Kamis, 12 Februari 2015

Jalanan Kala Hujan

Siapa sih yang gak tahu kondisi jalanan di Jakarta?  Macet itu sudah jadi makanan sehari-hari.  Bahkan kalau tidak macet,  kita justru heran sekaligus was-was. 
Apalagi ketika hujan.  Logikanya,  gak hujan aja macet,  apalagi saat hujan?  Selain menurunkan kecepatan karena visibility rendah,  pengendara mobil juga menurunkan kecepatan untuk mencegah genangan terciprat mengenai pejalan kaki ataupun  pengendara motor.  Pengendara motor pun biasa menepi di bawah jembatan atau jalan layang,  membuat bottle neck dan menimbulkan kemacetan panjang.
Apabila hujan ini bertepatan dengan jam pulang kantor,  apalagi menjelang long weekend,  akibatnya bisa lebih mengerikan.  Apalagi untuk warga pinggiran Jakarta yang harus melalui jalan tol.
Selain itu,  biasanya setelah terjebak macet berjam-jam,  begitu memasuki area yang sedikit longgar,  pengendara seketika memacu kecepatan kendaraannya. Seakan berusaha menebus waktu yang terbuang percuma. 
Tak terkecuali juga gue,  dengan bantuan Waze,  gue menghindari macet dengan memutar jauh.  Meskipun demikian,  kadang macet tak terhindari.  Tapi paling tidak menjadi minimum.  Sehingga hasrat ngebut menjadi lebih tersalurkan.  Apalagi tak sabar bertemu dengan keluarga di rumah.
Sampai suatu senja,  di jalan belakang menuju ke rumah,  di perempatan utama, ada seorang gadis kecil yang masih dengan seragam SD nya,  lengkap dengan jilbab jingga senada pakaiannya,  terseok-seok mengayuh sepedanya.  Gue yakin,  dia juga bergegas menuju rumah.  Badannya yang kecil kurus sudah basah kuyup,  mungkin setengah menggigil.
Tapi di perempatan tersebut,  dengan lebar jalan yang pas-pasan untuk 2 mobil berpapasan, kendaraan lain di belakang sepeda mini itu,  dengan tidak sabar membunyikan klakson berkali-kali.  Mungkin kita pikir dengan demikian,  sepeda kecil itu bisa melaju lebih kencang.  Persis logika kita memencet tombol lift berkali-kali dengan tidak sabar.
Dan di ujung jalan,  akhirnya si gadis kecil yang usianya tak lebih dari 8 tahun itu berhenti di tepi jalan.  Turun dari sadel sepedanya,  sambil menengok bingung ke belakang,  berusaha menebak makna klakson yang dia yakin ditujukan padanya.
Dan pandangan kita bertatapan.  Berbatas kaca depan mobil yang basah dan buram berembun.  Di sini,  di satu koordinat yang sama,  seakan kita ada di 2 dunia.  Aku,  dengan jok mobil nyaman yang kering dan hangat.  Dia,  basah kuyup di bawah hujan.  Tak kuasa aku menentang tatapannya.  Mempertanyakan kenapa tergesa.  Dan sumpah,  walau bukan gue yang mengklakson,  tapi gue mendadak merasa bersalah.
Seringkali kita merasa self-pity saat terjebak hujan dan macet.  Meanwhile ada banyak orang lain yang lebih tidak nyaman,  bahkan menderita.
Mungkin ini syndrome kelas menengah ngehe...  Dimana hidup kita seperti dalam gelombang steril dengan perumahan real estate yang ditata bagaikan  kota impian yang ideal,  di saat banyak orang terpinggirkan kehidupannya karena kita ingin tampil mewah.. 

Jumat, 06 Februari 2015

Ini Medan, Bung!

Sebagai orang Surabaya yang merasa Ujung Kulon saja sudah jauh banget, Medan yang terletak di utara pulau Sumatera itu seperti planet lain. Memang tahun 1996 saat masih single (sekarang sudah quintuple), pernah ke Medan dengan mama dan saudara-saudara. Tapi sebagai turis yang menyewa minibus untuk ber-6 (mama+4 anak+1 karyawan toko) saja, dengan satu tour guide Pak Johny Sipayung, pastinya kita tidak melihat gaya hidup sehari-hari orang Medan yang katanya "keras"!!

