Minggu, 13 Desember 2015

Swasembada Beras

Sebulan lalu, saat Boss Romusha bilang: "We will have meeting with rice producer", saya pikir ini hanyalah high level meeting dengan manusia-manusia Jepang rapi yang berjas dan wira-wiri dengan kendaraan Jepang pribadi dengan sopir pribumi yang membungkuk-bungkuk seperti biasanya meeting dengan kaum romusha yang lain.

Pemikiran itu seketika dipatahkan saat seorang gadis imut menyapa Boss Romusha dalam bahasa Jepang yang kedengaran seperti orang merepet lirih di akhir kalimat.

Dengan celana panjang khaki, dan topi explorer warna senada, sepatu boot, membawa gembolan satu tas besar, satu hand bag, dan 1 tas tenteng dari kertas, dia terlihat tenggelam dalam barang-barang bawaannya.

"Maaf, saya terlambat," katanya dalam bahasa Indonesia yang fasih. "Saya dari Subang naik bis jurusan Kuningan-Bekasi. Berhenti di Bekasi Utara. Naik taksi ke sini dari Bekasi Utara".  Sambil sibuk mengaduk-aduk tas, mencari kartu nama untuk diberikan kepadaku.

I love listening to the way she said 'Bekasi' in such a way that it sounds like Japanese word: 'Bukashi'. And I love the fact that she's not the corporate type with sleek suite, and hard headed negotiation skill.

Sesuai dengan arahan dari meeting di head office sehari sebelumnya, mulailah aku menanyakan pertanyaan yang sudah aku tuliskan dalam buku saya.

Berapa lama perusahaan berdiri, berapa luas tanahnya, berapa banyak sekali panen, setahun panen berapa kali, di mana saja areal tanamnya.

Kemudian dia mulai bernarasi dengan mata berbinar dan pipi pink dengan pori lembab sisa perjalanan di bus tadi: "Saya sudah di Indonesia 1.5 tahun. Perusahaan Japonica Rice sudah berjalan 4 tahun. Tanah kita yang milik sendiri 3-4 hektar. Tetapi kita juga bekerja sama dengan 6-7 orang petani plasma dengan total luas tanah 30-40 hektar."

"Area kita di Karawang hingga Subang. Serta 1 plasma di Puncak-Cianjur. Di Subang tanah kita dekat dengan BB Padi."

Dalam hati, what the heck is BB Padi. Segera sambil browsing di Asus ini, BB Padi ternyata adalah laboratorium milik Kementrian Pertanian yang meneliti tentang padi, lokasinya di Desa Sukamandi, Subang. Woh... gue nih, makan nasi tiap hari, tapi gak tau informasi seperti ini.

Gue iseng menyelingi dengan pertanyaan, apakah memang mereka sengaja mendekatkan diri dengan laboratorium milik, istilah dia, 'Ministry of Agriculture'?  Dan dia menjelaskan bahwa awalnya mereka juga tidak tahu ada laboratorium pemerintah di sana. Belakangan mereka baru tahu, dan saat ini mereka mengusahakan sinergi dengan BB Padi.

Awalnya adalah 1 cowo Jepang yang relatif masih muda, yang mau menanam beras Jepang di Indonesia (talk about penjajahan budaya), kemudian ada 1 petani (yang juga relatif masih muda) yang di Jepang sudah sukses dan punya lahan 100 hektar. Kemudian dia bergabung di dalam start up ini.






Di Jepang, kata gadis manis ini, dari tanam hingga panen dapat dilakukan dalam 1 bulan. Karena semuanya dilakukan dengan mesin. Di Indonesia 3-4 bulan karena manual. Si petani rekan mereka, akan pulang ke Jepang setiap November-Desember, menggarap sawah di Jepang sampai panen, kemudian kembali ke Indonesia, nenghabiskan 11 bulan hidupnya di sini, mengurus sawah dan mengajari petani lokal cara bercocok tanam.

Perusahaan ini menyediakan bibit, mengajarkan cara bercocok tanam, dan akan mengambil semua hasil panen dari petani plasma, serta menjualnya ke salah satu supermarket Jepang terkemuka di ibu kota, yang juga mempunyai beberapa cabang di kota-kota besar. Sebagai imbalannya, para petani plasma mendapatkan harga jual yang lebih tinggi daripada lokal.

To my surprise, dia bilang: "Iklim di Indonesia ini susah dikontrol.... Padi membutuhkan air banyak saat awal tanam dan membutuhkan air sedikir saat akhir tanam". Entah kenapa, gue jadi inget sawah gue di Farmville yang udah lama gue tinggal, karena Julian jadi sebel kalo gue main Farmville dan takut ketinggalan panen, keburu busuk tanamannya.

"Di Jepang, kita menanam diakhir musim gugur dan panen di awal musim dingin. Sehingga iklim dan air terkontrol. Di Indonesia, dengan hawa lembab dan curah hujan tidak menentu, sangat susah untuk menanam seperti di Jepang. Apalagi kalau sering hujan dan lembab. Banyak hama dan jamur menyerang."

Barulah gue tau, bahwa antara Karawang-Subang dengan Puncak-Cianjur pun, ada perbedaan iklim dan Karawang-Subang lebih favorable untuk menanam padi karena lebih jarang hujan daripada Puncak-Cianjur yang lebih sering terserang hama dan jamur.

Kemudian teringat bahwa pasca 1998 banyak saluran irigasi yang rusak, bertanyalah gue tentang irigasi. Dia menjawab: "Yes, we do have 'ulu-ulu'".

Boss Romusha dan gue sama2 bertanya: "What's Ulu-ulu?"..


Ternyata yang dimaksud itu "URU-URU" alias sistem pengairan di tanah pasundan, mirip seperti "Subak" di Bali.

Pendek kata, 2 jam bersama gadis manis yang mengabdikan hidupnya untuk mengajari petani lokal untuk bercocok tanam dengan cara modern ini, meruntuhkan kepercayaan diri gue tentang seberapa paham gue dengan asal muasal beras, yang setiap hari gue makan.

Dan lebih menohok lagi, bahwa yang lebih paham, yang lebih concern, yang lebih paham dengan kesinambungan sumber pangan kita, serta motor-motor kecil dari upaya swasembada pangan, terutama beras - makanan pokok kita, adalah orang asing.

Salah satu tujuan mereka adalah: memunculkan adanya "farmers' pride", kebanggaan sebagai petani. Dan ini exactly yang negara ini gak punya.  Petani dianggap sebagai simbol keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan.

