Jumat, 21 Agustus 2015

Supermom

I hate labeling.  

Moreover,  I hate being labeled.  Even if the label is supposed to be a compliment. 
Like: S U P E R M O M.


I tell you why:

  1. Being labeled Supermom means someone is superior compare to other moms, and some are inferior. That there has been competition between moms.  Stop that!! Being a mom is NOT a competition. It's never meant to be.
  2. No mom is super. No school is the best. We just need to be the most suitable mom to our kids need.
  3. Being super, means there are targets that you need to hold on to. That will turn us to be a vicious perfectionist mom that your kids will surely hate.
  4. Your kids are not/may not want to be Superkids. If your kids perform less that expected, or less than other kids, or less than his/her own cousins, or even less that his/her own siblings, it's okay too. It's NOT an indication of your performance. Stop being too baper about that (baper = bawa perasaan).
  5. Even the best mom sometimes fail. We just don't fret about it. Suck it up and walk on. (okay, I admit I still fret about it on my other blog, I just keep everything as draft. May be until someone wants to publish my writings and then I got a lot of money from writing. #wishfulthinking)
  6. If your kids can do things on their own without you, you have succeeded.
  7. It's okay NOT to be a mom. It's okay if you decided not to have kids. It's okay if you cannot have kids. It's not a failure. And don't judge. You don't know how much pain and humiliation that they already received.
Anyway, quoting dear wife of a friend of mine who just put her daughter to college halfway across the globe: "Every parent's goal is to make themselves obsolete" - Elliyawati Djendrono 



Jumat, 07 Agustus 2015

Visa Taiwan

Dulu waktu kantor bertaburan dengan anak-anak McKinsey yang lalu lalang ke mancanegara sedangkan kita terjebak dalam kubus besar yang dingin di sebelah ruangan PresDir, sering gue mimpi, kapan bisa traveling sambil kerja. Kesannya keren. Lalu lalang di airport. Apalagi sekarang dengan adanya aplikasi Foursquare (dulu belom ada aplikasi 4sq, levelnya baru ngumpulin stempel di paspor).


Sekarang... belum juga pantat nempel kasur seminggu, udah dikejar-kejar bos romusha untuk memikirkan bisnis trip berikutnya, ke Taiwan.

Masalah booking tiket sih gampang, tinggal traveloka atau nusatrip , asal ada kartu kredit, bisa beres. Tapi yang menyebalkan jadi orang Indonesia adalah kemana-mana kudu apply Visa. Apply Visa sendiri ini riweuhnya setara dengan traveling seminggu. Pertama kita harus membaca website mengenai syarat-syarat dan cara-cara. Kalau ada foto ukuran tertentu, dengan latar belakang tertentu, bahkan expresi wajah tertentu (sumpah, di aplikasi visa ke Amerika, foto gak boleh senyum. Ekspresi netral. Kebayang gak gue berusaha poker face? Adanya malah boker face!). Belum lagi mengisi segala macam form yang pertanyaannya yang gitu deh (apakah pernah melanggar hukum, apakah pernah overstayed, apakah pernah memakai narkoba -- kalo di Kanada apakah dalam waktu 6 bulan ke Afrika Barat).


Anyway, hari ini gue melihat syarat-syarat Visa Taiwan. FYI, Taiwan tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia sejak Indonesia mengakui RRC sebagai Cina (1 China Policy), jadi kita harus ke Kadin nya mereka, istilah kerennya Taipei Economic and Trade Office, di Gedung ArthaGraha SCBD.

Setelah ngisi-ngisi form mereka, ternyata di website Travelawan ada info lengkapnya... Bahkannnn... kalau kita punya Visa yang masih laku dari negara-negara Amerika, Kanada, Inggris, Schengen/Eropa, Australia, New Zealand, Jepang, kita bisa dapat instant approval. Serius. Mungkin dianggapnya negara-negara maju ini lebih rigorous memfilter dan menscreening orang-orang yang akan masuk ke negara mereka, sehingga pemerintah Taiwan tidak perlu menscreening ulang (reinventing the wheel -- kalo istilah Steven Covey)..  Dan semuanya bisa dilakukan online di sini.

Lebih dahsyatnya lagi, ini hanya berlaku untuk beberapa warganegara: India, Thailand, Vietnam, Filipin, dan .. INDONESIAAAA.... Gue kebayangnya, mungkin kita ini dianggap sebagai transisi antara negara yang "nggak banget" ke negara yang "oke punya". Jadi seakan-akan I'm not a Girl not yet a Woman gitu deh... *elu pikir elu Britney Spears??*

Dan... hasilnya adalah...


dan... expirednya dalam waktu 30 hari.. which is sebelum gue berangkat... TOBATTTTT !!!...


Jadi gitu deh, next week gue kudu bikin lagi sekali lagi... Dan dokumen ini gak usah lagi ke kantor Taipei Trade Office. Cukup nanti ditunjukin ke imigrasi di sono. Dan ini... GRATISSSSS... (seneng kan kalo denger gratisan?? Itu bukti bahwa kita Truly Indonesian.

