Sabtu, 30 Agustus 2014

Sukses yang Personal

Selama hidup kita, kita berjuang supaya sukses. Sukses artinya punya pencapaian yang bisa dibanggakan. Dan batasan sukses ini berbeda-beda setiap orang.

Mungkin jaman kita sekolah dulu, sukses adalah nilai ulangan dapat 100. Kemudian beralih menjadi memperoleh pacar saat SMA. Kemudian menjadi nikah di usia tertentu yang dijadikan target. Dan bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji 8 digit rupiah. 

Semakin kita dewasa, kita melihat, ukuran sukses yang tadinya kita pikir akan membahagiakan kita, tidak lagi bisa membahagiakan kita. Untuk itu orang mulai memulai dengan sukses adalah bisa beristri lebih dari 1 (kemudian timbullah Poligami Award yang alhamdulillah sudah gak ada lagi, karena perusahaan milik penggagas Poligami Award ini gak laku sebagai resto keluarga). Juga orang merasa sukses bisa memiliki puluhan mobil seperti Bupati L*bak, walaupun beberapa mobil mewahnya itu bukan dia sendiri yang mempergunakan melainkan dipergunakan oleh wanita-wanita cantik yang dia pergunakan. #halah

Atau ada orang yang baru merasa sukses apabila bisa jadi Presiden #rauwis-uwis.

Anyway... saking bervariasinya ukuran sukses ini, maka ukuran sukses ini semata-mata bersifat personal, intim, hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan.

Jadi normal, apabila ada teman yang merasa bisa mencapai finish dalam lomba lari sekian kilometer dalam waktu sekian menit adalah sukses. Sementara pada waktu yang bersamaan, buat gue, 1 puteran keliling taman yang sekitar 500 mtr, adalah sudah merupakan suatu kesuksesan.


Normal pula, bila ada yang menghitung penaklukan terhadap lawan jenis sebagai prestasi pribadi, sedangkan untuk orang lain, mati-matian menghindar dari perhatian lawan jenis yang tidak sepantasnya kita terima.

penghujung Agustus 2014

Jumat, 29 Agustus 2014

To (have) Pet or Not to (have) Pet?

I think every dog owner agree that dog is a man best friend.  Or cat if that is your pet.

When we were young,  our house is full of pets that my dad used to keep.  Dogs,  birds,  turtles.  We grew up with Ello the dog that has been in our house since I have ever known.  He died of old age.

Then we have Hittle,  Ello successor. Then Nancy,  given by my English teacher.  And they all go away. Hittle died of old age.  Nancy died when we went for vacation.  Rumours has it that she died because one neighbor put her in a gutter where she can't escape. She has been buried when we return from holiday.

I was the one who's very devastated when Nancy died.  May be because she's the one who always chew my shoes.  (Actually I still want to use those shoes,  but my mom throw my shoes away with the speed of light).  May be because Nancy is a present for me from my English teacher.

Long before that,  my elder brother have small chicken,  but they all die too,  and my brother cry all the way.  He even insist on a funeral for his chicken.

After my dad passed away,  we never have pets anymore.  My mom resorts her hobby to grew orchids.

Somehow,  I identify pets with the sadness of separation.  May be that's the reason why I never want any pet anymore.

Few years back,  we have a stray cat that stayed in our front porch, and the kids insist on keeping her as a pet.  We called it Pus,  short of Puskesmas.  One day after knowingly mating season,  we found her dead under the tree,  and those feeling of loss,  once more.

I also identify the same sadness when a friend left.  During our primary,  secondary,  and high school,  most of us stay together for a long time.

However,  in university,  we are close to students from more senior years.  Thus everytime someone graduate,  I feel a pang of loss that I can't explain.

May be that's also why I never have a really really close friend.  I have plenty of friends,  but I am ready to lose each one.  May be they became close to other people,  or left to other companies or countries.  I keep them at arm length.

May be it's true that the most cheerful people,  are in fact hiding the most turmoil in his/her heart.

May be...

PS: Currently we have 2 hamster, Jonathan' pets.

Kamis, 28 Agustus 2014

Thank You, Moms

Tulisan ini di dedikasi kan kepada semua orang dengan naluri keibuan,  kalian lah ibu-ibu kehidupan yang menyebarkan denyut kasih sayang.

