijau dijemur.

"Kopi dijemur di kebun selama 2 minggu, dijemur 7 jam di sini. Setelah itu disimpan di dalam karung. Untuk Robusta, kita simpan selama 5 tahun. Untuk Arabica, kita simpan selama 8 tahun. Gudang kopi pun pake system First In First Out. Setelah disimpan, kadar asam menurun sehingga aman untuk lambung, dan biji kopi berubah menjadi kekuningan." Ujarnya melanjutkan kisahnya.





"Setelah itu baru kopi di roast selama 2 jam di suhu 125°C. Kopi menjadi kecoklatan"



Lalu beliau menceritakan sepintas lalu mengenai bisnis kopi modern yang memotong kompas fase penyimpanan yang makan waktu (dan menyusutkan kadar air dari biji kopi), sehingga biji kopi yang masih hijau diroasting selama 15 menit dalam suhu tinggi".

Beliau berkata dengan tenang dan perlahan: "Berbisnis harus jujur, Dik. Rejeki sudah diatur Yang Di Atas."

"Pabrik ini mulai 1930, saya anak tunggal, mau gak mau, saya meneruskan bisnis ayah saya. Sekarang anak-anak saya yang meneruskan bisnis saya. Anak pertama dan ketiga yang sekarang di toko. Anak kedua gak mau nerusin, karena keenakan jadi dosen. Gak bisa dipaksakan juga, anak-anak minatnya akan muncul sendiri."

Beliau menyambung: "Saya jual kopi gak mahal, karena kopi saya beli dari petani langsung, gak pake middle man, jadi harga juga murah.  Rumah saya di belakang toko, gak pake transport, gak kena macet.  Gak pakai banyak pegawai, semua kami kerjakan sendiri. Istri saya juga cuma satu." Selorohnya sambil tersenyum simpul.

"Saya siang bekerja di pabrik, sore ngajar, jadi dosen di Unpad jurusan Entrepreneurship. Tanya aja Pak Widya, pada kenal kok. Gaji jadi dosen lumayan, tapi saya pulang gak bawa uang.  Hasil mengajar saya pakai untuk membuat Panti Sosial dekat Sukamiskin untuk penyandang cacat ganda. Ada 80 orang di panti saya."

Beliau pun semangat membukakan tungku untuk memasak biji kopi agar kita bisa berfoto, juga nenunjukkan cara melihat hasil roasting. Di antara 2 mesin roasting panas yang masing-masing berkapasitas 100 dan 70kg (biasa hanya diisi 80% kapasitas untuk hasil terbaik), ditengah kepulan debu sisa pembakaran kayu karet, dan panas hawa tungku, kami takzim mendengarkan kisah beliau. 



Kisah hidup yang bukan hanya sekadar untuk diri sendiri, tetapi menjaga integritas sambil bermanfaat bagi orang lain. Kisah hidup luar biasa dari orang-orang biasa. 

Bahwa kopi bagi mereka lebih dari sekedar mata pencaharian maupun gaya hidup, tetapi laku jiwa untuk bersyukur pada 'sangkan paraning dumadi'




Kunjungan ke Paberik Kofie Aroma, Bandung 
18 November 2015