Kamis, 29 Juni 2017

Catatan Perjalanan yang Tertunda - Fushimi Inari Taisho

Salah satu lokasi yang menjadi bucket list gue adalah Fushimi Inari Taisha, salah satu Shinto shrine yang paling photogenic dengan warna orange terangnya.

Saat ada kesempatan dari kantor untuk berangkat ke Osaka, dan waktu find out bahwa Kyoto hanya 1 jam perjalanan naik kereta ke Kyoto, aku merasa bahwa Fushimi Inari is a MUST.

Dan Kyoto adalah hari ke 2 setelah kedatangan. Sengaja berangkat rada pagian (dengan catatan belom sarapan). beruntung karena lokasi hotel ada di JR Osaka Station sehingga tinggal walking distance ke Hankyu Umeda Station yang terletak persis di seberangnya.

Sebetulnya bila kita gape dengan network di kolong stasiun itu, kita bisa pindah dari stasiun ke stasiun tanpa keluar dari gedung. Jadi pakai labirin bawah tanah. Tapi itu nanti aku jelasin di blog tersendiri ya.

Hankyu line ini memang perusahaan Kereta Api yang sangat kuat untuk jalur Kansai Osaka - Kyoto. Bahkan setengah perjalanan, pemandangan keluar jendela adalah Stasiun sekaligus depo Hankyu Railway. Seru lihatnya.

Stasiun terdekat dengan Fushimi Inari ada 2: Fushimi Inari Sta milik Hankyu Railway dan JR Inari milik Japan Railway. JR Inari lebih besar dan punya akses jalan masuk pintu utama ke Fushimi Inari, dimana banyak orang berfoto dengan background big torii dan main shrine-nya. Fushimi Inari Station lebih kecil dan melalui jalan-jalan kecil termasuk akses samping ke kompleks Fushimi Inari, dimana sepanjang perjalanan pada jualan makanan yang yummy yum yum...


Main Shrine dan Big Torii Gate

pedagang makanan sepanjang jalan sekitar Fushimi Inari

Mochi yang kenyal2 dan lembut banget... maknyussss

Mau lewat mana, sama aja, dan karena aku pikir lebih dekat, aku berhenti di Fushimi Inari Station, melewati stand makanan. Pulangnya karena akan ke Arashiyama (Bamboo Path) baru melewati JR Inari.

Karena datang kepagian, pedagang makanan belom pada buka (disitu kadang aku merasa sedih). Padahal turis sudah ramai. Banyak anak-anak sekolah dengan guru atau pimpinan groupnya yang cantik pakai jas dan topi kecil membawa bendera. Persis seperti di anime.

Anyway... karena aku datang sendirian dan gak ada yang menjelaskan, maka I have moral responsibility to explain now, jadi orang-orang yang jalan sendirian gak salah jalan.

Pertama, sebelum memasuki area shrine, ada  pancuran tempat air. Itu lokasi bilas. Semacam air suci kalau di Katolik, sebelum masuk Gereja. Atau wudhu buat umat Muslim. Cucilah tangan di sana... dengan aturan sebagai berikut:
1. Ambil air dengan gayung panjang pakai tangan kanan dari pancuran, siram ke tangan kiri.
2. Ambil air dengan gayung panjang pakai tangan kiri dari pancuran, siram ke tangan kanan.
3. Dengan tangan kiri, tuangkan air dari gayung ke tangan kanan, bilas mulut (jangan kumur, gak sopan)
4. Ambil air di gayung, tuang ke arah pergelangan tangan untuk membilas gagang gayung yang tadi kita pegang.

tempat membilas tangan dan mulut di depan Fushimi Inari


Iya... segitu complicatednya... dan itu baru pembukaan... *sudah berasa mau nangis belom?*

Biasa setelah itu, kita menuju main shrine yang terletak di belakang bangunan terbesar di lokasi tersebut. Di dalamnya terdapat dewa-dewa Shinto. yang harus kita lakukan adalah sebagai berikut:
1. Membungkuk dalam (90 derajat) 1x
2. Bertepuk tangan 2x
3. Berdoa
4. Bertepuk tangan 2x
5. Membunyikan lonceng dengan menarik tali
6. Membungkuk dalam 1x untuk mengakhiri doa.

main shrine dengan deretan lonceng di tepian langit-langitnya


Tapi karena gue gak sealiran dengan Shinto, gue cukup puas melihat orang-orang membunyikan lonceng (some are purely due to curiosity dan bukan karena berdoa).

Di samping kanan main shrine ini ada smaller shrines yang juga dipakai untuk berdoa. Dan di sini, tema utamanya adalah gantungan tali warna-warni.

Tali-tali yang berisi ujub doa

smaller shrine

Saat aku datang, ada 1 bale mirip panggung yang dipakai untuk upacara. Upacaranya itu adalah seorang wanita menari dengan pakaian tradisional dengan wajah diputihkan. Lagunya dengan tabuhan tradisional, gendang, seruling, dan perkusi lainnya. Tapi ada bagian keamanan yang memastikan pengunjung yang menonton tidak bersuara dan tidak mengambil foto.

Kemudian dengan rasa penasaran tinggi untuk menemukan rows of torii gate segera aku berkeliling sekitar area main shrine, dan menemukan patung anjing yang menjaga kuil (belakangan baru tahu kali itu teh FOX alias rubah... lain anjing). Rubah itu binatang yang dipercaya menjaga beberapa shrines di Jepang, simbol kecil tapi cerdas dan lincah.

Rubah penjaga kuil

Dan sebelum ke belakang kita melewati area dimana kita bisa memberikan sumbangan dengan mendapatkan berbagai material untuk ujub doa, papan kayu yang bisa ditulis-tulis, atau ramalan kertas yang kalau jelek bisa diikat-ikat ke tali-tali yang disiapkan di sana. Dan semuanya gak ada yang jagain. Mungkin dianggap uang receh kali ya.

lokasi ujub dan sumbangan

Ada lagi yang berupa loket-loket, tetapi karena ada tulisannya No Photo... ya nggak berani foto... daripada kena deportasi.

Semakin berjalan ke atas, ada banyak shrines kecil dalam perjalanan menuju torii gate. Modelnya lucu-lucu dengan 1 warna tema: orange menyala.


beraneka kuil kecil sepanjang setapak

Sampai akhirnya.... VOILA!!!

deretan torii gate pertama yang penuh karena turis pada mau foto di sini... 

