Minggu, 13 Desember 2015

Swasembada Beras

Sebulan lalu, saat Boss Romusha bilang: "We will have meeting with rice producer", saya pikir ini hanyalah high level meeting dengan manusia-manusia Jepang rapi yang berjas dan wira-wiri dengan kendaraan Jepang pribadi dengan sopir pribumi yang membungkuk-bungkuk seperti biasanya meeting dengan kaum romusha yang lain.

Pemikiran itu seketika dipatahkan saat seorang gadis imut menyapa Boss Romusha dalam bahasa Jepang yang kedengaran seperti orang merepet lirih di akhir kalimat.

Dengan celana panjang khaki, dan topi explorer warna senada, sepatu boot, membawa gembolan satu tas besar, satu hand bag, dan 1 tas tenteng dari kertas, dia terlihat tenggelam dalam barang-barang bawaannya.

"Maaf, saya terlambat," katanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. "Saya dari Subang naik bis jurusan Kuningan-Bekasi. Berhenti di Bekasi Utara. Naik taksi ke sini dari Bekasi Utara".  Sambil sibuk mengaduk-aduk tas, mencari kartu nama untuk diberikan kepadaku.

I love listening to the way she said 'Bekasi' in such a way that it sounds like Japanese word: 'Bukashi'. And I love the fact that she's not the corporate type with sleek suite, and hard headed negotiation skill.

Sesuai dengan arahan dari meeting di head office sehari sebelumnya, mulailah aku menanyakan pertanyaan yang sudah aku tuliskan dalam buku saya.

Berapa lama perusahaan berdiri, berapa luas tanahnya, berapa banyak sekali panen, setahun panen berapa kali, di mana saja areal tanamnya.

Kemudian dia mulai bernarasi dengan mata berbinar dan pipi pink dengan pori lembab sisa perjalanan di bus tadi: "Saya sudah di Indonesia 1.5 tahun. Perusahaan Japonica Rice sudah berjalan 4 tahun. Tanah kita yang milik sendiri 3-4 hektar. Tetapi kita juga bekerja sama dengan 6-7 orang petani plasma dengan total luas tanah 30-40 hektar."

"Area kita di Karawang hingga Subang. Serta 1 plasma di Puncak-Cianjur. Di Subang tanah kita dekat dengan BB Padi."

Dalam hati, what the heck is BB Padi. Segera sambil browsing di Asus ini, BB Padi ternyata adalah laboratorium milik Kementrian Pertanian yang meneliti tentang padi, lokasinya di Desa Sukamandi, Subang. Woh... gue nih, makan nasi tiap hari, tapi gak tau informasi seperti ini.

Gue iseng menyelingi dengan pertanyaan, apakah memang mereka sengaja mendekatkan diri dengan laboratorium milik, istilah dia, 'Ministry of Agriculture'?  Dan dia menjelaskan bahwa awalnya mereka juga tidak tahu ada laboratorium pemerintah di sana. Belakangan mereka baru tahu, dan saat ini mereka mengusahakan sinergi dengan BB Padi.

Awalnya adalah 1 cowo Jepang yang relatif masih muda, yang mau menanam beras Jepang di Indonesia (talk about penjajahan budaya), kemudian ada 1 petani (yang juga relatif masih muda) yang di Jepang sudah sukses dan punya lahan 100 hektar. Kemudian dia bergabung di dalam start up ini.






Di Jepang, kata gadis manis ini, dari tanam hingga panen dapat dilakukan dalam 1 bulan. Karena semuanya dilakukan dengan mesin. Di Indonesia 3-4 bulan karena manual. Si petani rekan mereka, akan pulang ke Jepang setiap November-Desember, menggarap sawah di Jepang sampai panen, kemudian kembali ke Indonesia, nenghabiskan 11 bulan hidupnya di sini, mengurus sawah dan mengajari petani lokal cara bercocok tanam.

Perusahaan ini menyediakan bibit, mengajarkan cara bercocok tanam, dan akan mengambil semua hasil panen dari petani plasma, serta menjualnya ke salah satu supermarket Jepang terkemuka di ibu kota, yang juga mempunyai beberapa cabang di kota-kota besar. Sebagai imbalannya, para petani plasma mendapatkan harga jual yang lebih tinggi daripada lokal.

To my surprise, dia bilang: "Iklim di Indonesia ini susah dikontrol.... Padi membutuhkan air banyak saat awal tanam dan membutuhkan air sedikir saat akhir tanam". Entah kenapa, gue jadi inget sawah gue di Farmville yang udah lama gue tinggal, karena Julian jadi sebel kalo gue main Farmville dan takut ketinggalan panen, keburu busuk tanamannya.

"Di Jepang, kita menanam diakhir musim gugur dan panen di awal musim dingin. Sehingga iklim dan air terkontrol. Di Indonesia, dengan hawa lembab dan curah hujan tidak menentu, sangat susah untuk menanam seperti di Jepang. Apalagi kalau sering hujan dan lembab. Banyak hama dan jamur menyerang."

Barulah gue tau, bahwa antara Karawang-Subang dengan Puncak-Cianjur pun, ada perbedaan iklim dan Karawang-Subang lebih favorable untuk menanam padi karena lebih jarang hujan daripada Puncak-Cianjur yang lebih sering terserang hama dan jamur.

Kemudian teringat bahwa pasca 1998 banyak saluran irigasi yang rusak, bertanyalah gue tentang irigasi. Dia menjawab: "Yes, we do have 'ulu-ulu'".