Belakangan setelah pekerjaan mengharuskan untuk ke Medan, barulah kita berkeliling-keliling kota, antara naik taksi, jalan kaki, dan rental mobil, dan melihat dari dekat kehidupan orang-orang Medan. Dan dari pengamatan gue, kota Medan buruk untuk kesehatan. Ini alasannya:

1. Makanan enak

Kota Medan terkenal dengan makanan yang enak, mulai dari makanan cina seperti kuetiauw, mie --yang levelnya menurut boss Jepang gue sudah menyamai kualitas mie di Singapore; makanan batak seperti babi panggang karo, arsik; makanan peranakan seperti kari bihun; maupun andalan Medan, yaitu durian. Adapun makanan yang enak tadi, semua mempunyai potensi killer, mulai dari karbohidrat tinggi (mie), lemak tinggi (kari), haram (babi), glukose tinggi (duren). Hal ini membuat kota Medan menjadi kota berbahaya bagi kesehatan.


2. Klakson

Buat yang punya penyakit jantung, gue sarankan tabah dan tawakal pergi ke Medan. Di kota ini, semua pengemudi mobil dan motor membunyikan klaksonnya, walaupun jalanan kosong dan tidak macet. Untuk orang yang tidak mempunyai riwayat sakit jantung pun bisa terpengaruh karena tingkat stress menjadi tinggi. Padahal kita cuma jadi penumpang. Bagaimana kalau jadi pengemudi? Boss Jepang yang jalan ke Medan bertanya dengan curiosity tinggi kenapa semua orang mengklakson. Dan jawabannya hanyalah rumput yang bergoyang dumang....

3. Ketabrak

Buat yang naik kendaraan umum, atau jalan kaki selama di Medan, gue sarankan kalian mempelajari dulu gaya menyeberang orang Medan. Cara menyeberang adalah, mengambil sela di antara kendaraan yang lewat, dan terus berjalan dengan kecepatan konstan ke seberang. Kenapa?  Karena orang Medan TIDAK melambatkan kendaraan bila melihat orang menyeberang. Yang mereka lakukan adalah tetap melaju dengan kecepatan tinggi, dan lewat persis di belakang penyeberang jalan. Untuk penyeberang jalan amatir yang takut saat melihat kendaraan melaju dengan kecepatan konstan ke arahnya, niscaya akan ketabrak beneran. Sumpah!

4. Gak sante

Kalo kita lihat orang Jawa atau Sunda ngomongnya halus dan tertata, orang Sumatera rata-rata lebih extrovert, direct, dan gak sante. Kalau di restoran, waiter dari Jawa cenderung menunggu pelanggan memanggil dan memesan. Kalau di Medan, waiter akan bertanya terus "Apa lagi, Kak?" sampai kita gak enak hati kalau gak menambah pesanan. Sungguh. Kegigihan yang patut diacungi jempol dan membuat kota Medan menjadi kompetitif.  Jangankan berantem, ngobrol biasa aja, kalau percakapan itu terjadi antara beberapa orang Medan, kedengarannya sudah seperti berantem, Kita jadi tergerak untuk melerai.  Jangan pula sesekali berantem dengan orang Medan. Inang-inangnya terkenal ganas. Bahkan FPI pun mereka lawan. Luar biasa, bukan??!! Mungkin Inang-inang ini bisa diangkat menjadi Kapolri saat Jokowi masih bimbang dengan BG or not BG.

