Jumat, 30 September 2016

Diaspora Overseas Chinese - Renungan dari Penang

Keinginan untuk menjelajah di Museum Sun Yat Sen di Penang, Malaysia, sejak tahun 2008 saat pertama kali kita menginjakkan Pulau Pinang untuk health check up di Adventist Hospital. Delapan tahun lalu, kita sengaja meluangkan waktu untuk menjelajah Georgetown dengan segala keunikannya yang merupakan salah satu UNESCO World Heritage Site.

Namun baru minggu ini, kita sampai ke sana, menjejakkan kaki di jalan yang strangely familiar dengan bau dupa dan bunga dari pedagang pinggir jalannya. Benar-benar membangkitkan kenangan.

Sambil mereka-reka.. diantara sederet jalan yang sekarang sudah menjadi shophouses di lorong sempit yang hanya muat 1 mobil, manakah yang menjadi pintu gerbang ke masa lalu Nasionalisme Cina dan terpisahnya Taiwan (Republic of China) dengan Cina daratan (People Republic of China).

Setelah bertanya sambil menyisir sebelah kanan jalan, akhirnya kita menemukan juga pintu masuk ke Museum Sun Yat Sen.


Dengan membayar RM5 /orang untuk biaya perawatan Museum, kita bertemu dengan guide yang dengan semangat 45 menceritakan mengenai sejarah rumah ini dengan bahasa Inggris yang luar biasa bagus.

Karena bosan dengan penjelasannya yang sangat detail (gue susah menghafalkan detail), gue memutuskan untuk berjalan ke ruang depan dimana terpampang foto Sun Yat Sen yang gue yakin jaman mudanya ganteng banget, juga biografi singkatnya.

 


Sebenarnya rada perplex juga dengan kenyataan bahwa pelarian Sun Yat Sen, pahlawan Taiwan sekaligus penjahat perang Cina, bisa sampai ke Penang, sampai kita menemukan kekagetan berikutnya bahwa perjalanannya itu as far as US dan Hawaii... komo cuma Penang.. (kitu cenah).. lihat peta pelariannya di bawah ini.


Dan terbayang bahwa untuk keberhasilan propaganda 三民主義 (Sanmin Zhuyi)  yang diusung Sun Yat Sen... ada beberapa faktor lain penentu keberhasilannya:

1. Kemampuan orasi yang diatas rata-rata, mengingatkan kita pada Bung Karno, yang disebut pengikut Revolusi Modern setelah Sun Yat Sen, ada beberapa pemimpin dari beberapa negara yang disebutkan mengikuti Pan Asianism.

2. Kemampuan menuliskan pokok pemikiran dan membuatnya menjadi propaganda. Contohnya speechnya dibawah ini:


3. Kemampuan mengumpulkan Overseas Chinese yang rata-rata adalah pedagang atau pengusaha sukses untuk mendukung gerakannya dengan sumbangan moril dan materiil. Sumbangan materiilnya bahkan sampai seluruh dunia mencapai lebih dari US$186,000.00 (pada jaman itu tahun 1911), dengan Indonesia (namanya masih Hindia Belanda) menyumbang US$32,550.00 . Daftar donatur asli sempat hilang dibakar, nama-nama dibawah ini kemudian dituliskan lagi oleh salah satu pengusaha Penang.


4. Wanita-wanita di sekitarnya. Selalu ada romansa dalam revolusi. Sebagaimana Soekarno dengan wanita-wanitanya, Sun Yat Sen juga menikah 4 kali, adapun istri ke 2 yang sangat terkenal karena menjadi pendamping revolusi. Foto istri ke 2 nya ada di bookmark yang dijual di dalam museum.


Dari persinggahan ke Museum Sun Yat Sen, terpikir bahwa, kekuatan dari revolusi Modern Sun Yat Sen adalah fondasi kuat dari sisi financial yang didukung oleh Overseas Chinese di seluruh dunia. Sumbangan uang datang dari 华侨 (hoaqiao) seluruh dunia.

Sebagai seorang hoaqiao, gue jadi berpikir, tahun itu angkatan keberapa dari leluhur yang meninggalkan Cina pertama kali? Diaspora macam apa yang ada di seluruh dunia. Seperti ditekankan oleh tour guide, philantropis macam Liem Sioe Liong dari Indonesia pun menyumbangkan banyak uang untuk membantu desanya di China (yang kebetulan tetangga desa kakek gue dari sisi mama).