Ya deh... semoga bermanfaat.

Gimana kalo ternyata gak punya visa dari negara-negara itu? Ya kudu apply seperti biasa sih. Isi formnya online, tapi di print dibawa ke Gedung ArthaGraha, dan kudu bayar. Link formulirnya di sini. Good luck!!


Kamis, 06 Agustus 2015

Driving on the Right Lane

Perbedaan mendasar antara mengendarai mobil di Indonesia, dan mengendarai mobil di Canada adalah di kita setir sebelah kanan mobil dan lajur yang dikendarai lajur kiri. Di Canada (dan Amerika), setir ada di kiri mobil, dan lajur yang dikendarai lajur kanan.

interior Ford Expedition Max -- setir kiri


Hal yang bertolak belakang ini membuat nyetir di Canada menjadi ngeri-ngeri sedap.  Masalahnya, terakhir kali gue nyetir di lajur kanan ini adalah ... yah... 2 dasawarsa alias 20 tahun lalu... alias nyaris separo umur gue... (iyeeee... gue tuaaa).... Sedangkan my 2nd driver, yaitu suami tercinta... TIDAK PERNAH nyetir di lajur kanan.


Satu hal yang menarik adalah SIM lokal Indonesia sudah cukup untuk menjadi SIM selama di Canada, termasuk untuk rental mobil. Tidak perlu bayar tambahan untuk membuat SIM Internasional. Yang penting, tertulis dalam huruf Latin. Jadi warga India, Thailand, China, Rusia dll yang tidak menulis dalam huruf Latin, yes, you need to apply for International Driver Licence.


Adapun di Indonesia, walaupun semuanya tertulis dengan bahasa Indonesia, di bagian atas tertulis DRIVING LICENSE. And that's enough. Bahkan mereka juga kaga akan ngerti apa itu A dan C. Tapi jangan coba-coba nyetir mobil kalo cuma punya SIM C ya... bener loh!!

contoh SIM Indonesia dari www.rachmatalamsyah.com

Nah... karena kemarin itu kita perginya rame-rame ber 16, maka mobil yang ditawarkan adalah Ford Expedition Max yang terdiri dari 3 baris + bagasi yang roomy. Muantap memang. Apalagi buat orang Indonesia yang kopernya aja seperti pengungsi. (Padahal pengungsi mah gak mungkin bawa koper logikanya... ya kan?). Tapi.... Efek sampingnya.... ya... mobil ini ukurannya gedhe... segedhe gabon....

Bandingannya begini,
Toyota Alphard            Lebar: 1830mm   Panjang: 4850mm
Ford Expedition Max   Lebar: 2332mm   Panjang: 5608mm

Krasa banget kan gedhenya... padahal Alphard aja gue gak pernah nyetir (iyee... karena gak punya)...


Jadilah sepanjang perjalanan itu isinya adalah kehebohan antara gue dan suami gue. Saat gue nyetir, suami gue yang heboh memberi petunjuk seperti Binagraha. Saat suami nyetir, dia heboh menanyakan apakah dia nyetirnya udah benar atau belom.  Contoh percakapan selama nyetir adalah sbb.:

"Sien, gue nyetirnya terlalu kanan gak?"
"Sien, elu terlalu kanan nyetirnya"
"Sien, jangan kenceng-kenceng nyetirnya, tenang aja"
"Sien, jangan deket-deket sama mobil depan!!"
"Sien, ini kalo belok kanan boleh langsung atau nunggu lampu merah?"
"Sien, kalo lampu ijonya kedip-kedip, gue harus berhenti gak ya?"
"Mama, Sienny jangan diajak ngobrol dulu"
"Anak-anak jangan ribut di belakang, Mommy gak bisa konsentrasi"
"Heh! Anak-anak suaranya bisa kecilan gak?"
"Sienny gak boleh ikut liat kiri kanan"

.....#lah... jadi curcol....

Anyway... setelah semua kehebohan itu, kita toh sukses menaklukkan tantangan baru, nyetir di negara orang yang berlawanan arah dengan kita sejauh 354km+48 nautical mile, dengan selamat (walaupun penuh ketegangan seperti nonton film The Raid--tanpa MadDog tentunya).  Dan kita menjadi stronger team (or at least I hope so).

Yang paling apes adalah, karena ketidaktahuan gue (alias ketololan gue), gue hooh-hooh aja saat kendaraannya diupgrade, ternyata dikenain tambahan biaya upgradenya yang nilainya 2x lipat dari harga awal. Jadilah kita melongo saat membayar karena semua paperworks gue yang tanda tangan (akibat adik gue flightnya terhambat Gunung Raung meletus).

Tapi saat itulah adik gue bilang: "Saat kita traveling, kita selalu memulai hari dengan berdoa -- Tuhan berkatilah kota ini -- .... Gue yakin, saat kita merasa ditipu/dimahalin, ini cara Tuhan memberikan berkat kepada kota ini, melalui kita"...   Amen, brother... Amen... You're amazing...


