Kamis, 18 Desember 2014

Saat Anak Menyikapi Perbedaan

Anak-anak adalah pengamat ulung.  Saat kecil,  mereka mengamati dan menirukan apa yang mereka tiru.  Saat remaja,  mereka mengamati dan mengolah itu menjadi lelucon atau kritikan.

Di Indonesia,  negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,  mau tidak mau anak-anak akan bersinggungan dan bersentuhan dengan nuansa Islami. Terlebih menjelang hari raya Idul Fitri,  di mana semua iklan di Tv dan radio,  menjadi bernafaskan Islami dan berirama gambus.

Waktu anak-anak masih kecil,  dengan cerianya mereka ikut menyanyi "Sholatullah ..  Sholamullah ... Dst"  yang memang nadanya ear-catching bahkan untuk kita yang biasa.  Atau melantunkan adzan seperti di TV atau radio tiap maghrib " Allahu Akbar.... Allahu Akbar.... Dst" ...  Bahkan bungsu ku sangat suka dengan pelafalan sengau di bagian "Asyhadu Allaa Ilaaha.. Dst".

Hal ini kadang-kadang disikapi reaktif oleh orang tua dari agama minoritas yang takut anaknya terpengaruh menjadi kurang beragama terhadap agamanya sendiri. Padahal kita tau,  anak-anak ini masih seperti monyet.  Monkey see,  monkey do.  Tapi mereka gak mengerti maknanya.

Wong saya sendiri waktu kecil suka banget menirukan apapun yang terdengar dari loudspeaker langgar kampung belakang rumah.  Yang menarik bagi saya adalah saat puasa orang tidak putus menyanyikan "Allah humma salli ‘ala Muhammad... Dst".  Bahkan saya dan kakak saya berlomba menghafalkan dan turut menyanyikan shalawat tersebut, tanpa tahu maknanya.

Yang menyedihkan adalah setiap kali kita bepergian naik mobil,  dihampir setiap jalan non arteri,  ada segerombolan orang yang membawa jaring atau kotak untuk 'pembangunan masjid'.  Dulu di sekitar Senen,  setiap ke kantor selalu ada orang yang meminta sumbangan,  sampai sopir taksi yang saat itu saya tumpangi  bilang "Ini mbangun masjid,  sudah 5 tahun kaga kelar-kelar masjidnya" 

Hal inipun gak luput dari pengamatan anak-anak.  Sulungku sampai bisa menirukan doa dan ucapan yang dia dengar saat melintas di antara pencari dana ini "Terima kasih amalnya, Bapak Ibu Saudara-saudara, semoga Allah membalasnya, selamat melanjutkan perjalanan dan aktifitas" yang diucapkan berulang-ulang dengan kecepatan shinkansen sampai tiap suku katanya terdengar tumpang tindih.

Gue harap lain kali ada model pencarian dana yang lebih elegan dan aman daripada menaruh anak-anak dan para lanjut usia di tengah jalan untuk membawa jaring atau kotak amal.  Demi Indonesia yang lebih baik.

Demikian juga saat belakangan mulai trend burqa (entah trend entah apa,  karena dulu tahun 80-90an saya gak pernah lihat yang begini).  Pemakai burqa  berkerudung dan berpakaian  panjang ke lantai berwarna hitam dan wajah tertutup cadar hitam pula,  sehingga hanya terlihat bagian mata.  Beberapa yang ekstrim,  bagian mata pun bercadar kain yang lebih tipis. 

Menakutkan?  Iya.  Gue aja dalam hati kecil ada serem. Tapi karena saya harus bertoleransi,  ya saya berusaha bersikap biasa.  Minimal tidak melihat dengan mencolok (walaupun memang mencolok).

Pernah anak-anak saya menanyakan, kalo semua orang berpakaian tertutup,  bagaimana anaknya tau mana yang mamanya.  Saya juga gak bisa menjawab.  Wong saya juga gak tau  apakah harus diam,  mengalihkan pandangan,  atau boleh senyum.  Kalo pun setelah kita senyum dan dia senyum balik juga saya gak akan lihat,  wong ditutupi.

Tapi suatu hari, anak tetangga yang masih kecil yang melihat seperti itu,  langsung berteriak dengan gembira campur excited...  "Mama!  Ada Ninja Hattori!!"

#Lahhh....

Selasa, 09 Desember 2014

Mati Konyol ala Indonesia

Nyaris tiap hari gue melewati tol Jagorawi.   namanya juga penghuni pinggiran Jakarta. Maklum, saking pinggirnya,  rumah gue udh masuk  Kabupaten Bogor.

Beberapa minggu ini,  ada beberapa kegiatan di pembatas jalan tol antara yang arah ke Bogor dan arah ke Jakarta.  Partisi yang dari besi diseling  bunga yang beberapa kali disruduk mobil (termasuk salah satunya mobil anak Ahmad Dhani),  diganti beton.

Suami spontan bilang: kok diganti beton sih?  Kan lebih bahaya?  Dalam artian,  bila ada kecelakaan yang menghantam pembatas jalan,  impactnya akan lebih fatal.

Reasoning saya: daripada kecelakaan di satu arah yang melompat ke arah sebaliknya (seperti kasus anak Ahmad Dhani)  dan menyebabkan mobil dari arah sebaliknya menjadi korban,  mungkin sekalian aja,  mati sendiri yg nyeruduk.  Mungkin gitu logikanya.  Entah.

Selain itu,  proses pembuatan beton setinggi ~1  meter itu dilakukan manual,  siang hari,  dengan pengamanan sangat minim kalo bisa dibilang gak ada. Pengaman para tukang ini hanyalah cone orange yang dipindah2kan mereka sendiri. Karena mereka mengerjakan dengan arah menuju Jakarta.  One slab at a time.

Adapun jalan masih dibuka 3 lajur,  cuma di beberapa lokasi yang diberi cone menjadi 2.5 lajur. Dan mobil-mobil tetap melaju dengan kecepatan tinggi,  sambil banting setir ke kiri kalau melihat cone.

Baru sadar,  memang nyawa warga negara Indonesia nyaris gak ada harganya,  kalau kalian orang biasa-biasa.  Lihat bedanya sangat jauh dengan pejabat menengah atau orang kaya yang ogah kena macet dan menyewa voorrijder untuk mengamankan jalur bepergiannya.  Sungguh ironis.

Apakah karena peribahasa "Mati satu tumbuh seribu",  "Esa Hilang Dua Terbilang",  makanya mati murah marak dimana-mana?  Walahualam.