Penuhnyaaa.. sampe umpel-umpelan... sumpah, gak ada bagus-bagusnya selain toriinya besar-besar sehingga terlihat gagah, tapi cat sudah pudar.

bagaimana mau foto bagus coba... udah mau nangis liatnya


Syukurlah umpel-umpelan ini hanya berakhir di pelataran berikutnya dimana ada berbagai object foto yang menarik, yaitu permohonan yang ditulis di kayu berbentuk wajah rubah...

Dan seperti biasa... dengan "tenaga bulan" orang-orang Jepang bisa membuat dia sebagai display gambar anime yang menarik.


Di pelataran ini juga ada batu bertuah di salah satu ujungnya. Anak-anak dengan seragam sekolah berbaris rapi dan bergantian berusaha mengangkat batu, dipercaya yang bisa mengangkat batu akan tercapai cita-citanya. So far aku tungguin 5 menit sih, semua anak bisa mengangkat batu (tentunya dengan berdoa sebelumnya, mungkin seperti make a wish sebelum tiup lilin, gitu).

ritual mengangkat batu

Nah.. barulah setelah pelataran ini... kita benar-benar menuju rangkaian torii gate. Kira-kira begini petanya:

peta lengkap torii gate

Diperkirakan apabila mau mengikuti napak tilas seluruh rangkaian gerbang bambu ini, membutuhkan waktu 2-3 jam. Karena memang tidak terlalu full acara hari itu, dan Fushimi Inari bagaikan memanggil jiwaku untuk datang, maka aku putuskan, aku akan coba jalan sekuatnya, 

Jalan setapak yang tadinya masih penuh manusia, perlahan menjadi lebih longgar. Rupanya rata-rata turis berhenti sampai pelataran itu. Jadi saat naik ke atas, hawa lebih dingin, orang lebih sedikit sehingga mudah sekali menemukan spot sempurna untuk berfoto. Rata-rata yang naik ke atas selain turis bule adalah orang Jepang sendiri. Atau fotografer dengan kamera DSLR lengkap dengan tripod. 

Di sepanjang jalan setapak ini, kita bisa mendengarkan kicauan burung-burung, air mengalir dari puncak Gunung Inari, hingga puluhan shrine kecil yang bertebaran di punggung gunung Inari ini, termasuk kuburan, pemujaan kecil, kuil yang membutuhkan kita untuk keluar dari jalan setapak utama (yang gak berani gue lakukan karena takut nyasar).

pemandangan menuju ke puncak

pemandangan turun dari puncak


Dan.. tips untuk spot foto terbaik adalah dari atas turun ke bawah. Karena dari atas itulah tulisan di bilah bambu itu terlihat jelas. Tulisan tersebut adalah nama penyumbang / donatur dari pembangunan Fushimi Inari shrine. 

Jadi ingat dalam kepercayaan kuno, termasuk animisme dan dinamisme, gunung atau tempat tinggi dianggap sebagai tempat tinggal dewa-dewa atau kekuatan ynag lebih tinggi daripada kekuatan manusia. Jadilah tempat persembahan, atau tempat sembah hyang (sembahyang), diletakkan di tempat yang dianggap paling suci, sebagian besar di puncak-puncak gunung. 

Mungkin atas dasar itu pula, tulisan donatur torii gate juga ditulis menghadap ke puncak, supaya dewa-dewa bisa membaca siapa yang menyumbang, sehingga bisa melimpahkan berkat secara tepat. Atau juga karena adat ketimuran yang membuat kita enggan pamer bahkan saat banget pengen pamer, sehingga nama ditulis besar-besar tapi di belakang. Semacam humble brag gitu.

If you ask me how far I go... jawabannya "Not that far"... Baru perhentian ke dua. sudah lewat dari Danau yang ada di perhentian pertama, tapi masih jauhhhh dari puncak. Udah cape. Selain itu, perhentian kedua ini adalah perhentian terakhir dimana masih ada short-cut ke bawah. Di perhentian berikutnya, lanjut sampai ke puncak. May be next time. 

Dan jalan turun dari perhentian kedua ini sangat menarik karena melewati sisi yang berbeda, yaitu perumahan penduduk sekitar. Lengkap dengan tempat doa kecil sepanjang jalan. Disini juga terlihat, kepercayaan mereka itu mixed antara Shinto dan Buddhist, karena ada beberapa patung-patung Buddha bahkan Dewi Kwan Im (Avalokiteswara).

beberapa shrine dalam perjalanan turun lewat perumahan

jalan setapak dalam perjalanan turun

suspected patung Dewi Kwan Im

suspected patung Dewi Kwan Im

I grew up in Buddhist family, and my Mom is Kwan Im worshipper, bahkan Mama has been avoiding beef for a long-long time. I know that there are many forms of Goddes of Mercy. Mirip-mirip Bunda Maria bagi orang Katolik.  Dan di Jepang ini, semua patung Dewi Kwan Im nya ini menggendong bayi. 

Mungkin ini menggambarkan kerinduan masyarakat Jepang terutama kaum seniornya, akan datangnya keturunan atau bayi di keluarganya. Hal ini mengingat kaum muda di Jepang jarang yang mau menikah dan punya anak, dan lebih jarang lagi yang religius. Mungkin.

Anyway, mengunjungi Fushimi Inari itu bagaikan membaca denyut hidup masyarakat Jepang, kepercayaan mereka, kekhawatiran mereka, harapan mereka, cinta mereka. Semua bergelut menjadi satu. Di Inari. 

Late post from visit 23 Mei 2017


Rabu, 24 Mei 2017

Living Life at Universal Studio Japan - Osaka

Theme park always awaken the child inside you. Be it Dunia Fantasi (Dufan) in Jakarta, Universal Studio Singapore, Hong Kong Disneyland, etc. The list can go on forever with newly added venues that invade Asia.

From Disneyland Anaheim- California, Disney World Orlando - Florida, Dream World and Warner Bros at Gold Coast Australia, Six Flags Great America at Illinois, to Hong Kong Disneyland and Universal Studio Singapore, the common language for the rides and shows are English.

Not the case of Universal Studio Japan (USJ). The main language is Japanese. And the subtitles are only available in Minion Mayheim rides. So understanding the storyline is a challenge.

But anyway, you can always enjoy the rides, right? Plus, they have Wizarding World of Harry Potter!!! And Butterbeer!!