Bukan,  aku bukannya punya lebih dari 1 mama.  Juga tidak,  aku tidak punya mama tiri.

Tetapi dalam kehidupanku,  aku bersentuhan dengan orang-orang dengan kualitas sebagai ibu.  Mereka mungkin nenek,  mertua,  adik,  bahkan kawan.

Beberapa di antara mereka benar-benar mempunyai anak, suka masak, dan segala tipikal keibuan seorang ibu.

Beberapa yang lain,  karena pilihan atau belum beruntung untuk menjadi ibu biologis.

Yang aku ingin hormati adalah semua perempuan yang mempunyai sifat nurturing,  comforting,  protecting,  terlepas dari kemampuan biologis mereka untuk mempunyai anak.

Betapa menyedihkannya apabila nilai keibuan ini hanya dianggap penting,  bila perempuan bisa ber-reproduksi.  Seakan tubuh hanya dinilai sebagai mesin untuk menghasilkan keturunan. Banyak perempuan yang kemudian disebutkan masyarakat dan keluarganya hanya karena dianggap 'gagal' memberikan anak.

Di sisi lain,  banyak perempuan yang sukses, mengandung/ melahirkan anak,  tetapi memilih aborsi/ membunuh/ menelantarkan bayinya.  Apa itu yang kita lebih banggakan?

Terima kasih kepada para ibu di dunia ini yang pernah memberikan ku hidup,  kenyamanan,  keamanan,  nurturing,  caring,  comforting,  menginspirasi,  dan menerima kita apa adanya, terutama di saat-saat yang terburuk sekali pun.

And yes,  that's you,  too,  my dear friends.

Senin, 25 Agustus 2014

PKI ~ Pelayanan Kesehatan Ideal

Well,  biarpun judulnya adalah PKI,  tp tulisan ini gak berkonotasi politik sedikitpun.  Ah ya,  mungkin ada,  tapi gue lebih suka menyoroti dari sisi kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga.


1. Jam kerja

Jam kerja dokter di Indonesia dari pagi sampai subuh.  Terutama dokter-dokter laris.  Lihat saja rumah sakit M di tepi pintu masuk tol K,  misalnya,  ada dokter cardiologist terkenal yang pasiennya menunggu sampai tengah malam,  bahkan lewat tengah malam.  Hal ini selain mengganggu kesehatan dokter,  juga membahayakan kesehatan pasien.  Orang jantung kok disuruh begadang. Apa kaga percaya ama kata Bang Haji?

Di Singapura,  negara kecamatan tetangga kita,  Dokter praktek dari 09.00-17.00. Jadi kesehatan dokter terjamin,  dan pasien di jadwal rapi dalam slot-slot waktu tiap harinya. Walhasil Dokter pun bisa hidup normal dan punya kehidupan lain di luar profesi dokternya. Hal ini menjadikan dokter lebih punya sentuhan manusiawi.


2. Lokasi praktek

Di  Indonesia,  Dokter praktek di beberapa lokasi.  Ijin praktek bisa sampai 3 lokasi,  belum praktek-praktek terselubung..  ((TERSELUBUNG))!!...  Mungkin  kalau sinetron,  prakteknya masuk kategori kejar tayang. Walhasil, pasien seakan-akan terbatas waktu konsultasinya,  dan sering kena skak dengan ucapan: dijelaskan juga gak akan ngerti kok.  Which is merendahkan nalar pasien dan keluarganya. Padahal kalo dokter gagal menerangkan penyakit pasien dengan bahasa yang mudah,  berarti dokter tersebut gak pintar-pintar amat.

Di Singapura dan Malaysia, Dokter hanya berpraktek di 1 rumah sakit,  bbrp dokter di RS pemerintah,  setelah pensiun,  punya klinik di RS Swasta.  Kaga ada Tumpang tindih praktek.  Kaga ada dokter kejebak macet.  Kaga ada pasien ngantri nunggu dokter masih di jalan,  atau pasien lari-lari mengejar dokter yang praktek di berbagai lokasi.