Lihat saja, berapa banyak sawah yang akhirnya dikonversi menjadi pabrik atau perumahan karena generasi berikutnya menolak menjadi petani, dan lebih bangga menjadi buruh dengan UMP yang setahun beberapa kali dipaksa demo menuntut kenaikan upah. 

Berapa banyak lulusan IPB yang akhirnya benar-benar mengabdikan ilmu pertaniannya, alih-alih menjadi RI1 dan membuat album lagu #hoalahhhh.

Sampai kapan negara ini bisa swasembada beras, sedangkan lahan tanam makin lama makin sedikit, adapun hasil panen per hektar tidak makin meningkat.

Wallahualam bissawab... tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Cibubur, 13 Desember 2015

*semua foto adalah hak milik dari Taiyo Japonica Rice dari Company Profile.

Sabtu, 12 Desember 2015

Online Shop

Dalam rangka Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), gue ingin mengulas sedikit mengenai pengalaman gue jual-beli secara online.

Untuk belanja online, awalnya gue belanja di Rakuten untuk pensil alis Etude yang harganya murmer. Kemudian merambah ke Tokopedia untuk pembelian concealer, highlighter and contouring stick, lip cream, hingga pensil alis.

Adapun di blibli.com, gue belanja tiket konser, dari Richard Clayderman hingga Bon Jovi (bisa nyicil pula - - maklum... kelas menengah ngehe setengah baya dari jaman MTV yang berusaha kekinian).

Lain lagi dengan pembelian tiket pesawat dan hotel, tadinya gue booking sporadis dari citilink.co.id, dll sampai akhirnya gue memutuskan untuk berkonsentrasi di traveloka. Dan so far puas sekali.

Suami beberapa kali beli di Lazada, baik untuk HP sampai asesoris untuk sepedaan.

Selain dari situs belanja online, gue juga udah nyoba ke situs e-commerce brand tertentu, seperti http://mandukaindonesia.com untuk memesan yoga mat. Atau pesan buku dari online book store.

So far pengalaman kita sih ok semua. Belum pernah beli gak dikirim. Mentok-mentoknya itu ngirimnya bentar, atau lama.

Selain belanja online, gue juga suka jualan online. Awalnya gue jualan barang-barang baby ex-anak-anak di OLX. Car seat dan baby box. Pertimbangannya, karena anak-anak udah besar dan kita gak mungkin punya anak lagi sejak histerektomi tahun lalu. Daripada barang-barang besar itu ngendon di rumah, gue berinisiatif untuk menjualnya.

Setelah itu, gue udh jualan TV Flat Panasonic 29" yang beratnya seperti ngangkut bangke kebo (gue belom pernah sih), sepeda anak-anak, iPhone6 16MB, Lenovo A316i dan terakhir gitar klasik bekas Jonathan.

Saking semua gue jual online, Julian sering bilang, cuma suami yang gue belom jual di OLX. Padahal gue juga gak pernah nawarin anak-anak di OLX, sih. Suwer!!!

Ada kebahagiaan saat dipanggil Agan atau Gan oleh calon-calon pembeli. Beberapa memanggil Bapak. Gue merasa sangat powerful. Bahkan lebih bergengsi dipanggil Agan daripada Boss. Boss itu hanya mengingatkan gue pada tukang parkir pinggir jalan yang minta tips lebih. (Cih!!!).

Kebahagiaan luar biasa lain adalah melihat benda-benda yang (di rumah kita) sudah tidak berguna lagi, menjadi benda-benda yang diidam-idamkan di keluarga lain.

Gue melihat ayah yang berbinar-binar mendapatkan car seat yang dipergunakan ketiga anakku tersayang untuk bayi pertamanya. Ibu yang girang mendapat box baby lengkap dengan kasur busanya yang dahulu dipakai ketiga buah hatiku.

Gue melihat mata berbinar anak 4 tahun mendapat sepeda Wim Cycle bekas ketiga anak. Seorang ayah yang memohon menawar untuk anaknya yang pengen sepeda BMX rem torpedo warna biru.

Gue melihat senyum lebar suami yang mendapatkan HP Lenovo untuk istri reecinta supaya bisa mudah dihubungi.  Dan hari ini, kelegaan seorang ayah nendaparkan gitar untuk kegiatan sekolah anak SMPnya.



Online shop buat gue, lebih dari sekedar cara mendapat uang, atau membuang barang yang tidak lagi terpakai.

Online shop adalah titik kulminasi pengejawantahan cinta dari orang-orang biasa dengan kasih yang luar biasa.

Cibubur, 12-12-2015

Rabu, 25 November 2015

Blaming the Victim: Sexual Harrasment

Masih banyak orang yang menyalahkan korban perkosaan dengan kata-kata: Salah sendiri tidak berhijab, berpakaian mengundang, pantas diperkosa, dll. Bahkan tanpa tau kisahnya.

Posting ini dari status Facebook gue yang menshare tulisan Arman Dhani yang lebih komprehensive, dan juga menyambung artikel di Facebook BBC Indonesia tebtang seorang survivor kekerasan seksual yang justru dihujat orang.

Marilah berbagi kisah...

Gue ketika itu kelas 6 SD dan sedang main di game arcade dengan Lyna Agustine dan cousinnya, sambil menunggu mama Lyna menjaga butik di gedung yang sama.

Saat seru melihat ke layar game, gue merasa ada seorang yang memperhatikan. Otomatis ekor mata gue mengikuti feeling gue, mencari wajah yang memperhatikan.

Dan berdiri tidak sampai 30cm dari tempat gue berdiri, di tengah kerumunan orang banyak, gue melihat wajah laki-laki itu. Usia awal 20an. Kemudian pandangannya jatuh ke bawah. Otomatis gue mengikuti arah pandangannya.

Disanalah gue tersadar, pria tersebut sudah mengeluarkan alat kelaminnya, dan "memamerkan"nya.

Iya. Aku yg masih kelas 6SD, dengan pakaian celana panjang baggy. Kebetulan saja gue bongsor. Tapi jauh dari kata-kata sexy. Kasarnya tete aja baru numbuh.

Hati berdebar kencang, antara malu, marah, dan takut. Tapi dengan ketenangan level dewa yang entah gue dapatkan dari mana, gue memalingkan wajah kembali ke layar game, sambil tetap bertahan untuk tidak bergeming dari tempat aku menginjak lantai.

Dan entah berapa menit yang terasa seperti selamanya, kita berdua bertahan berdiri di situ. Sampai melalui ekor mata, aku lihat, bayangan tubuhnya menghilang dari kerumunan manusia.

Belakangan baru tahu tentang kelainan sex yang namanya voyeurisme, bahwa aku baru mengalami pelecehan seksual.