5. Miras

Tau yang namanya warteg di Jawa, alias warung tegal?  Kalo di Medan, yang bertaburan adalah lapo tuak. Tuak, iya, minuman keras lokal dengan kadar alkohol sedang. Kalo mau lebih nampol, biasa dioplos dengan minuman beralkohol yang lain. Lapo tuak kadang-kadang diselingi dengan musik. Rata-rata dangdut. Entah ada apa dengan dangdut dan miras. Apakah kalau mabok goyangnya lebih heboh. Mungkin.  Dan, walaupun kelasnya lapo, tapi suara musiknya sampai ke tengah jalan, persis seperti panggung orkes melayu. Kenceng, bo!!!  Sepertinya tuak memang bagian dari kehidupan sosial masyarakat Medan, dan merupakan kearifan lokal... Seperti semboyan: Kalau jadian makan-makan, kalau putus minum-minum. Untunglah Fahira Idris gak jadi anggota DPD Sumatera Utara... bisa hilang budaya lapo tuak dari kota Medan.

6. Bis AKAP

Sebagian besar Sumatera tidak punya transportasi darat alternatif selain bis AKAP karena tidak ada jaringan rel kereta api yang terintegrasi dari utara ke selatan.  Bahkan untuk penerbangan pun, hub utama masih di Cengkareng (dan kita bingung saat dikatakan kondisi penerbangan di atas CGK (kode international untuk Bandara Soekarno Hatta) sudah memprihatinkan karena overloaded).  Selain asal Padang, sebagian besar bis AKAP ini berbasis di Medan. Sopir yang nekad, medan tempuh yang berat, waktu tempuh yang panjang, menempa both sopir dan penumpang kendaraan bis AKAP, sekaligus membahayakan nyawa.

7. Pengacara

Entah kenapa, banyak sekali orang Medan yang jadi pengacara. Dan gak cuma di Medan, termasuk di Jakarta juga.  Tapi berbisnis Medan, apabila ada pelanggan yang tidak puas dengan barang/jasa yang kita berikan, atau ada keluhan, orang Medan tidak segan-segan menggunakan pengacara untuk menggugat pemilik bisnis. Maka dari itu, pemilik bisnis juga mempunyai pengacara yang mereka pakai untuk mengantisipasi hal-hal tersebut. Ngeri....


Hal ini adalah pengamatan gue selama blusukan di Medan beberapa kali, apabila ada yang tidak setuju, silakan comment, tapi tolong, jangan tuntut gue dengan UU ITE... karena gue menulis karena gue perduli...

Kamis, 05 Februari 2015

Proses Mutasi SIM dari Surabaya ke Kabupaten Bogor

Nasib perantauan di pinggiran Jakarta,  salah satunya adalah memindahkan semua dokumen-dokumen dari kota asal ke tempat menetap sekarang.  Tak terkecuali SIM. 

Sebenarnya,  gue pernah daftar SIM Kab Bogor yang baru,  5 tahun lalu, tapi alih-alih dapet SIM,  yang ada malah kita dipermalukan dengan ujian praktek yang dilihat semua orang,  disorakin,  ditepuktangani saat melorot di tanjakan (padahal mobil ujiannya sendiri koplingnya sudah tinggi sekali,  alias kanvas koplingnya sudah habis),  melindas garis kuning saat parkir paralel  (padahal ukuran kotaknya hanya cukup untuk 1 bajaj) ,  dan menyenggol cone orange saat berzigzag dengan jarak spt lomba sepeda.

Tetapi karena kali ini gue sekalian tes kesaktian,  membuktikan perbaikan birokrasi di kepolisian (bila ada),  sekaligus terpaksa karena nama gue udh dicoret mama dari kartu keluarga mama.


MUTASI KELUAR DARI SURABAYA

Semua berawal dari CABUT BERKAS di Samsat Colombo Surabaya yang terletak di jalan Perak Barat,  cari aja signage ini. Gue ke sana begitu landing.  Jam 8.50 sampai di lokasi.



Syaratnya lumayan mudah,  fotocopy KTP kota tujuan 2x,  fotocopy SIM kota asal 2x. Dan bawa semua aslinya.  Kalo lupa fotocopy,  gampang....  Ada loket fotocopy di sono (letaknya dekat dengan pintu masuk).
Selain itu,  hal tricky lainnya adalah,  lokasi loket 4 (yang kalau nanya ke siapa saja selalu mengatakan loket 4), ada di ujung belakang deretan bangunan sebelah kanan.