Kenangan unik - Vancouver Trip
18-20 & 27-29 July 2015

Minggu, 02 Agustus 2015

Diaspora Indonesia

Tau gak arti diaspora? Bukan, itu bukan spora yang ada di tumbuh-tumbuhan pakis-pakisan, walaupun arti dasarnya memang dari terminologi tumbuh-tumbuhan itu. Menurut Wikipedia, diaspora, bahasa Yunani kuno διασπορά, "penyebaran atau penaburan benih") bermakna bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Lebih detailnya bisa dilihat di sini karena gue gak mau berpolemik dengan istilah.


Banyak wacana Diaspora Indonesia saat Dino Patti Djalal jadi Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, menyinggung banyaknya perantau asal Indonesia yang tersebar di berbagai belahan bumi, dan merealisasikan perantau-perantau ini sebagai kekuatan ekonomi baru.

Awalnya gue merasa bahwa diaspora ini hanya gagasan diawang-awang untuk kelas menengah dan kelas atas yang settle di negara tertentu dengan kemampuan ekonomi lumayan (di atas kelas menengah di Indonesia). Atau laksana tycoon-tycoon lokal yang berinvestasi di luar negeri mengembangan emporium bisnis mereka.

Kenapa gue berpikir demikian? Karena terus terang gue susah melihat TKW di level pembantu untuk menjadi bibit diaspora Indonesia. Selain posisi mereka yang (tetap) marginal, aktivitas mereka di Luar Negeri sering menjadi sorotan mengenai penganiayaan dan penelantaran. Selain itu, di dalam negeri sendiri, kegiatan TKW/TKI banyak yang merusak tatanan sosial berkeluarga di kampung halaman dengan maraknya suami nikah lagi karena istrinya cari uang untuk keluarga. (Apes banget dah!)

Tetapi yang gue saksikan di kapal pesiar Disney Wonder saat liburan dari Vancouver ke Alaska bulan lalu mengubah pandangan gue mengenai diaspora ini. Saat kami memulai liburan, kami tidak pernah berpikir bahwa di kapal yang berkapasitas penumpang 2400 orang dengan kurang lebih 1000 awak kapal ini, ternyata selain kami ber 16 yang dari Indonesia, kami ditemani oleh hampir 150 awak kapal orang Indonesia.

Dari 150 awak kapak ini, sebagian besar dari Bali, kemudian Manado, baru Jakata/Bekasi/Bogor. Menurut mereka, dari pihak agen perekrut di Bali, mereka prefer nama-nama Bali atau nama-nama Manado daripada nama-nama yang berbau Muslim karena kemungkinan visa kerjanya keluar jauh lebih kecil apabila namanya berbau Muslim. (Kebenaran info ini walahualam).

Bangga? Pasti. Kebanggaan yang sepertinya sama dari para awak kapal ini, yang selalu bilang, "Biasanya jarang orang Indonesia di sini, sekarang mulai banyak". Dan mereka mereka selalu menyempatkan untuk menyapa kita saat berpapasan dengan kita, atau saat serving kita makanan. 

Henny dari Bekasi sudah di Disney Cruise sejak 2010. Satu2nya server wanita Indonesia di kapal kami.

Putra dari Bali, bertugas di Deck 9.


Begitu pula saat kita duduk di Canada Place, beberapa awak kapal membawa wheelchair lalu lalang berbicara bahasa Indonesia, dan akhirnya kami sapa. Mereka bekerja di Princess Cruise. Dan  menurut mereka jumlahnya awak kapal Indonesia memang lumayan banyak.

Saat anak-anak kami lalu lalang di Deck 9 (tempat outdoor dimana kolam renang hingga tempat makan berada), awak kapal dari Indonesia ini yang menjaga anak-anak kita. Bahkan Greg, si bungsu kami, berteman dengan satu awak Indonesia yang bertugas sebagai server di Pinocchio Pizzeria karena tongkrongan gratis ini adalah salah satu favoritnya (dengan rekor satu hari makan 8 slice pizza -- disamping breakfast, lunch, dinner yang bersama-sama kita).

Menurut gue, kapal pesiar Disney Wonder -- yang mensyaratkan seluruh awak kapalnya terdiri dari 50 negara di dunia (termasuk server group kita Elle dari Australia, Ana dari Spain, dan Head Server Rakesh dari Trinidad/Tobago) dengan jalur kapal dari Canada ke Alaska, hingga Florida ke Bahama -- merupakan melting pot alami dari bagaimana saat ini bekerja bisa lintas negara dan lintas benua.  Dan awak kapal ini, bukan hanya kekuatan ekonomi suatu bangsa, tetapi lebih dari itu, kekuatan sosial dan kekuatan budaya suatu bangsa.

Cuma satu keluhan mereka.... di kapal tidak ada cabe.... (I feel you, guys... I feel you....) 

Kenangan unik Disney Wonder - Alaska Cruise
20-27 July 2015