Dan aku gak pernah cerita sama siapa-siapa, kecuali kepada sahabat pria, sekitar setahun setelah kejadian yang membuat trauma itu. Aku tidak pernah menginjakkan kaki lagi ke bangunan tersebut. Tidak pula saat semua teman heboh bermain roller blade di gedung ini. Hingga detik ini. (Bangunan ini sudah desserted sekarang)

Saat hal ini terjadi, menangis pun aku gak sanggup. Bersyukur sahabat saya mendukung saya, dan berkata: "Seharusnya bukan kamu yg malu. Kan kamu gak menunjukkan kemaluan elu. Harusnya dia yg malu karena menunjukkan kemaluannya." ...and after that, I feel much better.

Gue gak kebayang kalo gue ketemu sama sahabat abal-abal yang menyalahkan kenapa saya ada di sana, berpakaian seksi, dan berbadan bongsor, mungkin gue menjadi pribadi yang bertolak belakang dan penuh kepahitan.

If you don't know their story, don't judge!

Senin, 23 November 2015

Filosofi Kopi: Keajaiban di Banceuy

Namanya Pak Widya. Perawakannya kurus, dengan wajah bersinar dan mata sayu. Tangannya menghitam antara jelaga dan bubuk kopi. Kemeja putihnya terlihat menipis dan keabuan, walau rapi. Bicaranya lembut menenangkan, dengan antusiasme yang menyihir.

Pertama kali berjumpa dengan beliau, sosoknya menangkap mata saya dari belakang counter penjualan yang sibuk. Beberapa menit sebelumnya, aku melongokkan kepala ke jendela samping yang gelap dengan kaca film, sebelum akhirnya menanyakan kepada bapak pedagang kaki lima yang berjualan di depan tokonya, mengharap limpahan rejeki.

"Kopi ada 2 macam", demikian ia memulai kisahnya, bak romansa. "Robusta dan Arabika".  Kemudian dia menjelaskan keunggulan Arabika untuk wanita, melangsingkan, tidak asam di lambung. Disusul keunggulan Robusta untuk kejantanan pria.

Beliau melambaikan tangan mengajak kita  ke bagian dalam toko/ pabrik/ rumah beliau. Sampai pada halaman dimana biji kopi yang berwarna hijau dijemur.

"Kopi dijemur di kebun selama 2 minggu, dijemur 7 jam di sini. Setelah itu disimpan di dalam karung. Untuk Robusta, kita simpan selama 5 tahun. Untuk Arabica, kita simpan selama 8 tahun. Gudang kopi pun pake system First In First Out. Setelah disimpan, kadar asam menurun sehingga aman untuk lambung, dan biji kopi berubah menjadi kekuningan." Ujarnya melanjutkan kisahnya.





"Setelah itu baru kopi di roast selama 2 jam di suhu 125°C. Kopi menjadi kecoklatan"



Lalu beliau menceritakan sepintas lalu mengenai bisnis kopi modern yang memotong kompas fase penyimpanan yang makan waktu (dan menyusutkan kadar air dari biji kopi), sehingga biji kopi yang masih hijau diroasting selama 15 menit dalam suhu tinggi".

Beliau berkata dengan tenang dan perlahan: "Berbisnis harus jujur, Dik. Rejeki sudah diatur Yang Di Atas."

"Pabrik ini mulai 1930, saya anak tunggal, mau gak mau, saya meneruskan bisnis ayah saya. Sekarang anak-anak saya yang meneruskan bisnis saya. Anak pertama dan ketiga yang sekarang di toko. Anak kedua gak mau nerusin, karena keenakan jadi dosen. Gak bisa dipaksakan juga, anak-anak minatnya akan muncul sendiri."

Beliau menyambung: "Saya jual kopi gak mahal, karena kopi saya beli dari petani langsung, gak pake middle man, jadi harga juga murah.  Rumah saya di belakang toko, gak pake transport, gak kena macet.  Gak pakai banyak pegawai, semua kami kerjakan sendiri. Istri saya juga cuma satu." Selorohnya sambil tersenyum simpul.

"Saya siang bekerja di pabrik, sore ngajar, jadi dosen di Unpad jurusan Entrepreneurship. Tanya aja Pak Widya, pada kenal kok. Gaji jadi dosen lumayan, tapi saya pulang gak bawa uang.  Hasil mengajar saya pakai untuk membuat Panti Sosial dekat Sukamiskin untuk penyandang cacat ganda. Ada 80 orang di panti saya."

Beliau pun semangat membukakan tungku untuk memasak biji kopi agar kita bisa berfoto, juga nenunjukkan cara melihat hasil roasting. Di antara 2 mesin roasting panas yang masing-masing berkapasitas 100 dan 70kg (biasa hanya diisi 80% kapasitas untuk hasil terbaik), ditengah kepulan debu sisa pembakaran kayu karet, dan panas hawa tungku, kami takzim mendengarkan kisah beliau. 



Kisah hidup yang bukan hanya sekadar untuk diri sendiri, tetapi menjaga integritas sambil bermanfaat bagi orang lain. Kisah hidup luar biasa dari orang-orang biasa. 

Bahwa kopi bagi mereka lebih dari sekedar mata pencaharian maupun gaya hidup, tetapi laku jiwa untuk bersyukur pada 'sangkan paraning dumadi'




Kunjungan ke Paberik Kofie Aroma, Bandung 
18 November 2015

Kamis, 22 Oktober 2015

Yang Tersisih dan Kalah

Pada mulanya adalah sebuah desa asri yang dilalui sungai meliuk yang memeluk sawah dan ladang penduduk. Penduduknya hidup dari bercocok tanam, sebagaimana penduduk Indonesia digambarkan di pelajaran IPS kelas 3 SD : agrasis, pendidikan rendah, penurut, bodoh, terbelakang. Transportasi mereka adalah perahu-perahu kecil yang didayung melewati arus tenang kemarau yang surut.



Kemudian datanglah buldozer. Mesin-mesin raksasa ini melumat tanah disekitarnya supaya rata. Dimatangkan. Untuk siap dibangun. Lembah dan alur kecil diuruk dengan bekas bongkaran dari lokasi lain. Beberapa rumah digusur dengan uang ganti rugi secukupnya.  Bukan hanya orang hidup yang terusir. Pun orang mati. Kuburan pun digali dan dipindah. Beberapa penduduk sekitar dibayar mahal mengais belulang tetangganya yang sudah disembahyangi dukun bayaran.



