Sabtu, 05 November 2016

Airmata untuk AnakBangsa

Pasca demo 4 November dan ketegangan suasana politik sekitarnya, dan mudahnya akses terhadap berita membuat anak-anakku bertanya-tanya 'Apa yang sebenarnya terjadi?', yang tidak mudah dijelaskan karena banyak logical fallacy di dalamnya.

Ucapan Ahokkah biangnya? Pelintiran editan Sang Penghasut Buni Yani kah? Kebencian di alam bawah sadar kaum pribumi terhadap Cina kah? Politikkah? Atau memang agenda-agenda agama mayoritas untuk menjadi single supremacy dan mayoritas tunggal satu-satunya yang menguasai seantero negeri?

Lepas dari apa yang sesungguhnya terjadi, yang bahkan sampai saat ini saya yakin, yang kita lihat dari sisi elit politik maupun massa grassroot, hanyalah 'the tip of the iceberg'.

Pergolakan antar elit, dan kebencian lama di massa grassroot menurut gue ujung-ujungnya duit utk para sutradara di balik layar dan pentolan massa. Sisanya tinggal dibuat menari sesuai dengan gendang para pemain gelap ini.

Jo sempat bertanya "Apakah benar ada Ustad yang akan bayar 1M bila ada yang bisa bunuh Ahok?"

Pertanyaan berikutnya dari Adel tentang "sweeping terhadap Cina".

Terakhir kepolosan Greg yang bertanya "Kenapa orang-orang itu demo?" Yang gak bisa aku jawab karena sampai detik ini saya juga nggak ngerti tuntutannya apa.

Dan sehari setelah hajat keramaian yang katanya bernilai 100 Milyar proyek Sang Mantan tersebut, anak-anak gue hidup dengan realita baru di Indonesia. Bahwa sesama anakbangsa (yang mereka kira) baik, suatu hari akan berteriak kalap dan menyerang mereka, hanya karena mereka Cina.

Terlontar polos dari bibir mungil Greg "Oh man... aku nanti mau tinggal di Jerman aja", thinking bahwa yang akan dia hadapi nanti, adalah AnakBangsa yang tanpa alasan akan menyerang Cina.

Malam ini, airmata mengalir deras menangisi sekaratnya kepercayaan di hati anak-anakku bahwa semua AnakBangsa sama derajatnya di mata negara. Matinya optimisme kebangsaan yang berkebhinnekaan di dalam hati anak-anakku.

Bukankah anak-anakku juga layak disebut AnakBangsa walaupun kita Cina?

Cibubur, 5 November 2016.

2 komentar:

canman mengatakan...

Maaf sebelumnya kalau saya hendak berkomentar sedikit mengenai matinya kebangsaan anak anda. Hal itu sudah saya rasakan 18 tahun yg lalu ketika pecah kejadian yang melebihi kekejian binatang didepan mata hanya karena kita berbeda kulit. Sungguh tidak menyangka bahwa 18 tahun kemudian hal yang sama masih terjadi meski dalam skala yg lebih kecil.

Bukan hal yang salah kadang kalau etnis cina di Indonesia hanyalah anak haram yang tidak akan pernah diakui sebagai warga negara. Kebhinekaan itu memang ada untuk semua etnis kecuali etnis cina. Maaf apabila ada kata kata saya ada yg salah.

Zulfian Prasetyo mengatakan...

Mbak Sienny, saya turut bersimpati atas kesedihan Anda. Menurut saya, Anda tetap setia saja dengan kebhinnekaan kita. Sebagai muslim, saya juga turut berdoa agar Tuhan saya, Allah subhanahu wa ta'ala, memberikan kedamaian tidak hanya bagi sesama muslim, namun umat beragama lain di Indonesia.

Kalau berkenan, saya hendak mengangkat tulisan ini di Selasar. Bolehkah, mbak?