Pun seperti kakek gue, dia masih concern dengan pembangunan di kampungnya, membangun sekolah dan membiayainya, dari jaman Cina masih tertutup dan rakyatnya sengsara, hingga akhir hayatnya, yang entah masih diteruskan atau nggak oleh paman-paman saya,

Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih mempunyai keterikatan kuat dengan Cina sebagai tanah leluhur? Ataukah kita lebih mempunyai keterikatan dengan Indonesia sebagai tanah tumpah darah? Diaspora apa yang kita bawa bila kita ada di luar negeri? Diaspora Cina, ataukah Diaspora Indonesia? Akanlah angkatan kita masih memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan orang-orang di kampung halaman leluhur di Cina, ataukah lebih perduli dengan kesejahteraan orang di kampung halaman sendiri di Indonesia?

Akankah Sun Yat Sen bisa sesukses itu bila dia hidup di jaman sekarang yang keterikatan terhadap Cinanya sudah lebih loose daripada angkatan pertama dan kedua?  Apakah kita masih bisa disebut 华侨 (hoaqiao) bila berbicara bahasa Mandarin saja kita gagap?

Apakah kebijakan Soeharto untuk penghapusan pengajaran bahasa Cina dari 1965 - 1998 itu langkah brilliant yang membentuk persatuan seluruh suku dengan menggunakan bahasa Indonesia? Ataukah memang cultural genoside dan merupakan kutukan untuk keturunan Cina di Indonesia? Bahkan seorang teman mempunyai sahabat orang Malaysia yang iri dengan kondisi bangsa kita yang hampir homogen secara bahasa, hal yang tidak bisa ditemukan bahkan di Malaysia?

Berkecamuk berbagai pikiran di kepala ini...

Penang, 27 September 2016

Selasa, 06 September 2016

"Bahagia apabila" atau "Bahagia walaupun"

Di dunia ini kebahagiaan itu bagaikan mantera yang dicari banyak orang. Dan sebagian besar tidak bahagia dengan kondisi mereka saat ini. 

Mereka merasa mereka akan "berbahagia apabila"...... 
- lebih kaya
- lebih cantik / ganteng
- lebih kurus / bertubuh ideal
- lebih pandai 
- lebih dicintai pasangan
Daftarnya bisa panjang dan tidak pernah berakhir.

Tapi kita tahu bahwa banyak orang yang mempunyai hal-hal tersebut di atas, juga tidak bahagia. Berapa banyak orang cantik yang bunuh diri, terjerumus dalam pergaulan sesat, terjebak perselingkuhan, kawin cerai, dst.

Yang menarik adalah ada tawaran bahagia dengan cara yang berbeda. Tawaran ini awalnya datang dari Injil. 

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."  (Mat 5:3-12)


Perikop di atas paralel dengan bacaan liturgi hari ini, 7 September 2016, yaitu Luk 6:20-26.

Kebahagiaan yang ditawarkan oleh Yesus adalah "bahagia walaupun"...

"Berbahagia walaupun" miskin,
"Berbahagia walaupun" berdukacita,
"Berbahagia walaupun" lapar dan haus,
Demikian seterusnya sampai perikop habis.

Apabila kita melihat dari mata manusia yang keduniawian, "bahagia walaupun" ini adalah hal bodoh. Orang miskin mana bisa bahagia. Bahkan ada joke yang mengatakan "menangis sambil naik ferrari lebih membahagiakan daripada menangis sambil berjalan kaki".

Tetapi bila ada tawaran "kenapa pula harus menangis bila kita bisa tersenyum atau tertawa?"... well mungkin sebagian dari kita tetep memilih naik Ferrari sambil nangis sih.. namanya juga manusia makhluk materialistik.

"Seeking happiness in material things is a sure way to be unhappy" ~ Pope Francis

Jadi buat mereka yang merasa bahwa kebahagiaan itu mahal, mereka mencarinya di tempat yang salah.


Bonus quote dari Bunda Teresa:


Mari mencari dan memperjuangkan kebahagiaan kita, karena Allah ingin kita bahagia....

Cibubur, 7 September 2016