Tak lama, berdirilah pagar slab beton abu-abu, membatasi antara yang baru dengan yang lama, yang maju dengan yang terbelakang, yang bodoh dengan yang pintar.

Yang   K A Y A   dengan yang   M I S K I N .


Yang berada di dalam pagar beton pun tidak bisa terpisahkan dari yang ada di luar pagar beton. Mereka membutuhkan pengurus rumah, tukang bangunan, sopir, pengasuh anak, agar hidup mereka nyaman dan ringan.  Yang berada di luar pagar beton, yang awalnya bercocok tanam, menjadi tergantung kepada yang ada di dalam pagar beton, karena sawah mereka menjadi rumah-rumah.


Tanah-tanah tempat anak-anak mereka bermain, sekarang tidak lagi dapat diakses oleh mereka. Karena yang di dalam pagar membutuhkan perlindungan, keamanan. sehingga dibuat lebih banyak lagi pagar. Pagar di dalam pagar. Perumahan di dalam perumahan. Cluster di dalam cluster. Yang ada di luar pagar pun dianggap menjadi ancaman dan sumber ketidaknyamanan dari lingkungan yang seharusnya bersih dan asri.


Sebenarnya siapakah yang dikurung? Yang tinggal di dalam pagar, apakah di luar pagar? Karena toh semuanya serba relatif? Siapakah yang seharusnya terganggu oleh siapa? Siapakah yang manusia bebas siapa yang terkukung?


Dan hari demi hari, manusia-manusia di luar pagar beton, berjalan kaki dari rumah-rumah kecil mereka, berangkat kerja bagai semut-semut merayap di atas tanah-tanah kosong. menuju ke rumah-rumah mewah di dalam pagar beton. Entah karena setia ataupun terpaksa. Mereka yang tidak berjalan mengikuti setapak yang ada, kaum perintis, yang berjuang mempertahankan nasib di tengah gerusan pembangunan. Sampai tuntas kita curi matahari senja mereka yang terakhir.

Yang   T E R S I S I H   dan   K A L A H   atas nama pembangunan dan modernitas.



Cibubur,
23 Oktober 2015






Life @Gym

Sebelumnya gue mau klarifikasi, gue bukan orang yang atletis. Jam keberadaan gue di gym tidak menjamin tubuh gue ideal. Dan di gym, gue lebih suka nonton TV-nya daripada actually fokus ke pembentukan tubuh.



Pernah denger gak bahwa orang-orang yang spending waktu di gym itu adalah orang-orang yang kompetitif? Gue adalah saksi hidup dari kekompetitifan mereka.

1. Berebut alat
Baik itu alat treadmill, maupun alat beban, jumlahnya terbatas. Biasanya ibu-ibu menguasai treadmill dan bapak-bapak menguasai alat. Mereka datang lebih pagi, dan kadang meletakkan handuk dan minum di alat tersebut, kemudian pergi melakukan sesuatu yang lain (pemanasan, ngobrol dengan personal trainer/teman), tanpa memikirkan perasaan orang lain yang sudah siap untuk memakai alat.

Yang parah, di alat-alat yang memungkinkan kita duduk sambil ngecheck gadget, orang-orang ini dengan santainya duduk / berbaring padahal gak latihan blas. Sedangkan orang lain cuma bisa bolak-balik dengan resah menunggu alatnya.

2. Berebut kelas
Di kelas-kelas khusus, seperti yoga, kita berebut matrass. Di kelas RPM, kita harus berebut sepeda stasioner. Worse, di kelas zumba, kita berebut lokasi berdiri, saking banyaknya peminat, padahal tempatnya terbatas.

Selain itu, ada aja ibu-ibu yang percaya diri bahwa gerakannya sudah selevel dengan instructor. Ibu ini selalu datang terlambat ke kelas yoga, menenteng matrass dari belakang, dan meletakkannya di sebelah instructor. Atau ibu-ibu di kelas belly dance yang lebih heboh dari instructornya. Uber-annoying.

3. Berebut instructor
Selalu akan ada instructor idola dan instructor yang dianggap kelas dua di gym. Perah sekali, di kelas belly dance, ada 2 kubu: kubu ibu-ibu muda yang ingin pelatih yang lebih energetic yang mengajarnya lebih ke belly-robic, dan kubu ibu-ibu tua yang ingin pelatih bellydance yang menitik beratkan pada teknik.

Berhubung ibu-ibu muda ini kompak dan jumlahnya banyak, maka saat pelatih yang memakai teknik ini datang, mereka sengaja memboikot tidak masuk kelas, sehingga akhirnya instructornya diganti oleh yang mereka mau.  Ternyata belakangan baru tau, salah satu dari ibu muda ini ternyata teman satu sanggarnya pelatih belly-robic. Padahal setelah diganti, dia juga jarang muncul.

4. Berebut air minum
Di tiap ruangan ada 1 dispenser galon untuk orang-orang yang berlatih di gym. Di tengah kelas dan di akhir kelas, selalu terjadi penumpukan peminat di depan dispenser galon. Dalam rombongan besar, ibu-ibu ini tidak sungkan-sungkan merangsek ke depan dispenser, walaupun antrian masih panjang. Mungkin takut kehilangan moment di kelas lanjutannya. Entah

5. Berebut remote TV dan TV channel
Di gym ada TV dengan hampir seluruh premium channel TV berbayar. You name it: HBO, FOX Premium, KBS, dst.  Mungkin atas nama pengiritan, banyak orang yang mengejar tontonan di gym, karena di rumahnya gak berlangganan premium (misalnya gue). Pernah sekali, lagu seru-serunya nonton, ada yang mengubah channel. Karena TV remote nya kadang terlalu peka, aku pikir ini kejadian gak sengaja. Jadi aku ubah balik karena lagi seru-serunya. Eh, gak berapa lama, channel TV berubah lagi. Dan aku ubah kembali ke channel yang aku tonton. Dan gak lama berubah lagi.

Karena annoyed dan kehilangan klimaks tontonan, aku memekik: "Siapa sih, yang ganti-ganti channel? Jadi gak ngerti ceritanya". ... Barulah seorang ibu yang berada di atas stairmaster 3 alat dari gue minta maaf, karena dia sedang mengejar SERIAL DRAMA KOREA!!  Jadi dia gak perduli dan gereget juga mau liat serial drama korea tersebut.... Padahal di depan dia juga ada TV nganggur... #yaolohhhh...

Belakangan gue juga sering liat dia di sekolahan anak-anak, parkir paralel di baris ke 3, berhenti, turun, menurunkan anak dengan tas gembolannya, lalu menyeberangkan anaknya, tanpa memperdulikan barisan mobil yang antre di belakangnya... Woalah, Buuuu.... wong kok karep-karepe dhewe.