Nah setelah menyerahkan semua data tersebut,  kita tinggal duduk diam,  dan dipanggil dalam waktu 30 menit (sambil menonton penebang pohon dengan gergaji listrik yang suaranya memekakkan telinga dan mirip balap motor liar di Kemayoran)


Apakah penantian gue usai?  Ooo tidakk!!!  Bapak di loket menanyakan : "ibu perpanjangan SIM terakhir di mana?".  Nah,  bingung kan?  Bukannya dia lebih inget?  Ternyata kalau perpanjangan di SIM keliling,  data gak online alias kita kudu meminta approval ke Kaops Unit Keliling yang kantornya di sebelah outlet BRI.


Dan...  Kaops yang bersangkutan sedang dipanggil oleh Kapolda,  sehingga surat pengantar dan keterangan cabut berkas baru dapat diambil keesokan harinya. 


Total waktu: 2 hari kerja (tapi hari pertama menunggu 30 menit, hari ke dua langsung dapat dalam waktu 1 menit)

Biaya: GRATIS kecuali fotocopy 1000/lembar


MUTASI MASUK KABUPATEN BOGOR

Ketololan pertama yang gue lakukan adalah,  menuju ke Samsat Cibinong yang terletak di dalam kompleks Bupati.  Sesampainya di sana,  ternyata Samsat hanya mengurusi mutasi surat kendaraan (STNK) . Bukan mutasi MANUSIA (SIM) . Kemudian gue harus pindah ke Polres Bogor,  yang berseberangan dengan Kantor Bupati di Jalan Tegar Beriman yang jalannya bisa dipake buat landasan pesawat saking lebarnya.

Di sini begitu masuk ke belakang via jalan samping, ada loket untuk pengurusan SIM, di samping lapangan tempat ujian praktek motor.


Nah, di loket pertama udah ditanya:

Petugas: "Ibu mau ngurus sendiri?" ...
Me (bingung): "Ngurus sendiri, Pak" (apa gak pernah liat ibu-ibu ngurus SIM sendiri?).

P: "Ibu bener bisa ngurus sendiri? Apa mau dibantu ngurusin?" ....
Me (Ohhhhh kesana toh arahnya...): "Ngurus sendiri, Pak..." ....

P: "Yakin, bisa?" ...
Me: "InsyaAllah bisa, Pak" ...

Gila deh, Bapaknya. Masaaaaa ngurus SIM sendiri gak bisa? Ada juga males karena biasa dipersulit.

Walhasil, dia ambil amplop dan memasukkan dan menjepret berkas untuk ditaruh di map.

P: "Ibu sudah bawa surat dokter?" ....
Me: "Belum Pak"
P: "Kalau begitu ibu ke belakang untuk pemeriksaan kesehatan"
Me: "Belakang mana, Pak?"
P: "Itu dari lapangan basket lurus aja terus ke belakang"

Berjalanlah gue ragu-ragu ke belakang, melewati lokasi uji praktek motor, uji praktek mobil, sampai tiba ada bangunan bertuliskan KLINIK. Dalam hati... oh.. disini... Begitu mau menginjakkan kaki ke dalam klinik, seorang ibu-ibu berhijab yang sedang mengobrol dengan seorang pria, berteriak ke arah saya: "Lurus aja ke belakang. bu" ... Dengan langkah pede, gue melangkah masuk ruangan.

Belum juga lewat dari daun pintu, si Ibu berhijab teriak lagi: "Lewat samping, Bu... Jangan lewat dalam."
Me (dalam hati): What the heck?