But bringing kids to theme park could be a stressing job. There are rides that requires minimum height (for safety). there are possibilites that the child has to be attended all the time while parents whats to ride. There are these long queue that people are solemnly follow. There are these long walk outdoor that might cause the sweetest child cranky.

My review here is so that you can prepare yourself and your kid(s) for getting the most out of your (damn) expensive ticket (at least for average Indonesian).

But if you hate spoilers, STOP READING HERE, and you might leave this blog, or read my other notes.

So here we go...

1. Language:
As I mention previously, Japanese is it. And no subtitles. They should have at least put English subtitles, in my opinion. In one walkthrough, they have Japanese with Japanese subtitles, possible for the hearing impaired: in Backdraft, as far as I remember.

2. Food & Drinks:
There are plenty options with (of course) soaring high price. But as a gullible first day tourist in Japan, I pay whatever they want me to pay. 

Food from outside are not allowed, although I saw one Indian family that I queue together in Minion Mayheim are actually brings 20L cooler box in a small trolley.

So make sure you eat something before you enter. But not too full that it will cause you stomachache during the extreem rides.

3. Single rider:
While most Indonesian are afraid to be called jomblo, single is good in USJ. Singel rider means you can queue much shorter, and be ready to be paired with whomever, not that it matters for me.

So i got this gentleman with tidy shirt that looks like he's ready to go to work, I got a boy that seemingly like a school children running from classes, I got granny with her attendee.

4. Child switch:
Parents with children that has to ne attended can queue together and take turn one going on a ride and one waiting for the children without re-queueing. Ask the attendance (and hope they understand english)

5. Lockers:
Most of the rides are OK with you bringing  your whole closets (naaah.. I'm exaggerating)... Yet some rides requires you to be free of your carry-ons.
They have paid lockers at the entrance of USJ and some otherplaces. But the best way is to bring your stuffs until it is absolute necessary.

Hollywood the Rides, for example, provides box on the platform that you can put your belongings. And it is safe.

Flight of the Dinosaurs and Wizarding World of Harry Potter, on the other hand, provide lockers for free (¥100 deposit for Flight of the Dinosaurs - returnable).

They should have made a charge card that can just be tap like ICOCA card so that we can put everything in it while running for the rides. Ah.. i think too far.

6. Walking:
Well... i guess walking is way of life for most of your stay in Japan anyway. So walk.  You can get park map at the entrance or get some ideas here: https://www.usj.co.jp/e/common/studiomap.html

Plan ahead, if you are OCD type. Or don't plan if you're carefree type.

7. Express Pass:
It depends on how ambitious you are as a theme park guest. Typically you can have 5-6 rides without Express Pass, from morning to evening.

Some of the rides are really queueing like crazy. But some are rather light. Also morning to afternoon is the heaviest queue. Approaching closing time not many people left. But some attractions are closed already.

If you're the faint-hearted one, you can still enjoy street performances and performances inside the theatre. Or just come to Hogsmead for the Butterbeer.

Like me, because I went alone and I want to try everything, with Express Pass 7 and Single Riders, I can get to experience 12 attractions. Including 2 special rides from Universal Cool Japan: Evangelion XR and Godzilla 2D/3D.


These are reviews of 12 attractions that I went on Monday, 22 May 2017:

1. Minion Mayhem:
4D rides with lots of special effect (no rail)
Bags can be brought and left beside the pod
Crazy queues with lots of kids
Brand new attraction at USJ.

2. Backdraft:
Fire show
Almost no queue when I arrived
Walk through different chambers. Each with increased suspense.
Try to stay at the lowest row, because it is the front part and best viewed on latter chambers.
No translation at all

3. Jurassic Park - the Ride:
Long queue
Combination between indoor and outdoor ride.
Soaking wet prepare raincoat.
Similar to niagara-gara with unpredictable ending.
A friend said this Ride is even better than the one in California.

4. Terminator 2:
3D show + real performance
With 3D glasses
Interesting opening with a girl that acts very well.
The whole show without translation
Suitable for kids.

5. Holywood: The Ride / Backride
Long queue
Fun outdoor roller coaster
Try it backwards at backride
I think the Ride has more loop than backride

6. Harry Potter Forbidden Journey
Fun ride on pod of 4
Indoor roller coaster with open pod and 3D glasses
You can walk through the interior of Hogwarts School of Wizardry
They provide free locker inside.
Platform switch is a bit tricky as 1 platform moving and 1 stationer.
Dark

7. Flight of the hippogriff
Suitable for kids.
Easy roller coaster, outdoor.
No subtitle. In Japanese

8. The Jaws
Outdoor boat ride
No translation
Easy for kids
A bit wet
A bit fire show

9. Spiderman The Ride:
Basically we stay on the pod consist of 3 rows and 4 people each.
Indoor roller coaster, inside dark chamber and the rides includes spinning side to side with 3D glasses.
A little water splash, hot air.

10. Flying Dinosaurs:
Outdoor roller coaster rides
The most physically and mentally challenging. Similar to cylon but your back is hang on the top and your face is facing to the ground.
When the roller coaster drop basically your head is first.
They provide locker before the entrnace with 100¥ returnable deposit.
According to me, this is the best rides in USJ.

11. Universal cool Japan -  Evangelion XR Rides by Nerv
Interactive glasses with 360deg actual view (virtual reality goggles) that was connected to the pod.
Indoor mini roller coaster rides in pod of 2.

12. Universal Cool Japan - Godzilla 2-3D.
Movie 3D glasses
Interactive seats (wheelchair accessible)
Slight splashing
Suitable for kids.

May be one suggestions for Universal Studio Japan is to have English subtitles to all its rides. Hopefully.

Jumat, 28 April 2017

Wisata Flora Balai Kota Jakarta

Beberapa hari ini postingan foto, artikel, status tentang bunga untuk Ahok - Djarot memenuhi seluruh timeline dan feed social mediaku, membuatku melangkahkan kaki ke BalaiKota Jakarta, tempat semua hingar bingar berasal.

Karena hari ini aktifitas di Jakarta Pusat, dan kebetulan selesai cepat, maka setelah parkir di the Plaza, segera aku melangkahkan kaki ke Halte TransJakarta terdekat, which Google Maps menunjukkan Halte Bunderan HI.