Rabu, 07 Oktober 2015

Life is Sweet

Sore ini gue anter Adeline ke RS setelah sekian hari berturut-turut periksa darah, karena anak gadis divonis Demam Berdarah. Akhirnya setelah bertahan 4 hari di rumah, trombosit pun jatuh di bawah level dimana rawat jalan masih diperbolehkan.

Sementara administrasi dan kamar sedang dipersiapkan, kita menanti di salah satu tempat tidur di Instalasi Gawat Darurat.

Saat selesai mengurus proses administrasi di depan IGD, ada ambulans dari RS lain yang sedang berhenti di depan pintu IGD. Dan ada seorang ibu menggendong bayi dalam selimut yang masih sangat kecil. Perkiraan gue, usia bayi tak lebih dari 3 bulan.

Dan yang membuat hati gue jadi berdebar-debar, di belakangnya, ada wanita berjilbab berseragam safari khas rumah sakit yang membawa tabung oksigen yang menyambung ke bayi ini.

Sementara sama-sama menunggu, saya melihat bayi kecil ini dimasukkan ke ruang isolasi, dan mendapat perlakuan khusus.  Dan seorang bapak mengikuti kedua wanita ini, membawa tas yang terselempang di badannya, sambil memandang haru bayi kecil ini, dari luar pintu isolasi.

Walau tanpa bersuara, suasana menjadi begitu mencekam, sampai Adeline menyadarkan dengan bilang: "Mommy, boleh gak gordennya ditutup?"

Gue sempat terhentak dan berbalik menanyakan: "Memangnya kenapa, Cie?"

"Aku gak tega melihat bapaknya."

Pada saat itulah, wanita yang terlihat menggendong bayi keluar dari ruangan dan menunggu tepat di depan lokasi gue berdiri. Dan gue memberanikan diri bertanya:

"Bayinya kenapa, Bu?"

"Sesak napas. Bukan bayi saya. Tapi bayi bapak ini (sambil menunjuk ke Bapak tadi). Saya dokter yang mengantar dari RS untuk dirujuk ke sini, karena rumah sakit kami tidak mempunyai fasilitas NICU."

"Usia berapa bayinya?"

"Berapa, Pak?" Tanyanya ke arah Bapak si bayi yang masih berusaha mencerna pertanyaan yang dilemparkan mendadak ke dirinya. Kemudian setelah hening, dokter tadi menanyakan sekali lagi usia sang bayi.

Bapak tadi menjawab dengan lirih: "Dua hari".

Saya udh mau nangis. Dalam hati saya seperti diaduk-aduk. Ya Tuhan.
Masih begitu kecil, Tuhan...

Akhirnya berujarlah si Bapak. Sang bayi adalah anak ke 4. Lahir dengan sesak napas. Makanya dirujuk ke RS dimana kami periksa. Istrinya masih di RS asal, karena habis bersalin.

Beberapa tahun lalu, anak ke 2 nya menunjukkan gejala yang sama, sesak napas, pada usia 4 bulan, dan tidak tertolong.

Sang istri mempunyai warung, jadi sehari-hari sibuk. Anak pertama dan ketiga normal.

Pembicaraan gue tutup dengan: "Semoga cepat pulih, ya , Pak. Allah berikan yang terbaik buat bayi Bapak."

Saat itu, gue merasa... sungguh, Tuhan masih sayang sama gue, walaupun Adeline juga pernah sesak napas di usia 4 bulan, tapi Tuhan masih memberi ijin untuk membesarkan dan menyayangi dia, walaupun kadang-kadang bikin geregetan dengan sikap cuek dan judesnya.

Pun hari ini, dalam sakit demam berdarahnya, Tuhan masih mempercayakan aku, mama yang kadang cuek dan kurang keibuan, untuk memandikan, menyuapi, mengeringkan rambut putri sulung tersayang.

Kembali aku ke ranjang tempat anak gadisku berbaring meringkuk, aku peluk dia sambil melepas jaketku untuk menutupi kakinya , diiringi kata-kata anak gadis yg ditujukan mengejek aku: "Oh, so sweet". ... Life is indeed sweet, my dear... it surely is.

RS Mitra Keluarga Cibubur,
7 Oktober 2015

Minggu, 04 Oktober 2015

Traveling

The world is a book and those who don't travel read only one page ~ St Augustine


Belakangan schedule kerja sedang gila-gilaan, buat gue yang biasanya santai dan relax,  almost sedentary.  Dalam beberapa minggu traveling bisa beberapa kali,  dan semuanya internatonal trip (mungkin ini yang dimaksud Simbok Venus dengan #humblebrag).


Anyway, setiap perjalanan adalah ziarah pribadi... ziarah karena dengan lepas dari rutinitas, gue punya banyak waktu untuk berpikir dan menginternalisasi hal-hal yang terjadi di sekitar kita.  Biasanya kita sibuk nyetir, nelpon, balesin email, etc. 


Yang paling menarik dari perjalanan, selain membandingkan infrastruktur (terutama yang terkait public service) misalnya transportasi umum, juga membandingkan culture (budaya setempat). Dan kita jadi punya julukan untuk membandingkan negara lain dengan apa yang kita kenal di negara sendiri.


Misalnya Ho Chi Minh City di Vietnam, mengingatkan gue akan Jakarta tahun 1980-an, dimana jalan-jalan utama lebar (untuk ukuran jaman itu) dan kendaraan gak segila sekarang, sementara pembangunan fisik gedung bertingkat sedang heboh-hebohnya.

Adapun Taipei, Taiwan , itu mengingatkan kepada HongKong, namun dengan keteraturan (tidak ada trem dan kabel bergelantungan yang membuat semrawut kota apabila kita memandang ke langit. (Buat gue, kota yang langitnya dipenuhi kabel trem itu nggak banget dah... that's why I prefer Brisbane to Melbourne).


Bangkok mengingatkan gue akan home town gue, Surabaya, dengan infrastruktur yang sudah jauh lebih advanced, bahkan dibandingkan Jakarta. Sepanjang jalan di sore - malam hari, terutama disekitar BTS, masih bisa ditemukan pedagang kaki lima yang berjualan barang-barang yang totally random. Mostly makanan, sih. Dengan harga yang super miring. Kepadatan yang menyesakkan trotoar ini, mengingatkan gue pada Surabaya tahun 1980-an. Tapi dengan infrastruktur yang ingin menyaingi Singapore. 