3. Lokasi parkir mobil Dokter

Okay.  Mungkin ada orang yang merasa ini gak relevan.  Tapi ada temen yg menganut paham ini.  Berkaitan dengan point No. 2, apabila dokter hanya praktek di 1 RS,  maka mobilnya akan di parkir di paling belakang.  Maka mobil pasien menempati lokasi depan untuk memudahkan mobilitas para pasien.

Kebalikannya,  di negara yg dokternya praktek di beberapa tempat,  parkir pasien di belakang,  dan parkir dokter di depan,  untuk memudahkan mobilitas dokter berpindah RS.  See.


4. Lama rawat inap

Di Indonesia ada paradox dalam penanganan pasien rawat inap.  Di sisi lain,  pasien di RS swasta seringkali ditahan utk tinggal di RS lebih lama dg alasan supaya pulih dengan berbagai tes laboratorium dilakukan.

Di sisi lain,  untuk pasien kelas bawah,  banyak cerita bahwa pasien ditolak karena tidak ada kamar.

Di Singapore,  RS adalah tempat merawat org yg gak bisa merawat diri sendiri.  Misalnya post-surgery,  setelah melahirkan,  etc.  Nginapnya berapa lama?  Semalam.  Maksimum dua malam.  Itu rata di semua kelas.  Setelah bisa berdiri,  pasien disuruh pulang.

Prinsipnya adalah apabila di awal pemulihan ada progress,  pemulihan boleh dilakukan di rumah.  Kita cuma sakit.  Bukan cacat permanen. Plis,  deh!!

Di Jerman,  bahkan wanita hamil,  datang mengendarai mobil dg car seat ke RS,  melahirkan,  dan pulang kembali mengendarai mobil dengan bayi di car seat.  Selang 2 hari.


5. Penanganan pra-operasi 

Di Indonesia,  pasien masuk RS sehari sebelum operasi.  Puasa diawasi.  Kuras perut diawasi.  Obat-obatan diawasi.  Kita gak dipercaya utk melakukan persiapan sendiri.  Dan kita merasa itu normal.

Di Singapura,  kita datang sehari sebelumnya untuk diambil darah,  ECG, tapi gak perlu rawat inap.  Justru yang membuat kita kaget, kita diberi obat yang harus diminum utk persiapan operasi,  termasuk untuk kuras perut.  Dan harus dilakukan di rumah.  Very good philosophy...  That everybody has to take care of their own shit.  Literally.


6. Kondisi kamar

Di Indonesia,  kondisi kamar bisa berbeda jauh antara RS Swasta di kelas VIP yang fasilitasnya melebihi hotel,  dengan RS Umum kelas bawah yang (menurut sepupu gue yang dokter di Singapura tetapi pernah magang di RS Umum di kota terbesar kedua di Indonesia)  pasiennya dijajarkan bagai ikan pindang,  dan gantungan infus sederet mirip jemuran.

Di negara maju,  kondisi kamar gak seperti hotel,  yang jelas menjamin kebersihan (bahan-bahan mudah dicuci/disteril),  dan keamanan (shower mat,  handle dan bangku untuk pasien di kamar mandi).


7. Biaya 

Walau biaya pelayanan kesehatan di negara maju relatif lebih mahal daripada di Indonesia,  tetapi untuk kelas kamar yang berbeda,  selisih nya hanya di harga kamar. Di Indonesia,  jasa dokter pun bisa ikut tarif VIP utk pasien di kamar VIP.

Di Malaysia, biaya pelayanan kesehatan di beberapa RS justru lebih rendah dari di Indonesia.

Mungkin salah satu jalan keluarnya adalah asuransi kesehatan seperti yang dirintis Pakdhe Jokowi.


Yuk ah,  kita ubah paradigma pelayanan kesehatan dari mencari keuntungan menjadi sungguh-sungguh fungsi pelayanan.

Jumat, 22 Agustus 2014

Endless Corridors

Hari ini hidup berawal dan berakhir dari koridor-koridor panjang.  Sebagaimana kehidupan berawal dari sel telur dari ovarium menyusuri tuba falopii, dan berjumpa dengan jutaan sel sperma yang berenang sepanjang saluran vas deferens dan menyeberang ke vagina,  leher rahim dan mulut rahim.