Tapi karena tolah-toleh, halte Bunderan HI sudah raib karena konstruksi MRT, maka terpaksa aku berjalan melewati Japan Embassy dan construction site hingga di Halte Sarinah.

Jam 09.00, penumpang TransJakarta sudah berkurang. Masuk ke Halte menggunakan kartu e-money Mandiri maupun Flazz BCA hanya dipotong Rp. 3.500,- selama tidak keluar dari Halte.

Tiap TransJakarta yang lewat, petugas di dalamnya membawa papan bertuliskan tujuan akhir rute tersebut. Karena di Google Maps tertulis jurusan Pulogadung supaya bisa berhenti tepat di depan BalaiKota, maka mulailah proses bertanya-tanya.

Ternyata jurusan Pulogadung tidak berhenti di Halte Sarinah. Tetapi berhenti di Halte Monas. Lanjutlah aku naik TransJakarta ke Halte Monas sebelum akhirnya naik Halte jurusan Pulogadung.

Saat mengantri turun, ada seorang bapak difable yang dibantu petugas turun melalui platform gap yang lumayan besar sekitar 30-40cm. Lumayan menyusahkan bila kita memakai rok.

Yang memudahkan adalah, setiap stop, akan ada pengumuman suara mezzosopran Mbak-Mbak yang terdengar lumayan empuk di telinga.  Penyebutan nama halte dengan jelas memudahkan penumpang-penumpang yang belum biasa naik Transjakarta, supaya halte yang dituju tidak terlewatkan.

Sejak dari Bundaran Indosat atau Bundaran Thamrin sudah terlihat jajaran bunga papan yang ditujukan untuk Ahok dan Jarot. Bunga-bunga ini berjajar sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan.


Bukan hanya itu saja banyak sekali orang-orang yang lalu lalang dan masuk ke area BalaiKota termasuk ibu-ibu juga anak-anak sekolah. Benar-benar seperti tamasya. Semua yang datang pun kebanyakan bergerombol dan beramai-ramai.


Kali ini bukan kali pertama aku melewati balai kota. Setiap mendaftar visa untuk Amerika Serikat, kita selalu parkir di IRTI dan berjalan kaki ke Kedutaan Amerika Serikat, dan itu pasti melewati BalaiKota Jakarta.

Tetapi biasanya tidak pernah terbersit sedikitpun untuk melirik ke dalam BalaiKota apalagi mampir.

Hari ini terlihat jelas bahwa balaikota lah pusat pengunjung. Dan wajah-wajah yang hadir semua adalah wajah-wajah riang.

Sulit dipercaya bila yang hadir di balai kota adalah orang-orang yang merayakan kekalahan bukan Merayakan kemenangan.

Dan begitu turun dari halte busway balai kota kita disambut dengan jajaran bunga papan yang memenuhi kedua sisi jalan, baik yang di deretan Monas, maupun di deretan balaikota, juga di tengah jalur hijau.


Seperti biasa yang menarik pandangan kita adalah banyaknya orang-orang yang berfoto selfie di depan papan-papan bunga itu. Ada yang mencari papan bunga kirimannya ada juga yang berfoto di depan papan bunga yang kata-katanya lucu.

Bahkan ada tim yang sengaja berfoto di depan papan-papan yang tertulis dari luar negeri dan memang banyak.

Kata-kata yang lucu-lucu pun sepertinya hanya bisa dikarang oleh sekelas copywriter profesional.





Di tanah pendopo banyak orang mengantri untuk bisa berfoto di corner, yang pertama kali ketika melihat, aku pikir benar-benar ada ahok-djarot nya. Namun setelah dilihat lagi yang ada hanya boneka Ahok Djarot.

Orang ngantri dengan sabar dan tawakal untuk berfoto hanya dengan boneka dan mereka happy.



Diantara orang-orang banyak yang datang untuk berfoto dengan papan papan bunga itu ada beberapa ibu-ibu tua yang memunguti bunga-bunga segar dari papan papan yang mulai jelek. Mereka bisa mengumpulkan segenggam bunga bunga segar yang entah untuk apa.


Di sisi lain ada mobil mobil bak terbuka yang mengangkut papan papan bunga yang mulai rebah karena dibuat untuk semi permanen. Pihak security pun seakan sudah angkat tangan dengan jumlah massa yang datang.


Banyak juga tukang ojek yang mangkal di sekitar balai kota. Benar-benar kelihatan seperti pesta. Benar benar terasa bahwa rakyat merasa balaikota itu adalah rumah mereka.


Berbagai perasaan menyergap hati. Ada geli melihat tulisan-tulisan lucu. Ada haru melihat begitu banyak perhatian untuk Ahok Djarot sekaligus sedih dengan fakta bahwa ahok-djarot harus keluar dari Balai  kota.

Di sana aku menyadari bahwa Ahok sudah membuat ruang terbuka di Jakarta menjadi lebih ramah. Tidak ada rasa khawatir berjalan kaki di tepi jalan raya. Pedestrian tertata dengan rapi. Transportasi umum dengan Transjakarta membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Apalagi di hari panas, masuk ke Transjakarta yang dingin, maknyess sekali rasanya.



Sebagai anak dari keluarga kelas menengah yang dari kecil di brainwash bahwa ruang itu tidak aman, sehingga berjalan di ruang  terbuka dengan kendaraan umum itu menakutkan, pemerintah daerah berhasil mengubah pandangan itu.

Bahkan bila di luar negeri, aku merasa bahwa menjelajah kota yang terbaik itu adalah dengan jalan kaki dan dengan angkutan umum;  hari ini aku merasakan hal yang sama untuk kota Jakarta.

Dan kita melihat dengan kasat mata pembangunan infrastruktur masih berjalan terus. Setiap bulan ada hal-hal baru yang selesai dibangun dan mulai bisa dimanfaatkan.

Dorongan agar warga beralih ke kendaraan umum pun mulai nyata hasilnya. Kelas menengah tidak ragu-ragu naik TransJakarta karena kenyamanannya.

Di Thamrin, dalam perjalanan kembali memgambil kendaraan, ada Park and Ride seharga Rp. 5.000 / hari / mobil (bandingkan dengan tarif di mall yang Rp. 5000 / jam).


Kasarnya bila karyawan sekitar Thamrin / Sudirman memarkirkan kendaraan di lokasi ini, pengeluaran Parkir sebulan hanya 120.000 (asumsi 25 hari kerja).