Beberapa lokasi, seperti di Suvarnabhumi Airport, terlihat jelas keinginan untuk meniru Singapore. Bahkan sampai ke electronic survey kondisi toilet seperti yang ada di Changi Airport #tepokjidat. Mereka pun berusaha memakai padanan Inggris untuk setiap tulisan Thai (yang mirip huruf Sanskrit),... yang buat kita yang saat SD dipaksa belajar menulis aksara Hanacaraka bisa mengerti tingkat kesulitannya... Tetapi saat Singapore berhasil mengintegrasikan Singlish menjadi daily language, Thailand masih tertatih-tatih menginggriskan diri. Mesin pembelian tiket di BTS memang bisa diakses. Tetapi banyak signage lain yang melulu bahasa Thai. 


Untuk penduduk Bangkok, pun, walau banyak diantara mereka sudah fasih berbahasa Inggris (bahkan nenek-nenek penjual buah di pertigaan Sukhumvit pun bisa bilang Forty Bath saat gue menunjuk sekresek duku gendut yang ada di gerobaknya), tetapi saat kita mau berbicara panjang lebar... kita masih butuh berpikir keras....


Yang konyol adalah saat berbicara dengan Domestic Sales Manager, seorang gadis cantik yang masih belia dengan tubuh bak model dengan wajah mirip teman yang tinggal dekat rumah, terjadi percakapan sbb:

Gue: "Zojirushi product  , where you sell them?"
Her:  "Oh, we sell many places, sonta dipamen stror, domo, lobingsong. There are seven sonta dipamen stror. All Thailand"
Gue: *berpikir keras* ... *ok, this must be Central Department Store (karena di Indonesia juga ada, dan juga customer kita)* *but then what is Domo?? Pak Domo kah? Bukannya jamannya bersih lingkungan sudah lewat?* "Oh.... " (dengan tampang gak meyakinkan)


Belakangan di meeting, saat presentasi barulah gue tau... yang dimaksud adalah: Central Department Store, The Mall (including Siam Paragon, Emporium), dan Robinson.... EALAHHH MBAAAAKKKK.... nggarai bingung ae... hehehehe....


But Thai people are nice and gentle people... and they speak English with Thai accent, including adding kah at the back .... I think I'm in love with Thailand.


Thank you , kah.... See you later, kah....

Selasa, 22 September 2015

Monolog Sunyi (2)

Selamat pagi,  Tuhan.  Maafkan aku,  kalau pagi ini aku menyapaMu tergesa.  Aku mau sepedaan,  Tuhan.  Aku rindu gowes.

Satu hal,  Tuhan,  kemarin mertua sopir meninggal.  Hari ini dia datang untuk pinjam uang,  Tuhan.  Jumlahnya 2 bulan gaji UMR.  Katanya untuk tahlilan 7 hari. 

Benarkah Tuhan,  untuk memujiMu tidak cukup hanya dari apa yang kami punya?  Harus dari apa yang kami tidak punyai,  pun kami persembahkan untukMu? Betapa menuntutnya Engkau, Tuhan??!!

Pendoa-pendoa akan datang.  Dan mereka akan berdoa seharian,  dan semalaman,  katanya.  Dan setelah itu mereka harus dibayar untuk jerih payah mereka mendoakan arwah yang berpulang.  Aku ingat waktu SD,  berdoa = bercakap-cakap dengan Tuhan.  Sampaikan untuk bercakap-cakap denganMu saja harus melalui pihak ketiga,  dan harus bayar,  Tuhan?  Betapa komersialnya diriMu yang Maka Kuasa, betapa mahalnya dirimu Maha Murah.

Bapa,  apakah mendoakan yang mati,  yang katanya sudah berpulang pada Dikau,  sampai lebih penting  dan lebih utama daripada menjamin yang hidup bisa hidup layak?

Benarkah kita ingin memuliakan Allah?  Atau jangan-jangan semua itu hanya kedok untuk memuliakan diri sendiri?

Ya sudah,  Tuhan.  Sepedaku sudah menanti.  Besok atau lusa atau entah kapan,  aku pasti akan menghadap dan curhat lagi.

Cibubur,  23 September 2015

Sabtu, 19 September 2015

Monolog Sunyi

Selamat pagi,  Tuhan, apa kabarmu hari ini?  Hari masih kelam, bukan hitam,  seperti yang dibilang orang-orang,  Tuhan.  Langit ungu,  seperti warna liturgi saat-saat sedihMu.  Kenapa,  Tuhan?  Adakah setiap hari adalah penderitaan?  Karena setiap hari ada kekecewaan?

Kulihat umatMu menghadap Engkau.  Mengendap-ngendap dalam keheningan.  Apakah yang mereka cari.  Ngalap berkah kah?  Atau sekedar gugur kewajiban?  Benarkah mereka sungguh rindu Dikau seperti Engkau rindukan kami, rindu kami untuk bertobat kembali ke hatiMu?

Pagi ini,  Tuhan,  beberapa anak terkantuk di bangku Gereja.  Mungkin mereka lelah.  Atau juga bosan.  Beberapa umatMu datang terlambat.  Mungkin mereka sibuk bersiap-siap,  untuk pergi ke lain tempat hari ini.  Karena Misa adalah Prelude dan Foreplay dalam keriangan akhir pekan?

Saat mereka memasukkan tangan ke kantong kolekte..  Apakah yang ada di benak mereka,  Bapa?  Adakah jiwa seperti kaum farisi,  ataukah janda miskin?  Kutahu beberapa meremas-remas persembahan mereka sampai lumat.  Karena mereka malu dengan nilai yang hanya 3 digit angka nol. 

Yakin,  Engkau sayang kami semua dengan sama,  Tuhan?  Tanpa melihat jumlah yang kita persembahkan?  Bisakah kami persembahkan kekecewaan-kekecewaan kami?  Ketakutan-ketakutan kami?  Dosa-dosa kami?

Tuhan, pagi ini aku berlutut dengan hati yang menderu.  Kekecewaan yang kutahan,  untuk hal-hal yang mungkin kecil dan sederhana.  Yang jelas tidak sebesar pengorbananMu yang kadang kelihatan sia-sia.

Betapa sulit untuk beroleh "damai"  dan "sejahtera"  saat hidup masih dipenuhi ekspektasi.   Tetapi bukanlah manusia hidup dari harapan,  Tuhan?  Bahkan Santo Paulus menulis pada umat di Korintus,  3 yang terbesar adalah Iman,  Pengharapan,  dan Kasih?

