Rabu, 26 November 2014

Gue Sekarang Isi Shell

Gue bukannya sombong,  ini kenyataan,  bahwa udah dua minggu ini,  gue isi bahan bakar untuk X-Trail 2006 bersejarah lungsuran dari suami,  dengan Shell.  Yang Super,  sih.  Belum yang V-Power. 

Sebagai gambaran,  Shell Super itu setara Pertamax,  dan Shell V-Power itu setara Pertamax Plus. (Lah kenapa gue malah promosi Shell? )

Anyway,  pindahnya gue dari premium Pertamina ke super Shell,  bukanlah berawal dari kenaikan BBM,  walaupun waktunya berdekatan.  Tapi gara-gara mobil gue yang diisi premium itu,  suatu hari ngadat.

Ya,  namanya mobil dipake,  gue maklum lah,  kalo sekali-kali ngadat.  Manusia aja kadang suka ngadat.  Masalahnya,  gue lumayan rajin menjajani mobil gue di bengkel resmi Nissan yang kebetulan deket dari rumah.  Bahkan terakhir,  gue udah kontrol 160rb km di bulan April 2014 (menurut catatan bengkel resmi).

Yang nyebelin,  adalah,  ngadatnya pas gue lagi nyetir ke Bandung,  di tengah jalan tol Cipularang.  Saat tanjakan,  otomatis gue gas supaya bisa mengejar truk di depan, tapi bukannya melaju,  malah berasa mundur ke belakang karena kecepatan menurun dan ada gaya kelembaman (jadi ingat pelajaran Fisika sama Pak Nyoo dan Pak Mariadi).

Untunglah saat itu,  kita mendekat dengan rest area di sekitar Km 80. Jadi langsung menepi.  Dalam deg-degan gue,  gue telepon Nissan Road Assistance,  dan telponnya sibuk.  Walhasil gue telepon Nissan di Bandung,  dan outlet pertama yang gue telepon kaga ada bengkelnya. Cuma showroom. 

Akhirnya dengan tabah dan tawakal,  gue telepon lagi,  kali ini outlet Nissan di Soekarno-Hatta Bandung.  Dan segera minta disambungkan ke SA (Service Advisor)..  (mengenai istilah-istilah bengkel,  gue rada gape,  karena dulu waktu kerja di Isuzu, temenannya sama bapak2 batak yg jadi kepala bengkel.

Setelah nanya dan curhat,  kecurigaan pertama dari bang SA adalah saringan bensin kotor,  karena saat jalan lurus (bukan tanjakan)  masih bisa mencapai 100km/jam (sambil ngeden).  Jadi akhirnya,  dengan memberanikan diri,  gue lanjut melaju ke Bandung.

Untung pulangnya ke Jakarta, karena banyak turunan,  mobil melaju lancar.  Masalah hanya saat tanjakan.

Saat besoknya kita masukkan ke bengkel langganan,  gue minta untuk sekalian "kuras tangki" (btw ini kuras tangki ke 2 sejak mobil ini gue yang bawa,  sebelumnya yg nguras mas2 Shop&Drive yang datang ke rumah,  karena mobil bermasalah juga).

Akhirnya,  Bang SA menanyakan pertanyaan kunci: "Ibu isi bensin di mana biasanya?".

Kemudian gue jawab,  di sinu dan di sono (2 lokasi Pertamina yang terdekat dari rumah). 

"Ibu lain  kali jangan ngisi di sinu dan di sono,  Bu.  Waktu itu ada Nissan Juke yang sampai pompa injeksi nya kena karena tangki bensin ada airnya setelah isi di sono."

Dhuar !!! Barulah gue sadar,  bahwa tulisan "Pertamina" ,  dan "Pasti Pas" ,  bahkan senyum "Mulai dari 0",  gak berarti mereka baek ama elo.  Itu cuma asesori doang.