Apabila dengan ongos TransJakarta Rp. 3500/jalan, pp adalah Rp. 7.000 (alias Rp 180.000/bulan). Total hanya Rp 300.000 atau 10% dari UMR Jakarta (diluar tol dan bensin).

Perlahan, Jakarta menjadi kota yang lebih ramah. At least itu yang dirasakan kelas menengah. Kecuali saat jalan-jalan diblokir orang orang-orang yang beribadah sambil menghujat sesama.

Saat ini ada satu dorongan yang menyebabkan orang bangga menyebu diri sebagai warga Jakarta , orang bangga menyebut diri sendiri sebagai bangsa Indonesia.

Selain itu, juga ada harapan yang dirasakan hilang dengan masuknya pemenang pemilihan kepala daerah yang dianggap proxi penguasa-penguasa lama, yang berhutang budi untuk modal kampanye dan black campaign.

Mungkin memang kita belom boleh secepat itu bahagia.


Kamis, 30 Maret 2017

Revisiting Childhood Memories

Childhood is not from birth to a certain age and at a certain age 
The child is grown, and puts away childish things. 
Childhood is the kingdom where nobody dies.

Edna St. Vincent Millay 

If anyone ask me what would you like best, I would answer, being a child, where we can become unresponsible yet create no harm.

So last week I try to relive my childhood by visiting a place where I spend most of my holiday during my younger years. It's Batu, Malang. 

My Grandpa from my father's side used to have a building that used to be an old movie theatre that he converted into a 3 bedroom villa, without changing the exterior much. It located in Batu main street, few blocks away from Alun-Alun Batu, where they have a big apple statue. 

As a child, what I can remember is the building is huge. The front of the building can accommodate 4 cars parking side by side, while the ceiling is super high. 

The bathroom at the back of the house is also super huge. The place that hold water for 'mandi' is like our private swimming pool, because it's about 2 meters long and 1 meter's width, with height around 1 meter, yet Grandpa only allow us to "swim" there when we are about to leave the place, since he would deligently empty "bak mandi" before leaving for Surabaya.

Near the back entrance, my Grandpa used to buy shallots from nearby farmers, hang it on rows of bamboo sticks until it dryed, and selling it to the passer-by from the back entrance (usually local people who lives there). 

He knows many people in Batu, including one Indian descendant that he often asked to keep an eye of his villa when he's back in Surabaya. He knows the best local place that sells "pluntir" and "kue moho", that I later know as Fuqing snacks, and that's why he loved it so much. (My Grandpa was born in Fuqing and relocate to Indonesia during his younger year)

When my Grandpa are going to nearby market, he would walk us to the market located near Alun-Alun on feet, because the slope is descending. On the way back home, he would order an "dokar" (horse-pulled cart) for us to go home. Sometimes when my Dad joins, he will treat us fresh milk from nearby "Koperasi" that collect milk from all farmers.

Near my Grandpa villa, there's a Catholic Boarding School, Susteran Sang Timur, where my cousins went to school. My "Sanko" is the one who bring us there one holiday where he joins our family on Batu Trip and stay in our house. He introduces us to the Sisters who lived there, and I still vividly remember, one of the Sisters gave me a phosphoric rosary, which we are amazed at, because it glows in the dark. 

One time, my Grandpa took us to walk in the countryside and it was still dark. I remember I was so afraid initially since I was only in my 1st or my 2nd grade, and I used to even sleep with the light on. But we keep walking near the paddyfield until it is sunrise and things were never be the same for me. Now I sleep with the light off. Darkness becames enemy no more. 

There is a vihara near my Grandpa's villa where in certain day, they would have "wayang potehi" performance. I remember my Dad took us there, and honestly, the music and the chanting of the performers telling the stories in Hokkien dialects are magically creepy. 


So last week when we visited Batu, the place is very different. Boosted by the growth of the town which used to be laid back, rural and humble, it changes to be a bustling and busy. Thanks to the development of Jatim Park 1 and Jatim Park 2, then many more Museum like "Musium Angkut", it becames tourist destination that brings money to its inhabitant. 

Like any other development, everything became commercial and instant. Many hotels and resorts are springing around Batu, leaving the old establishment appears old and shabby. Gone are the day we would leisurely hanging around in KUD Batu with the farmers. Now we have to queue in line to get the milk, and it's already bottled and flavoured.





KUD Batu


Alun-Alun Batu


Ketan Legenda
You must queue to all eating place, ketan, jagung bakar, sosis bakar. You must queue to buy ticket, you must queue to enter Jatim Park, etc. Sea of people on weekend flooding Batu. 

The place that used to be my Grandpa's villa is still there, and now used as motorcycle showroom, while the house next to it, is still as I remembered. High fence, and tall trees that used to be the breeding place for bats. 

The vihara nearby is still there, quiet now, I guess less people went there, younger generations embraces christianities more than buddhists. The soto seller behind my Grandpa's villa has closed its business, or relocate somewhere and I bet it is already run by his relatives. I don't know where the Fuqing snack sellers and whether they are still in business or not, since their place is their home and they don't have shop.

Susteran Sang Timur is still there. I would remember it to be my first meeting with Mother Mary, forever. And that was waaaayyyy before I got baptized. And Sanko... I barely see him in years now... Kinda miss him...

We used to swim in Songgoriti where they have big cold water swimming pool as well as hot water spring, or Selekta (take turn on the Vihara and going straight to the peak), or Sengkaling (on the way to Malang). And I don't even know how they look like right now. Wonder if anybody still go there. I remember tickets to Sengkaling is Rp. 3000,- last time I went there. Compare to Rp. 120.000 for Jatim Park on weekday. No contest really.

Despite all that... Batu always bring warm feeling to my heart... It's a place where my Grandpa and my Dad's memories are always... always alive ..... as if they never dies....
Batu, 25-27 March 2017

Kamis, 02 Maret 2017

Tentang Pantang dan Puasa, serta Penantian KedatanganNya

Gue udah jadi Katolik 20+ tahun, tetapi Katoliknya yang abangan. Alias Katolik KTP. Ke Gereja suka-suka. Pantang suka-suka (kalo inget). Puasa kaga pernah. Dan gue selow aja dengan kondisi itu. Mungkin itu yang namanya comfort zone. Boro-boro kenal dengan orang di lingkungan, kalo ke Gereja aja buru-buru cepetan pulang setelah komuni, bahkan sebelum berkat penutup.