Demikianlah kehidupan awal terbentuk seturut pemahaman sederhana ku.

Pagi ini berulang di koridor-koridor panjang yang berbeda.  Kali ini koridor-koridor yang aku lalui menghubungkan antara woman's clinic tempat dokter yang mengoperasi aku,  dengan bagian farmasi,  dengan bagian jantung.

Ya,  aku di diagnosa adenomiosis dan harus mengalami pengangkatan rahim.  Suatu hal yang buat masyarakat Timur melambangkan kewanitaan,  kesuburan.

Entah mungkin karena tegang ataupun takut,  tekanan darahku pun ikut-ikutan berulah,  meninggi dan tidak mau turun walau sudah dosis ganda. Sehingga dokter mengirim aku ke heart clinic untuk mengambil alat yg memonitor tekanan darah setiap 2jam dan di transfer otomatis ke medical record di NUH (talking about technology in science,  dan Tifatul Sembiring masih bertanya buat apa internet cepat?  - - Fuck you,  Minister!!  thank me)


Selain itu dokter juga menemukan kadar potasium (K)  di dalam tubuh sedikit rendah yang mungkin dapat mengakibatkan irama jantung terhenti saat dalam pengaruh anestesi,  sehingga harus makan makanan ini.

Demikianlah pagi itu,  aku dibaringkan di kasur rumah sakit dan didorong melalui koridor-koridor panjang yang berwarna putih. Lampu sepanjang koridor terlihat menyilaukan.  Mungkin surga mirip seperti ini,  kataku dalam hati.

Dalam koridor-koridor panjang itu,  kadang kita berpapasan dengan kasur RS lain yang juga didorong ke arah yang berlawanan.  Entah siapa mereka,  entah mereka sudah selesaikah dari operasinya atau tindakan yang lain.

Ada kalanya koridor itu bercabang,  dan berliku-liku.  Beberapa pekerja rumah sakit juga dengan ceria saling menyapa.  Mungkin mereka seperti penghuni awal surga sebelum Adam dan Hawa terusir dari Firdaus.

Di salah satu koridor,  ada kaca menuju keluar. Serta merta sinar matahari menyeruak masuk menghangatkan hati.  Tercurah kasih sayang dan doa dari teman-teman dan keluarga yang mengiringi perjalananku melalui koridor-koridor putih itu.  Terbayang senyum bahagia anak3 yang ditinggal di rumah.  Dan satu tekad..  Aku akan kembali.

Demikian saat Julian dan mama berpisah denganku di  salah satu sisi koridor,  kuucapkan "see you later,  alligator",  seperti yang sering kita selorohkan saat mengawali hari.

Koridor-koridor itu berujung di Operating reception no.  11 dan  Operating Theater no. 6 kemudian recovery area no.  17.  Lalu sekali lagi melalui koridor-koridor panjang...  Tidak hanya aku masih hidup,  tapi aku dilahirkan kembali,  dengan curahan roh kudus melalui kasih sayang orang-orang yang ada disekitarku.

Ada kalanya hidup kita harus di stop dan di restart ulang...

Singapore,  21 Agustus 2014

Senin, 11 Agustus 2014

Jika...

Jika kecantikan itu membawa bahagia, mengapa ada orang cantik yang depresi?
Jika kekayaan itu membawa bahagia, mengapa ada orang kaya yang kesepian?
Jika ketenaran itu membawa bahagia, mengapa ada orang tenar yang pecandu?
Jika lelucon itu membawa bahagia, mengapa ada komedian yang depresi?
Jika kepandaian itu membawa bahagia, mengapa ada orang pandai yang delusi?
Jika kekuasaan itu membawa bahagia, mengapa ada orang kuasa yang paraniod?

Jika hidup itu membawa bahagia, mengapa ada orang yang bunuh diri?

Mother|Daughter Love|Hate Relationship

There's a theory said that strong mom will yield weak children.  I am not sure if the other way around is true (i . e . : weak mom yield strong children (?))

I was brought up in 70s and 80s. May be it's the era where the way we were brought-up,  when we need to obey our parents sometimes without question asked.  And I being the rebel in the family,  I was the one in constant battle with my mom.