Boss Romusha dan gue sama2 bertanya: "What's Ulu-ulu?"..


Ternyata yang dimaksud itu "URU-URU" alias sistem pengairan di tanah pasundan, mirip seperti "Subak" di Bali.

Pendek kata, 2 jam bersama gadis manis yang mengabdikan hidupnya untuk mengajari petani lokal untuk bercocok tanam dengan cara modern ini, meruntuhkan kepercayaan diri gue tentang seberapa paham gue dengan asal muasal beras, yang setiap hari gue makan.

Dan lebih menohok lagi, bahwa yang lebih paham, yang lebih concern, yang lebih paham dengan kesinambungan sumber pangan kita, serta motor-motor kecil dari upaya swasembada pangan, terutama beras - makanan pokok kita, adalah orang asing.

Salah satu tujuan mereka adalah: memunculkan adanya "farmers' pride", kebanggaan sebagai petani. Dan ini exactly yang negara ini gak punya.  Petani dianggap sebagai simbol keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan.

Lihat saja, berapa banyak sawah yang akhirnya dikonversi menjadi pabrik atau perumahan karena generasi berikutnya menolak menjadi petani, dan lebih bangga menjadi buruh dengan UMP yang setahun beberapa kali dipaksa demo menuntut kenaikan upah. 

Berapa banyak lulusan IPB yang akhirnya benar-benar mengabdikan ilmu pertaniannya, alih-alih menjadi RI1 dan membuat album lagu #hoalahhhh.

Sampai kapan negara ini bisa swasembada beras, sedangkan lahan tanam makin lama makin sedikit, adapun hasil panen per hektar tidak makin meningkat.

Wallahualam bissawab... tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Cibubur, 13 Desember 2015

*semua foto adalah hak milik dari Taiyo Japonica Rice dari Company Profile.

Sabtu, 12 Desember 2015

Online Shop

Dalam rangka Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), gue ingin mengulas sedikit mengenai pengalaman gue jual-beli secara online.

Untuk belanja online, awalnya gue belanja di Rakuten untuk pensil alis Etude yang harganya murmer. Kemudian merambah ke Tokopedia untuk pembelian concealer, highlighter and contouring stick, lip cream, hingga pensil alis.

Adapun di blibli.com, gue belanja tiket konser, dari Richard Clayderman hingga Bon Jovi (bisa nyicil pula - - maklum... kelas menengah ngehe setengah baya dari jaman MTV yang berusaha kekinian).

Lain lagi dengan pembelian tiket pesawat dan hotel, tadinya gue booking sporadis dari citilink.co.id, dll sampai akhirnya gue memutuskan untuk berkonsentrasi di traveloka. Dan so far puas sekali.

Suami beberapa kali beli di Lazada, baik untuk HP sampai asesoris untuk sepedaan.

Selain dari situs belanja online, gue juga udah nyoba ke situs e-commerce brand tertentu, seperti http://mandukaindonesia.com untuk memesan yoga mat. Atau pesan buku dari online book store.

So far pengalaman kita sih ok semua. Belum pernah beli gak dikirim. Mentok-mentoknya itu ngirimnya bentar, atau lama.

Selain belanja online, gue juga suka jualan online. Awalnya gue jualan barang-barang baby ex-anak-anak di OLX. Car seat dan baby box. Pertimbangannya, karena anak-anak udah besar dan kita gak mungkin punya anak lagi sejak histerektomi tahun lalu. Daripada barang-barang besar itu ngendon di rumah, gue berinisiatif untuk menjualnya.

Setelah itu, gue udh jualan TV Flat Panasonic 29" yang beratnya seperti ngangkut bangke kebo (gue belom pernah sih), sepeda anak-anak, iPhone6 16MB, Lenovo A316i dan terakhir gitar klasik bekas Jonathan.

Saking semua gue jual online, Julian sering bilang, cuma suami yang gue belom jual di OLX. Padahal gue juga gak pernah nawarin anak-anak di OLX, sih. Suwer!!!

Ada kebahagiaan saat dipanggil Agan atau Gan oleh calon-calon pembeli. Beberapa memanggil Bapak. Gue merasa sangat powerful. Bahkan lebih bergengsi dipanggil Agan daripada Boss. Boss itu hanya mengingatkan gue pada tukang parkir pinggir jalan yang minta tips lebih. (Cih!!!).

Kebahagiaan luar biasa lain adalah melihat benda-benda yang (di rumah kita) sudah tidak berguna lagi, menjadi benda-benda yang diidam-idamkan di keluarga lain.

Gue melihat ayah yang berbinar-binar mendapatkan car seat yang dipergunakan ketiga anakku tersayang untuk bayi pertamanya. Ibu yang girang mendapat box baby lengkap dengan kasur busanya yang dahulu dipakai ketiga buah hatiku.

Gue melihat mata berbinar anak 4 tahun mendapat sepeda Wim Cycle bekas ketiga anak. Seorang ayah yang memohon menawar untuk anaknya yang pengen sepeda BMX rem torpedo warna biru.

Gue melihat senyum lebar suami yang mendapatkan HP Lenovo untuk istri reecinta supaya bisa mudah dihubungi.  Dan hari ini, kelegaan seorang ayah nendaparkan gitar untuk kegiatan sekolah anak SMPnya.



Online shop buat gue, lebih dari sekedar cara mendapat uang, atau membuang barang yang tidak lagi terpakai.

Online shop adalah titik kulminasi pengejawantahan cinta dari orang-orang biasa dengan kasih yang luar biasa.

Cibubur, 12-12-2015