As we get older, dengan meleburnya kita dalam komunitas dan ritual-ritual keagamaan, kita jadi bertanya ke dalam diri sendiri. Apa yang kita cari dengan mengikuti Dia? Dia yang dahulu dibenci bahkan dibunuh oleh lingkungannya. Dia yang disangkal muridnya. Dia yang dijauhi sanak keluarganya. Apakah kita akan tetap mengikuti Dia bila kita dibenci, disangkal, dijauhi?


Kita mulai mencari makna. Makna dari kenapa harus melakukan ritual keagamaan, kenapa harus ada doa di komunitas (dari Keluarga, lingkungan, hingga Misa di Paroki). Ada teman yang bahkan menyindir gue saat gue ikut Kursus Evangelisasi Pribadi, bahwa gue sedang religious masturbation. Orang yang ikut retret, pencurahan, adorasi, dianggap sedang masturbasi spiritual. Rest in Spirit dianggap orgasme spiritual.


Demikian juga saat kita memasuki Masa Prapaskah, dimana dari Gereja Katolik ada kewajiban berpantang dan berpuasa, ada juga sindiran bahwa puasa Katolik itu puasa nanggung. Puasa agama lain, lebih ‘keras’ dan lebih ‘sulit’ untuk dilakukan, therefore ‘berkat’ yang didapat juga lebih banyak, ‘dosa yang diampuni’ juga lebih banyak.


Mari kita kembali ke dalam hati kita. Niat kita untuk melakukan semua ritual keagamaan tersebut itu apa? Apabila niat kita untuk dilihat orang, namanya religious exhibitionism. Kalau kita melakukan ritual untuk dipuji orang, namanya religious masturbation. Kalau niat kita mendapat berkat dan ampunan, namanya pamrih, dan menganggap Allah manager investasi berkat dan ampunan. Kalau kita melakukan puasa supaya kurus, itu namanya diet.


Jadi bagaimana seharusnya hati kita?


Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa kita sudah diberkati, kita sudah ditebus dari dosa, kita sudah beroleh kasih sempurna dari Allah Bapa melalui misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan Bapa. Tetapi kita belum selesai dalam peziarahan di dunia. Dan sebagai Gereja yang Berjuang / Berziarah, teman seperjalanan kita banyak, dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang dalam kondisi berkekurangan makanan / pakaian / tempat tinggal. Ada yang dalam kondisi berkekurangan kasih sayang / perhatian / pendidikan.


Disaat itulah kita diminta tanggapannya, bagaimana kita menuju ke Bapa bila kita membiarkan Yesus yang kelaparan, kehausan, sakit, dipenjara (Matius 25:31-46)? Bagaimana kita meringankan beban saudara sepeziarahan yang bersama-sama ingin menuju Kristus. Bahwa doa, amal, dan puasa kita, kita persembahkan untuk silih atas dosa-dosa kita, silih atas penderitaan orang lain, silih atas Gereja dalam Penantian (yang kita percaya sebagai arwah orang beriman yang menanti di api penyucian).


Masalah penghakiman akhir, masalah dosa, masalah sah atau tidak puasa kita, kita serahkan semuanya ke Kerahiman Allah, karena kita pun tidak tahu, mana yang benar ataupun yang salah. Yang penting kita coba menjaga hati kita untuk benar dan lurus, menuju dan mengarah kepada Allah... Sangkan Paraning Dumadi... Alpha dan Omega kita...

Senin, 13 Februari 2017

Ramalan PilGub DKI 2017

Tahun 2017 jadi tahun menarik karena terjadi pemilihan kepala daerah serentak di 101 lokasi tanggal 15 Februari. 7 provinsi, 18 kota, 76 kabupaten. 

Sebenarnya sejak era otonomi daerah, pemilihan kepala daerah serentak ini sudah pernah terjadi tanggal 9 Desember 2015. Bahkan jumlah daerahnya ada 265 daerah, yakni 8 propinsi, 35 kota, 222 kabupaten. 

Walaupun jumlahnya lebih banyak, tapi di tahun 2015, gak ada kehebohan massif di media maupun sosial media. Gak ada isu yang mempengaruhi gerakan massa di level nasional. Wong namanya juga Pilkada. 

Berbeda halnya dengan tahun 2017. Dari 101 lokasi, yang diributkan dan disorot seluruh pihak hanya satu: Pemilihan Gubernur DKI.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta seperti matahari dalam konstelasi planet-planet partai politik. Jakarta adalah sumber terang dan kehangatan bagi laron-laron politisi yang ingin mengecap hangat sebelum moksa karena terlibas kasus korupsi.

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/25/20170331/mengapa.seluruh.bakal.calon.gubernur.dki.berasal.dari.non.partai.



Putaran uang yang 60+% berputar di Jakarta juga membuat Jakarta menjadi magnet kuat buat power seekers. Juga putaran uang yang dahsyat bagai beliung yang memporakporandakan pertemanan dan akal sehat.

Nah.. sekarang bagian ramal-meramal... sebetulnya ini bukan ramalan, tapi lebih ke analisa probabilitas. 

Berdasarkan survei terakhir sebelum minggu tenang :
Pasangan 1: 23%
Pasangan 2: 31%
Pasangan 3: 26%
Sisanya (undecided): 20%

Dengan undecided 20% dan selisih antar calon hanya 3-8%, mustahil pilgub DKI akan berlangsung 1 putaran. 

Berikutnya di putaran ke 2, asumsi saat Pasangan 2 dan Pasangan (antara 1 dan 3 >> perkiraan gue no. 3), diperkirakan ada penggabungan suara antara pendukung 1 dan 3 (karena berada di sisi yang sama dalam kubu Muslim vs. Kafir).

Banyak yang menolak dibilang bahwa pemilihan guberbur DKI adalah pertarungan Muslim vs. Kafir, walaupun isu yang berhembus selalu ke arah sana. Jadi silakan denial, tetapi itu yang disetting oleh tokoh-tokoh Muslim dan pimpinan agama Muslim.

Adapun logikanya, Muslim di Indonesia ini 90%. Jadi pasangan 2 dapat 31% itu aja udah tidak masuk akal apabila pemilihan ini murni muslim vs. kafir. Katakanlah seluruh kafir memilih Pasangan 2 (padahal kita tahu, macam Lius Sungkharisma, itu tidak mendukung Pasangan 2). 