Ya sudah,  Tuhan.  Biarlah misteriMu menjadi misteri kekal yang abadi. Sebagaimana perang terdahsyat yang tak berkesudahan yang sering hadir dalam gelapnya bathin kami?  Peperangan yang tiada seorang pun tahu?  Saat kita masih bisa menyungging senyum di wajah.

Cibubur,  20 September 2015

Jumat, 11 September 2015

Ngebut !!!

Entah kapan gue nulisnya, ternyata ini ada di file-file gak jelas yang gue mau delete, ternyata ada tulisan begini (tanggal filenya 21 Des 2010):

Saya lahir di Surabaya di keluarga besar dimana 1 mobil Fiat dipakai oleh seluruh saudara ayah, dari tante, oom, papa, mama, kakek, nenek. Saya sendiri bersama kakak, selalu ke sekolah dan les naik becak.  Waktu SD kelas 1 dan 2, dikarenakan di sekolah jam belajarnya singkat, papa suka menjemput saya dengan Vespa-nya.  Waktu kecil, posisi bonceng saya adalah berdiri di depan papa. Serasa seru sekali saat angin menerpa wajah dan rambut.  Ketika saya mulai beranjak besar (benar-benar besar karena badan saya bongsor), papa menolak memboncengkan saya karena saya tidak bisa membonceng  miring ala cewe.  Sejak saat itu, apabila mobil keluarga dipakai, saya kemana-mana naik becak, mulai dari sekolah, les, senam, dll. Saya bahkan punya becak langganan.
Saya  mulai belajar menyetir mobil kelas 1 SMA. Kursus mengemudi selama 10 jam hari Minggu pagi, menjadi turning point saya untuk mulai bepergian dengan moda transportasi selain becak tanpa harus tergantung dengan jadwal sopir. Mobil pertama yang diserahkan adalah Honda Life warna merah hati bekas dipakai oom.  Mobil ini sempat mencium roda belakang becak saat pulang dari extrakurikuler di sekolah Minggu pagi.
Setelah itu Honda Accord biru lagi-lagi bekas dipakai oom.  Mobil ini sempat membuat saya dimaki- maki dari sopir yang kebetulan saya salib ditengah genangan saat berangkat pagi ke sekolah. Mobil saya diberhentikan dengan dipepet dan sopir itu marah-marah karena dia menjadi basah kuyup karena dia menyetir dengan jendela terbuka. 
Dasar tomboy, saat menunggu keberangkatan kuliah di luar negeri, saya dan 2 sobat SMA sempat mengikuti City Rally memakai mobil Honda Accord Prestige warna merah metalik milik keluarga dengan ditempeli stiker nomor kepesertaan. Dan (apesnya) berpapasan di jalan sama papa. Sejak saat itu, setiap pemberitahuan perpanjangan Kartu Ijin Start dr IMI datang saat saya di luar negeri, surat tersebut disobek-sobek oleh papa tanpa dibuka.
Saat kuliah di luar negeri pun, saya dibelikan Honda Accord Cielo warna hijau, dan merupakan sahabat saya berkelana ke luar kota sendirian. Teman setia saya adalah pendeteksi radar polisi penangkap mobil yang melewati batas kecepatan.  Dengan mobil ini, saya menuai speeding ticket sebesar USD 132, yang dengan berat hati saya bayar sesaat sebelum pulang ke Indonesia setelah kelulusan. Mobil ini pula yang pernah saya bawa tertidur di highway yang mengakibatkan mobil saya terperosok ke jalur tengah akibat keasyikan memakai cruise-control pada kecepatan 80mph.
Sekembalinya saya ke Indonesia, saya langsung memperoleh pekerjaan di Jakarta dan tinggal menumpang di rumah tante. Lagi-lagi dipinjami mobil Mazda warna abu-abu yang hebatnya, masih bisa dibawa mengebut memasuki tol dalam kota (yang waktu itu belum terhubung, masih terputus di daerah Pluit – Ancol – Priok).
Tidak lama setelah banjir, kantor melego beberapa mobil BMW yang terendam banjir dengan diskon lumayan, maka mama membelikan mobil tersebut (yang setelah discount, harganya jadi beda tipis dengan Toyota Corolla) untuk saya. Mobil BMW 320 warna biru ini benar-benar menyenangkan dibawa mengebut. Sunter – Bandara via tol bisa ditempuh hanya dengan 10 menit subuh-subuh. Itupun setelah menabrak cone orange yang entah mengapa teronggok di sisi kanan jalan tol bandara.
Sayangnya si gesit lincah ini tidak lama saya miliki. Saat kerusuhan 1998, mulailah saya berpikir untuk memiliki mobil yang tidak menyolok dan tidak menjadi incaran massa apabila terjadi kerusuhan serupa. Jadilah saya beralih ke Isuzu Panther warna merah. Dasar biasanya menyetir sedan, saya hampir menabrak pembatas jalan di tol Ancol arah Jelambar karena tikungan tajam dan saya terlambat membanting setir, serta tidak berusaha memperlambat Panther saya.
Sejak punya anak, kriteria saya untuk mobil sudah berubah dari “yang bisa ngebut” menjadi “yang besar”. Suami saya sering menggoda saya, lain kali akan dibelikan ELF yang dipakai travel Jakarta-Bandung supaya bisa mengangkut semua teman-teman dan anak-anak serta pembantu-pembantu. Itupun tidak mengurangi hobi ngebut saya, walaupun roda belakang saya pernah ngacir lepas saat membawa anak-anak. Untungnya anak-anak duduk di carseat, sehingga aman.
Terakhir setelah melahirkan anak ke 3, suami sempat memberi opsi: mau sopir atau mau X-Trail bekas suami. Dengan cepat saya menyahut: MAU X-TRAIL!! Dan melanjutkan hobi mengebut di jalanan Jakarta yang macet dan padat. Lain kali kalau orang tua yang lain memaki-maki mobil saya yang ngebut mengantar anak ke sekolah, harap maklum…. Yang nyetir mantan pereli.

Hehehe... X-Trail gue udah gak bisa dipake ngebut lagi 5 tahun setelah tulisan ini gue buat... gue berharap dapat lungsuran ... Pajero Sport... 

Jumat, 21 Agustus 2015

Supermom

I hate labeling.  

Moreover,  I hate being labeled.  Even if the label is supposed to be a compliment. 
Like: S U P E R M O M.


