Selasa, 21 Juni 2016

Deus Caritas Est

Allah adalah kasih...

33 tahun yang lalu, saat aku berusia 10 tahun, aku ingat ada satu siang aku duduk berdua dengan papa di bangku panjang di teras kebun Rumah Sakit RKZ, menunggu Mama melahirkan adik bayi...

Persalinan itu adalah persalinan sulit. Aku ingat cerita Mama, bahwa bayi tersebut lahir dalam kondisi tidak menangis. Entah berapa nilai APGARnya. Sampai dokter mengusahakan bayi menangis dengan menepuk-nepuk bayi tersebut....

Mama hanya bisa menunggu tak berdaya dari tempat tidur bersalin, sambil menekan perutnya untuk mencegah plasenta masuk kembali (kepercayaan orang dulu kayaknya)...

15 menit kemudian (menurut hitungan Mama yang aku yakin berasa seperti eternity), bayi sudah mulai membiru. Entah karena tidak menangis, atau efek ditepuk-tepuk sampai lama... Akhirnya dokter memberi oksigen (yang mungkin sedang dipersiapkan selama masa menunggu dan menepuk-nepuk tadi)... dan mulailah adik bayi itu menangis... diiringi kelegaan luar biasa dari Mama.

Bayi tersebut dibawa pulang, dan dirawat seperti biasa. Tidur sekamar dengan aku. Senangnya punya adik cewe. Now I can relate to Adeline Mulia's request of baby sister...

Hanya saja, adik bayiku, perkembangannya terlambat. Saat bayi seumur sudah bisa tengkurap, adik bayiku baru bisa telentang, saat bayi lain sudah duduk, adik bayiku baru bisa tengkurap, itupun gak bisa angkat kepala. Saat bayi lain sudah berdiri, adik bayiku baru bisa duduk berjagang tangan di depan, itupun gak lama kemudian ngguling ke samping...

Mulailah long saga untuk mencari tahu dan mencari kesembuhan. Mulai dari dokter Satyanegara yang waktu itu adalah dokter kepresidenan di Jakarta, hingga ke negeri China. Mulai dari penyembuhan fisik sampai ke spiritual dengan Sai Baba di India. Mama seperti orang kalap yang pontang-panting mengobati adik bayi sampai pernah meninggalkan kita 3 bulan untuk berobat dengan adik bayi.

Akhirnya Mama settle dengan kondisi adik bayi bahwa adik bayi mengalami Cerebral Palsy (CP) akibat kekurangan oksigen sesaat  setelah lahir. Dan mulailah fisioterapi untuk adik bayi.

Perjuangan berikutnya adalah memasukkan adik ke sekolah. Satu2nya sekolah yg menerima adalah SLB. Jadilah adik bersekolah bersama anak difabel lainnya. Tetapi prestasinya lumayan membanggakan. Disamping hasil tes IQ menunjukkan kecerdasan adik itu normal, dia juga berpartisipasi dalam drama Natal di SLB. Walaupun hanya sebagai domba (karena gak bisa berdiri sendiri, hanya bisa ngesot). Juga pernah juara merangkak se SLB, keluatan yang didapat dari dengkul yang kapalan bergesekan dengan lantai setiap hari.

Saat dia ulang tahun ke 10 (atau 11) kalo gak salah, bertepatan setelah terjadinya tsunami di Banyuwangi. Saat Mama nanya, mau dirayain nggak, adik dengan santai bilang "Boleh nggak uangnya buat nyumbang korban tsunami saja". Aku yang sedang kuliah jauh dari rumah dan hanya mendengar cerita-cerita Mama, sempat tercekat dan tercenung. Kadang-kadang kita yang kelihatannya normal ini kalah normal dibanding orang yang dicap tidak normal. Karena aku aja gak pernah kepikiran seperti itu.

Saat SMP, Mama mencarikan sekolah normal untuk adik. Dan kali ini dia berhadapan dengan Suster dari sekolah Katolik yang hanya mengatakan "tidak ada pengecualian" saat Mama nanya apakah adik bisa dibebaskan dari kewajiban untuk upacara, olahraga dan kegiatan fisik lainnnya.  Aku ingat saat aku kuliah, suatu hari Mama cerita sambil menangis, bahwa dia bisa mencari uang banyak, bahkan setelah Papa meninggal, tetapi dia gagal memasukkan adik saya ke sekolah normal. 

Akhirnya adik berhasil mendapatkan sekolah yang mau menerimanya, dan dia bersekolah di SMP kemudian SMA normal, mengalami masa SMA dengan teman2 edannya seperti Yenni Triany Dewi, Winni Yanti, dan beberapa teman lain.

Saat mencari tempat kuliah, tak lepas dari bantuan Hartono Hokkie Pranjoto yang menjadi dosen di Universitas Widya Mandala  Surabaya,  sehingga adik bisa mengambil ujian masuk di ruangan khusus dengan pendamping.

Kebayang kan bangganya Mama saat adik diwisuda. Aku sendiri gak inget kenapa kok aku gak datang saat dia wisuda, mungkin karena saat itu aku lagi sibuk beranak.

Sampai sekarang, adik sudah bekerja di toko Mama, dan update dengan semua gadget dan kemajuan jaman, juga sudah menginjakkan kaki ke 4 benua (tinggal Afrika yang belum).

Karena Allah adalah Kasih... kehadiran Shanty Sentosa di keluarga kami 33 tahun yang lalu, bukanlah menjadi beban bagi keluarga kami, tetapi justru memperkaya kami semua.

Karena Allah adalah Kasih, hingga hari ini San-san bisa lives life to the fullest.

You still have a whole life ahead of you, dear Sister. Keep being kind, keep being happy, keep being who you are..

See you soon in less than 2 weeks... 😍😍😘😘❤❤