Seandainya pun 10% itu didapat pasangan 2 dari non Muslim, ada 20% yang memilih bukan berdasarkan agama. Sebagai incumbent, Pasangan 2 diuntungkan dengan hasil kerja selama ini. Jadi ini bisa dipakai sebagai showcase keberhasilan kepemimpinan (lepas dari pro kontranya, termasuk dana dari mana, karena DPRD menyandera anggaran).

Ada lagi 20% yang undecided atau tidak mau menyatakan pilihannya saat ditanya, dan itu pun hak warga negara karena pemilihan apapun sifatnya langsung, umum, bebas, rahasia (LUBER). 

Jadi ada at least 40% diantara sekian juta penduduk DKI yang memilih berdasarkan berbagai sentimen (baik positif ataupun negatif), tetapi bukan berdasarkan agama dan etnis.

Di putaran kedua akan menjadi pertaruhan kualitas rakyat Jakarta. Karena gue percaya banget bahwa we will get the leader that we deserve. Pantaskah Jakarta mendapat pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan kota dan beban sebagai ibukota? Atau apakah Jakarta akan mengalami reverse development? Semua akan terjawab tanggal 15 Feb nanti.

Ada teman yang percaya bahwa masyarakat grassroot Jakarta sudah rasional dan sentimen agama hanya dimainkan di kalangan pemimpin agama dan mempengaruhi level atau kalangan tertentu. Dalam hal ini pemenangnya adalah Pasangan 2.

Atau kepercayaan gue bahwa masyarakat Jakarta bukanlah masyarakat rasional, dan sentimen agama berpengaruh luas terhadap hasil pemilihan nanti. Begitu juga kehebohan kelas menengah di social media ternyata hanya selapis tipis masyarakat umum, bahkan sebagian tidak mempunyai KTP DKI. Dalam hal ini pemenangnya adalah Pasangan 3.

Selanjutnya, kita lihat final resultnya. Karena gue juga pengen tahu, pola pikir seperti apa yang ada di masyarakat Jakarta yang notabene kota Metropolitan di satu sisi, tapi bagai kampung raksasa di sisi lain. 

Untuk masyarakat Jawa Timur, siap-siaplah Pasangan 1 akan mencalonkan diri untuk PilGub Jatim mendatang. 

Implikasi apa untuk kita bila skenario gue yang benar? Most likely not much buat kelas menengah seperti kita. Kita tetap bisa jalan-jalan dan tidur nyenyak. Yang lebih banyak merasakan impact dari kebijakan publik adalah masyarakat kelas bawah yang bergantung kehidupannya dari transportasi publik, kebijakan-kebijakan publik. 

Dan saat itu harus terjadi, sebagai umat Kristiani, berusahalah yang bisa diusahakan agar sebagian beban itu terangkat, entah bagaimana caranya. Bahkan jika pemimpin itu adalah jawaban dari permohonan mereka. 

NB: analisa utak atik gathuk dari seorang ibu rumah tangga yang sumpek dengan berita Pilkada
13 Februari 2017


Selasa, 07 Februari 2017

Kejamnya Social Judgment

Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri , demikian pepatah yang sering kita dengar sehari-hari saat orang mengeluh kerasnya hidup di Jakarta.

Sesungguhnya ada yang lebih kejam daripada ibukota, yaitu Social Judgment. Penghakiman sosial.

Kita bukan ngomong mengenai maling ayam yang digebugin walaupun sepintas itu juga termasuk social judgment alias penghakiman massal. Alias main hakim sendiri. Soalnya kalo main hakim rame-rame namanya Kidzania.

Salah satu penghakiman sosial yang paling hot sepanjang akhir tahun hingga awal tahun ini, yaitu yang dikompori oleh suasana Pilgub DKI.

Karena ada 1 oknum yaitu Buni Yani, yang mengedit ucapan petahana, sebut saja "Ahok" (bukan nama sebenarnya), dan editannya menjadi viral, maka ada social judgment bahwa si Ahok ini menista agama tertentu.

Lepas dari betul atau tidaknya judgment tersebut (yang seharusnya dibuktikan di pengadilan yang sayangnya tidak dibuka, sehingga lagi-lagi ucapan saat di pengadilan rawan diedit), umat agama tertentu tadi sudah menjatuhkan vonis bahwa Ahok bersalah.

Kemudian ada yang namanya Social Judgment turunan, yaitu orang lain yang tidak mempunyai kesalahan, tapi tetap dimusuhi juga hanya karena openly menyatakan dukungan terhadap orang yang dianggap bersalah, walaupun dukungannya tidak berkaitan dengan kasusnya.

Hal ini terjadi pada artis cantik kesayangan umat infotainment sebut saja "BunMai".

Hanya karena dia di salah satu social medianya menyatakan dukungan terhadap petahana yang dinilainya "bekerja dengan benar" dan berfoto bersama petahana tersebut, dimana petahana tersebut sudah dijatuhi vonis sosial, banyak followernya yang kontan marah, berhenti ngefans, dan unfollow.

Seakan-akan keberpihakan seseorang terhadap satu tokoh menjadi keberpihakan menyeluruh sebagai mana mereka membebek terhadap junjungannya para artis.

Mungkin karena memang begitulah kerangka berpikir di level mereka. Sampai salah satu komentar menyuruh sang artis mengikuti agama petahana.

Absurd? Iya.

Satu lagi yang lagi Hot beneran adalah F*rz* Hots. Karena screenshots sexting yang melibatkan seorang petinggi agama tertentu yang dalam perkataannya bak malaikat penjaga sorga, jadi hebohlah dunia pergosipan.

Yang lucu adalah walaupun sexting adalah ranah privat, kita happy banget dengan bocoran yang masih belom tahu apakah ini beneran atau nggak, siapa yang membocorkan, apa tujuannya; kita menggunakan moment dan weakness itu untuk imposing our social judgment towards those couple.

Dan... kita lebih banyak menjudge pihak perempuannya, karena yang kita bicarakan gak jauh dari sprei dan TV, juga symbol 😍 dan ❤.

Sama seperti jaman ada video 3gp dari seorang penyanyi berkharisma dengan beberapa artis cantik. Secara moral kita mengutuk mereka, pada saat yang bersamaan kita menikmati adegan percintaan itu. Mungkin untuk bahan coli.

Di satu sisi kita sadar bahwa social judgment itu kejam tapi di sisi lain, kita dengan bahagia turut menjadi salah satu pelaku.