Ternyata.... pemeriksaan bukan di klinik resmi tersebut... melainkan, melewati jalan kecil, keluar dari pagar belakang kompleks di antara dinding yang dilubangi selebar 40cm, dan... ada dunia Harry Potter... Nggak lah... Ada ruangan-ruangan kecil. Ruangan yang berhadapan dengan pintu itu, adalah ruangan asuransi. Biaya Rp. 30.000,-  Entah asuransi ini resmi atau tidak. Ya sudah, bayar saja, Kemudian berhadap-hadapan dengan ruang asuransi itu, ada ruang dokter. Yang isinya 2 orang mbak-mbak muda berhijab, dan gak seorangpun dokter.  Bayar Rp. 20.000,- ditanya gambar tes buta warna, tensi asal-asalan (kenapa gue bilang asal-asalan? Gue yang biasa darah tinggi di sana bisa cuma 110/70, normal senormal-normalnya).

Setelah itu, kembali ke loket awal. Dari sana, petugas memerintahkan: "Tunggu di sana" sambil mengibaskan tangan menjauh ke arah deretan gedung.

Karena gak yakin kudu nunggu di mana, gue malah berdiri di pinggir lapangan uji praktek motor, sambil melihat seorang mbak-mbak dikerjain harus bermotor melingkar dengan lingkaran diameter 1.5 meter dengan roda tidak boleh lewat garis paralel keliling lingkaran yang berjarak 10 cm.  Lama-lama yang menonton makin banyak.... dan tiap kali si mbak gagal, ditepuktangani sama orang-orang. Cape deh...

Karena gak dipanggil-panggil, gue kembali lagi ke loket. "Pak, nunggunya di mana?" ... Petugas dengan santai menjawab: "Itu di pendopo." .... Ohhh ngobrol donk pak... ngobrol....

Sesampainya di pendopo, terlihat orang-orang duduk dan namanya dipanggil. Karena gak yakin antrian itu dipanggil untuk apa, maka gue masuk ke dalam ruangan di sebelah pendopo.  Di sana disambut satu petugas. "Ibu atas nama siapa?" ... Gue jawab: "Sienny, Pak"...  "Oh.. ibu dari tadi dipanggil gak ada orangnya".... (Yo wis lah pak, karep-karepmu).

Setelah itu, di loket yang satu ruangan dengan BRI, gue diberi formulir dengan pesan sponsor: "Apa ibu bisa isi sendiri? Atau mau diisikan?"  ... Wealahh... lagu lama...

Setelah isi formulir dan bayar resmi Rp. 80.000,- di loket. Kemudian menyerahkan berkas ke pintu 3, dan diberi nomor antrian untuk menunggu foto. Sambil menunggu, gue foto-foto:



Lagi enaknya foto-foto, gue ditegur petugas di loket formulir, "Ibu, jangan foto-foto"
Me (belagak tolol): "Loh, kenapa, Pak, kok gak boleh foto-foto"
P: "Ya, disini kan ada pimpinannya, gak enak aja kalo ada yang foto-foto gak ijin pimpinan"
Hih.. Orba banget deh....!!

Saat dipanggil untuk foto, langsung tanda tangan sambil mengantri. Saat duduk difoto, serahkan tanda tangan di kertas putih. Untung gue minta cek nama. Nama gue kehilangan N 1, jadilah harus kembali ke pintu 3 untuk perbaikan berkas. Kemudian ke antrian foto.

Setelah difoto, menunggu 10 menit, nama dipanggil di pendopo, SIM kita dapatkan. HOREEE!!! Akhirnya resmi warga Kabupaten Bogor.


Total waktu: 2 jam (proses bolak balik dan menunggu sepertinya didesign supaya orang kelelahan dan kehilangan kesabaran)

Biaya: Rp. 30.000 (asuransi) + Rp. 20.000 (kesehatan) + Rp. 80.000,- (perpanjangan SIM) = Rp. 130.000,-

Well... I imagine... this is bearable.... Saat gue udah kepala 4, I do everything myself, at least once....

Untuk yang mau membuat SIM baru... bisa lihat link ini... https://jbkderry.wordpress.com/2014/11/02/pengalaman-tips-urus-perpanjangan-sim/ .. Kalo menurut penulis blog itu, mending bikin baru. Tapi kalo pengalaman gue, mending mutasi dan perpanjang.  Di blog tersebut juga ada video tentang ujian praktek yang disorakin banyak orang itu.