My first drama was when I overheard that I was about to be aborted at the beginning of pregnancy because I was the 3rd child (my eldest sister passed away few months after I was born,  then I became the 2nd),  and my mom's pregnancy is within a short distance apart.  I whine about my being unwanted child and make a big drama out of that,  even if I know I was treated no difference than my elder brother.

Then there's a big fight between mom and me when I want to get baptized and she objected.  I brought all things being unwanted child and all,  crying, while my mom pray to her Guan Yin Goddess - - also crying,  and my dad got caught in the middle of all those drama. And of course I always had my dad on my side.

May be this sibling rivalry also didn't make it any better for all of us.  I constantly think that my elder brother received more attention that I do.  Although now I took it as a sign that my mom has a big trust in me that she let me do things my way.

Later on,  we also had big disagreement when I want to study abroad and my mom won't allow a girl to go that far for studying. May be that was my attempt to go far away from her. Although,  once again,  dad came to the rescue.

Until one day,  my dad passed away,  and I knew that my mom had done all the might in her humanly power to keep me and my brothers in university.

Another big fight was when I started to go out with my boyfriend (that is currently my husband),  she objected to make choice and even try to introduce me to other guy.  Now that I have my girl,  I realize,  that for any mom,  no man is good enough to take care of her daughter.

I even hated my mom that she fretted about why I chose natural  birth when I had my first child,  knowing that I have a low pain threshold.  She said that I should've opted for caesarean instead (which is what I end up having after hours of unfruitful labor in which the baby's heart rate drops everytime I was in excruciating pain).

I feel that in my every step of way,  I need to prove myself that I'm worthy enough and that I am up to my mom's standard,  even now.

Yet,  now,  as I am maturing,  I realized that all her fussiness,  all her preppiness,  is because she cares for me,  in a way that I might not understand then. She might be afraid that I don't have a nice life (in the way she can provide me),  she concerned about how I would take sub-zero weather abroad (while she knows I sleep with blanket on at 30C weather), she worried that I suffer more than I can take (while giving birth),  she wants to make sure that I will have good life ahead (in the way that she knows that may be just different from what I want). She became lver-protective because she cares,  and she cares a lot. Sometimes too much.

But I know she really cared for me,  when she cancel all her schedule to accompany me during my three times delivery,  and soon,  during my surgery. Right when I thought no one would be able to accompany me.

And the best compliments that I received from my mom,  that I exceed her standard,  when I sent her life orchids for her birthday (my mom has been a big fan of orchids),  and weeks after weeks it continues to bloom,  it's like I keep giving her flower long after the birthday has passed.  She said that was the best give that she ever received,  ever.

My mom,  my hero,  my role-model,  my friend,  my arch-enemy.  And if anything happen during my surgery,  please tell her I love her when you see her...

12/08/14

Kamis, 07 Agustus 2014

Langit Jakarta Saat Lebaran

Adakah yang memperhatikan langit Jakarta saat Lebaran?

Jakarta adalah kota yang super sibuk. Sekaligus super-polluted. Penduduk Jakarta yang 10+juta orang berdasarkan data BPS tahun 2011 ditambah dengan beberapa juta penduduk Bodetabek yang setiap hari keluar masuk Jakarta untuk mencari nafkah, menuntut ilmu, atau sekedar numpang lewat, membuat kota Jakarta harus menanggung beban environmental yang sangat berat.

Hitunglah jumlah kendaraan yang lalu lalang di Jakarta tiap detik, tiap menit, tiap jam. Ditambah dengan macet yang bisa berjam-jam. Tambahkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang dipelopori oleh sepeda motor. Dan berbagai industri di seputar Jabodetabek yang menyangga kehidupan bukan hanya warga Jakarta, melainkan juga secara nasional. Tingkat polusi di Jakarta menjadi tertinggi di banding kota-kota lain di Indonesia. Bahkan artikel National Geographic menunjukkan Hanya 81 Hari Udara Jakarta Bebas Polusi . Luar biasa bukan?