Ironis? Iya. Absurd? Kita juga.

Jumat, 13 Januari 2017

Masih tentang Flores - Catatan Perjalanan

Kalau ditanya wisata ke mana yang lengkap di Indonesia? Flores salah satunya. Sebetulnya Bali adalah jawaban mainstream. Tapi menurut gue, lately Bali has been too touristy.

1. Wisata Gunung

Danau Kelimutu yang merupakan crater lake, adalah fenomena unik. 3 Danau dengan 3 warna ini selalu menjadi highlight wisatawan. Apalagi dilengkapi dengan legenda bahwa semua orang Flores, saat meninggal, arwahnya akan mendatangi Danau Kelimutu. Disana ada 3 danau untuk masing-masing kategori. Danau Arwah Jahat, Danau Muda-mudi, dan Danau Orang Tua.

Tiwu AtaPolo / Danau Arwah Jahat (depan) dan Tiwu Nua Moori Koohi Fah / Danau Muda-Mudi (belakang)

Warna danau Kelimutu ini bisa berubah-ubah sesuai dengan kadar mineral yang ada di dalamnya. Danau Kelimutu TIDAK bisa dipakai berenang, karena kadar asamnya tinggi. Bahkan sering jadi lokasi percobaan bunuh diri. Maklum, gunung berapi aktif. Meletus terakhir 1968.

2. Wisata Laut

Lokasi paling terkenal adalah Labuhan Bajo dengan kepulauan Komodo yang di tahun 2011 dinobatkan menjadi New 7 Wonders Nature. Sejak itu pula, kapal pesiar dari Belanda yang berlantai hinggal 9 lantai dengan kapasitas hingga 2500 penumpang, berlabuh di pulau yang berisi sisa naga dari jaman jurassic. Apalagi saat ini Garuda Indonesia juga sudah menyiapkan direct flight Jakarta - Labuhan Bajo sehingga memudahkan masuknya wisatawan.

Selain Kepulauan Komodo dengan Pulau Padar, Pink Beach, Gili Lawa, Pulau Kalong, Pulau Rinca yang memesona, ternyata juga ada di utara Riung yang lebih sering dikunjungi wisatawan mancanegara daripada wisatawan domestik.

Pulau Padar dengan 3 teluknya

Snorkling di Kepulauan Komodo menjadi highlight dari acara wisata laut karena ikannya yang banyak dan beraneka warna berenang di antara terumbu karang.

Untuk diving atau menyelam, pergilah ke Manta Point, bersiaplah terseret arus dari kibasan sayap Manta Ray yang berenang dekat dengan dada kita.

Mau memancing? Perairan sekitar Pulau Komodo dengan mudah memberikan Kerapu Macan dan Kerapu Tikus dengan umpan alakadarnya. Awak kapal kami mendapatkan baronang sebesar perut orang dewasa hanya dengan umpan roti tawar.

Ikan baronang raksasa dengan umpan roti tawar

Belum lagi budaya berburu ikan paus dengan peralatan tradisional di Pulau Lembata, di timur Flores.

3. Wisata Budaya

Dengan Homo Florensis di Liang Bua, dan desa-desa adat yang ada di setiap daerah, Flores menjadi destinasi sempurna untuk wisata budaya. Puncak dari wisata budaya ini menurut gue adalah Wae Rebo, dimana lokasinya secluded dan butuh effort. Mungkin keterpencilannya itulah yang membuat Wae Rebo tetap pristine dan tidak tercemar.

Rumah adat di WaeRebo

Apabila ingin merasakan tinggal di tengah masyarakat adat, bisa dicoba tinggal di Desa Bena di Bajawa yang jauh lebih dekat dengan akses jalan raya. Tinggallah di rumah masyarakat setempat, menikmati bunyi alat tenun yang ritmis, ibu-ibu yang berjongkok memecahkan kemiri untuk di jual ke pasar, anak-anak yang bermain bola dengan riang di pelataran desa, atau sekedar melihat babi yang diternak di belakang rumah.

Vanili, cengkeh, kemiri, hasil bumi yang dijual ke pasar di Desa adat Bena

Di Manggarai yang merupakan pusat pertanian, kita bisa melihat Spiderweb rice fields yang merupakan kearifan lokal untuk pembagian tanah per desa. 1 juring per keluarga. 1 segment per anak.

Spider web rice fields, keunikan selain terasering yang bertebaran di Manggarai

Arak yang merupakan persyaratan upacara adat, dibuat sendiri dari air nira yang disuling dengan cara direbus dan dialirkan dalam bambu sepanjang 8 meter. Baru sadar ternyata arak itu muncul di berbagai daerah di Nusantara dan merupakan minuman asli Indonesia, terbukti dengan lapo tuak di Medan, brem di Bali, dst.

Penyulingan air nira yang sudah difermentasi menjadi arak

4. Wisata Religi

Belum lengkap bila belum menghadiri prosesi Paskah dimana Patung Bunda Maria (Tuan Ma) diarak keliling kota Larantuka. Saat acara ini berlangsung, keriuhan dan kesakralannya membuat kita lupa bahwa kita ada di Indonesia, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Semua larut dalam liturgi Katolik di Larantuka.

Selain itu, setiap desa ada Gereja. Mungkin padanannya kalau di Jawa adalah, tiap desa ada surau.

5. Wisata Kuliner

Sebenarnya makanan paling asyik di NTT itu adalah Sei alias daging (biasanya babi) asap. Tapi di Flores, so far kami belum menemukan restoran yang stand by memanggang sei setiap hari selain di Kupang.

Salah satu andalan untuk kuliner adalah Seafood terutama di pesisir seperti Labuhan Bajo. Selain itu, Labuhan Bajo diserbu wisatawan asing yang akhirnya menetap di sana, membuka restoran. Ada restoran Italia yang terkenal yang dimiliki oleh orang Italia.

Pisang di Flores adalah yang terenak yang kita pernah makan dan senantiasa manis. And trust us. We eat a lot of banana.

Selain itu, banyak penjual bakso dan pecel lele yang berjualan sepanjang Trans Flores, dan di malam Natal mereka satu-satunya yang masih buka di saat kedai kopi dan restoran lain tutup.

Jadi tunggu apa lagi? Indonesia terlalu luas untuk dijelajahi, jadi harus mulai dari sekarang.