Jadi sejak saat itu,  mulailah gue isi Shell.  Secara,  gue mamak2 setengah baya. Kalo kendaraan ada apa2 di jalan,  deg-degannya dan jantungan gue,  serta kenaikan tensi darah gue,  gak setara dengan kenaikan selisih bensin kalo gue pake bensin yg lebih reliable.

Gak semua SPBU Pertamina brengsek sih. Tapi ya gitu deh....

Senin, 10 November 2014

Glorified Violence

Renungan Hari Pahlawan (telat posting) ini sudah ada di kepala selama beberapa waktu,  tapi baru sekarang dituliskan.  Mengapa orang Indonesia kalo gak suka sesuatu adanya rusuh,  bukan ngomong Baik-baik.  Kalau tidak setuju dengan sesuatu,  tipikalnya kita akan bilang "iya"  di depan,  kemudian bikin rusuh di belakang.  Apakah karena kita gak cukup punya keberanian untuk berkata "tidak" di depan orang yg tidak kita setujui?  Atau kita terlalu terpaku untuk tujuan membahagiakan orang lain (dan membuat diri sendiri tertekan)? 

Apa arti pahlawan?  Orang yang berjuang demi nusa dan bangsa.  Itu jawaban standard. 

Pertanyaan berikutnya adalah,  sebutkan nama-nama pahlawan yang kita kenal!  Jawabannya mungkin Pangeran Diponegoro,  Imam Bonjol (Peto Syarif),  Pattimura (Thomas Matulessy), Bung Tomo,  dll.  

Biasanya jawaban yang masuk adalah pahlawan (atau orang yang diberi gelar pahlawan)  karena sudah berperang angkat senjata di era kemerdekaan.  Sangat jarang (bahkan langka)  orang menyebut Sutan Syahrir, Bung Hatta,  apalagi Tan Malaka,  apalagi macam John Lie. 

Padahal jalur diplomasi politik itu sangat penting untuk menjadi berdaulat (diakui oleh negara lain), krusial,  tapi diabaikan bobot perjuangannya. Bahkan saat kita merdeka 1945 itu,  negara-negara Barat belum melihat kita sebagai negara berdaulat.  Mereka masih mengakui pemerintahan kolonialisme Belanda.  Makanya 1947, 1948, 1949 berturut-turut masih ada Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville,  Konferensi Meja Bundar. 

Menurut gue sih, ini akibat brainwash orde  baru,  dimana gelar pahlawan diberikan selektif dengan dasar politik.  Jadi ya,  ada yg benar-benar ikut berjuang demi Nusa dan bangsa,  tapi bukan dari jalur perang fisik,  rada diabaikan.  Dan "kekuatan"  fisik ini,  diabadikan dalam tubuh TNI terutama Angkatan Darat,  dimana mantan Presiden kita sempat berkiprah sebelum naik ke tampuk pimpinan secara kontroversial dengan Supersemar nya. 

Memang sih,  dari jaman Mataram Hindu, Singasari,  Majapahit,  Mataram Islam,  semua pergantian tampuk pimpinan berdarah-darah.  Ken Arok yang orang kebanyakan merampas keris buatan Empu Gandring,  membunuh pembuat Keris,  membunuh Tunggul Ametung,  mengawini istri Tunggul Ametung,  Ken Dedes,  walau akhirnya terbunuh dengan keris yang sama.  

Jayanegara juga beberapa kali di goyang Makar selama tampuk kepemimpinannya.  Bahkan Perang Diponegoro adalah perebutan Tahta antara Diponegoro (sulung yang merasa lebih berhak atas tahta)  dengan adiknya (yang didukung Belanda sebagai manifestasi Politik Devide et Impera). 

Imam Bonjol dalam perang Paderi bahkan adalah pembunuhan umat Islam oleh kaum Paderi (kaum berjubah dan berkorban yang merasa Islam nya lebih murni daripada kaum yang Islam nya bersarung).  ~ mengingatkan gue akan nasib pemeluk aliran Ahmadiyah,  Syiah, dll yang non Suni  dan non Wahabi. 