Bersyukurlah, Indonesia tiap tahun punya hajatan akbar yang bernama Mudik Lebaran. Saat lebaran lah Jakarta bisa sedikit bernapas lega dari himpitan penduduk yang harus ditanggungnya, karena mayoritas pabrik libur, kendaraan dibawa ke kampung (atau kota) halaman. Tahun ini ditambah dengan hujan lebat yang mengguyur Jakarta saat lebaran.

Walhasil, saat libur lebaran, matahari sore terlihat keemasan. Cityscape Jakarta terlihat tidak berkabut dari tol Wiyoto Wiyono (Priok-Cawang). Dan malam hari bintang-bintang bersinar bertaburan. Hingga rasi Salib Selatan (Southern Cross) pun terlihat nyata Selasa malam kemarin.

Kini, penduduk Jakarta sudah kembali berdatangan seiring berakhirnya libur lebaran. Langit Jakarta berangsur kembali berkabut seiiring dengan berjalannya kembali roda ekonomi sekaligus perusakan alam. Walaupun mungkin bintang jarang terlihat, janganlah berhenti menatap langit. Seperti pepatah dari Oscar Wilde: "we are all in the gutter but some of us are looking at the stars" ... because the stars never lie....

Selamat menatap langit. Selamat kembali bekerja...

7 Agustus 2014

Rabu, 06 Agustus 2014

When Education Comes to Life

My Teaching Assistant  back in university said one time,  that all the boring things that we learned in school is useful for every day's life. At that time I thought he must be kidding.  But now,  when I really think about everything that I am doing,  I know that he is right after all.

I life in Jakarta's suburb,  where driving to the city takes 2 hours in a good day.  Which means, driving back and forth easily takes minimum 4 hours,  which leave me lots of time to daydream. Driving in the highway which has sharp turns,  I can't help but thinking about centrifugal and centripetal force that was exerted by my car and which speed I have to maintain to be able to stay on track instead of smashing the road side (which I almost did when I was in my first pregnancy.  But that - -  I can always blame the hormones).  When I press the break pedal,  that's the friction between my wheel and the asphalt that slows down my car.  Therefore  worn tire are more slippery, because they have lower coefficient of friction. And that's Physics!

When I take a bath,  I would need to adjust the faucet knob to achieved the desired temperature of the water.  This reminds me of the Process Control in Chemical Engineering class where 2 streams coming in with variable flowrates at different temperature mixed into 1 total water coming out at certain temperature.

When I cook rice,  we're turning rice to cooked rice through gelatinization process from the starch with the help of water and high temperature.  When I mix the eggs to make cake,  I am incorporating air into my egg to get the right consistency from that suspension. That's Chemistry!

Even when my kids walk with their loaded backpack,  I always lecture then about shifting in the center of gravity to the back.  Which makes them fell more easily if the floor is slippery. And that's Biology!

Call me a geek,  if you want.  But you can't stop me from having all these thoughts in my head..  :P

Home,  6 August 2014

Senin, 04 Agustus 2014

Perempuan dengan Banyak Cerita

Aku adalah perempuan dengan banyak  cerita.  Jujur,  sebagian dari cerita-cerita itu adalah cerita yang aku pungut sepanjang perjalanan hidup dari mulut orang-orang lain.

Sebagian lagi,  aku angkat dari ceceran tinta yang menempel di buku-buku. Tinta yang semakin lama semakin lapuk dan pudar.  Kadang aku kalah cepat dengan kecoa-kecoa yang menjilati ceceran tinta itu.

Tahukah kamu bahwa cerita-cerita itu bernyawa?  Ia semakin kuat saat ia diceritakan berulang-ulang.  Sebaliknya saat ia tidak diceritakan,  cerita itu perlahan meregang ajal,  lalu mati.

Aku perempuan dengan banyak  cerita.  Jangan tanyakan padaku cinta,  karena cinta hanya salah satu sonata dari cerita-cerita yang menunggu di ujung lidah,  siap untuk berlompatan keluar ke telinga yang setia mendengar.

Aku hanya perempuan dengan banyak  cerita yang pasrah memungut kata,  yang pelihara mereka seperti sukma.

Ingin aku terbang dalam imajinasi bersama kata dan cerita,  tapi apa daya - -  aku hanya perempuan dengan banyak cerita.

Kota Wisata,  4 Agustus 2014