Bung Tomo yang merupakan tokoh sentral hari Pahlawan kali ini pun,  adalah tokoh diskriminatif yang membenci orang-orang Cina, Tionghoa. Yang mungkin belum tahu,  bahwa sejalan dengan perlawanan terhadap Belanda,  juga ada pendarahan terhadap Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya,  dengan alasan orang Tionghoa adalah antek Belanda.  ~ bandingkan dengan peristiwa Mei 1998 di Jakarta,  dimana banyak penjarahan dan pemerkosaan etnis Tionghoa yang bahkan hingga detik ini tidak diakui oleh pemerintah. 

Begitu banyak sejarah kelam,  yang tidak berani disuarakan,  sehingga tidak pernah kita belajar dari masa lalu. Kita abai.  Dan seperti keledai bodoh,  berulang-ulang terperosok dalam lubang yang sama.  Lubang pendewaan terhadap kekerasan. Merasa kekerasan adalah satu-satunya jalan menuju cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu masyarakat adil makmur sentosa.  

Nama pahlawan orang Cina pun,  kita gak bermimpi akan disorot khusus.  Bahkan cenderung ditutup-tutupi,  dan gak pernah disebut di buku sejarah kita (ya kan?)   sehingga kesannya,  Cina-cina ini cuma numpang hidup di sini,  mau enaknya tapi penghisap darah masyarakat pribumi, pengkotak-kotakan yang didengung-dengungkan sejak era orde baru dan sukses dipakai hingga sekarang. 

Jasmerah ~ kata Bung Karno.  Jangan sekali-kali melupakan sejarah.  Tapi sejarah macam apa yang kita ingat - ingat?  Karena bahkan  buku sejarah adalah sumber kebohongan terbesar jati diri kita sebagai suatu bangsa.  

Sampai kapan? 


Senin, 03 November 2014

Ketika Anak Sakit

Buat yang sudah jadi mama,  mungkin sependapat sama gue,  kalo saat yang paling mengkhawatirkan adalah saat anak kita sakit. 

Urut-urutan khawatirnya sbb:

1. Sakit ringan (batuk pilek tanpa disertai panas),  mama harus sehat dan awas untuk ingat memberikan obat sesuai dosis (terutama bila anak ada beberapa dan dosis berbeda-beda)

2. Sakit sedang (batuk pilek dengan panas dibawah 40°C, mama membatalkan semua janji dan acara (termasuk mendiskon waktu tidur) untuk berjaga dan bersiap dengan kompres

3. Sakit berat (anak menolak makan/minum,  lemas, atau mengeluh sakit),  mama berdoa sama Tuhan supaya sakit anaknya dipindahkan ke mama,  karena gak tega melihat anak sakit

4. Anak opname di Rumah Sakit,  mama rela mati supaya anaknya sembuh,  paranoid dengan semua tindakan suster/dokter yg menyebabkan anak nangis,  bahkan memusuhi tenaga medis.

Gue doakan sih kita gak usah melewati masa-masa No 3 &  4. Tapi kadang kita gak bisa memilih. Misalnya tahun 2002, sulungku harus opname karena bronchiolitis. Fase 1-4 itu terjadi dalam waktu 12 jam saja. 

Bagaimana dengan kesehatan mama sendiri,  relatif to kesehatan anak-anaknya?  Biasanya mama akan bertahan saat anak-anak sakit,  kemudian gantian tepar setelah anak-anak sembuh.  Biasanya....

Dan pagi ini,  anak sulung sudah di tahap 2. Jadilah dilema antara tetap pergi kerja,  atau diam di rumah menjaga dia yang lagi tidur.  Apalagi kalau urusan kerja sudah pending dari minggu lalu.  *mewek*

Get well soon,  A.