I tell you why:

  1. Being labeled Supermom means someone is superior compare to other moms, and some are inferior. That there has been competition between moms.  Stop that!! Being a mom is NOT a competition. It's never meant to be.
  2. No mom is super. No school is the best. We just need to be the most suitable mom to our kids need.
  3. Being super, means there are targets that you need to hold on to. That will turn us to be a vicious perfectionist mom that your kids will surely hate.
  4. Your kids are not/may not want to be Superkids. If your kids perform less that expected, or less than other kids, or less than his/her own cousins, or even less that his/her own siblings, it's okay too. It's NOT an indication of your performance. Stop being too baper about that (baper = bawa perasaan).
  5. Even the best mom sometimes fail. We just don't fret about it. Suck it up and walk on. (okay, I admit I still fret about it on my other blog, I just keep everything as draft. May be until someone wants to publish my writings and then I got a lot of money from writing. #wishfulthinking)
  6. If your kids can do things on their own without you, you have succeeded.
  7. It's okay NOT to be a mom. It's okay if you decided not to have kids. It's okay if you cannot have kids. It's not a failure. And don't judge. You don't know how much pain and humiliation that they already received.
Anyway, quoting dear wife of a friend of mine who just put her daughter to college halfway across the globe: "Every parent's goal is to make themselves obsolete" - Elliyawati Djendrono 



Jumat, 07 Agustus 2015

Visa Taiwan

Dulu waktu kantor bertaburan dengan anak-anak McKinsey yang lalu lalang ke mancanegara sedangkan kita terjebak dalam kubus besar yang dingin di sebelah ruangan PresDir, sering gue mimpi, kapan bisa traveling sambil kerja. Kesannya keren. Lalu lalang di airport. Apalagi sekarang dengan adanya aplikasi Foursquare (dulu belom ada aplikasi 4sq, levelnya baru ngumpulin stempel di paspor).


Sekarang... belum juga pantat nempel kasur seminggu, udah dikejar-kejar bos romusha untuk memikirkan bisnis trip berikutnya, ke Taiwan.

Masalah booking tiket sih gampang, tinggal traveloka atau nusatrip , asal ada kartu kredit, bisa beres. Tapi yang menyebalkan jadi orang Indonesia adalah kemana-mana kudu apply Visa. Apply Visa sendiri ini riweuhnya setara dengan traveling seminggu. Pertama kita harus membaca website mengenai syarat-syarat dan cara-cara. Kalau ada foto ukuran tertentu, dengan latar belakang tertentu, bahkan expresi wajah tertentu (sumpah, di aplikasi visa ke Amerika, foto gak boleh senyum. Ekspresi netral. Kebayang gak gue berusaha poker face? Adanya malah boker face!). Belum lagi mengisi segala macam form yang pertanyaannya yang gitu deh (apakah pernah melanggar hukum, apakah pernah overstayed, apakah pernah memakai narkoba -- kalo di Kanada apakah dalam waktu 6 bulan ke Afrika Barat).


Anyway, hari ini gue melihat syarat-syarat Visa Taiwan. FYI, Taiwan tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia sejak Indonesia mengakui RRC sebagai Cina (1 China Policy), jadi kita harus ke Kadin nya mereka, istilah kerennya Taipei Economic and Trade Office, di Gedung ArthaGraha SCBD.

Setelah ngisi-ngisi form mereka, ternyata di website Travelawan ada info lengkapnya... Bahkannnn... kalau kita punya Visa yang masih laku dari negara-negara Amerika, Kanada, Inggris, Schengen/Eropa, Australia, New Zealand, Jepang, kita bisa dapat instant approval. Serius. Mungkin dianggapnya negara-negara maju ini lebih rigorous memfilter dan menscreening orang-orang yang akan masuk ke negara mereka, sehingga pemerintah Taiwan tidak perlu menscreening ulang (reinventing the wheel -- kalo istilah Steven Covey)..  Dan semuanya bisa dilakukan online di sini.

Lebih dahsyatnya lagi, ini hanya berlaku untuk beberapa warganegara: India, Thailand, Vietnam, Filipin, dan .. INDONESIAAAA.... Gue kebayangnya, mungkin kita ini dianggap sebagai transisi antara negara yang "nggak banget" ke negara yang "oke punya". Jadi seakan-akan I'm not a Girl not yet a Woman gitu deh... *elu pikir elu Britney Spears??*

Dan... hasilnya adalah...


dan... expirednya dalam waktu 30 hari.. which is sebelum gue berangkat... TOBATTTTT !!!...


Jadi gitu deh, next week gue kudu bikin lagi sekali lagi... Dan dokumen ini gak usah lagi ke kantor Taipei Trade Office. Cukup nanti ditunjukin ke imigrasi di sono. Dan ini... GRATISSSSS... (seneng kan kalo denger gratisan?? Itu bukti bahwa kita Truly Indonesian.

Ya deh... semoga bermanfaat.

Gimana kalo ternyata gak punya visa dari negara-negara itu? Ya kudu apply seperti biasa sih. Isi formnya online, tapi di print dibawa ke Gedung ArthaGraha, dan kudu bayar. Link formulirnya di sini. Good luck!!


Kamis, 06 Agustus 2015

Driving on the Right Lane

Perbedaan mendasar antara mengendarai mobil di Indonesia, dan mengendarai mobil di Canada adalah di kita setir sebelah kanan mobil dan lajur yang dikendarai lajur kiri. Di Canada (dan Amerika), setir ada di kiri mobil, dan lajur yang dikendarai lajur kanan.

interior Ford Expedition Max -- setir kiri


Hal yang bertolak belakang ini membuat nyetir di Canada menjadi ngeri-ngeri sedap.  Masalahnya, terakhir kali gue nyetir di lajur kanan ini adalah ... yah... 2 dasawarsa alias 20 tahun lalu... alias nyaris separo umur gue... (iyeeee... gue tuaaa).... Sedangkan my 2nd driver, yaitu suami tercinta... TIDAK PERNAH nyetir di lajur kanan.


Satu hal yang menarik adalah SIM lokal Indonesia sudah cukup untuk menjadi SIM selama di Canada, termasuk untuk rental mobil. Tidak perlu bayar tambahan untuk membuat SIM Internasional. Yang penting, tertulis dalam huruf Latin. Jadi warga India, Thailand, China, Rusia dll yang tidak menulis dalam huruf Latin, yes, you need to apply for International Driver Licence.


Adapun di Indonesia, walaupun semuanya tertulis dengan bahasa Indonesia, di bagian atas tertulis DRIVING LICENSE. And that's enough. Bahkan mereka juga kaga akan ngerti apa itu A dan C. Tapi jangan coba-coba nyetir mobil kalo cuma punya SIM C ya... bener loh!!

contoh SIM Indonesia dari www.rachmatalamsyah.com

Nah... karena kemarin itu kita perginya rame-rame ber 16, maka mobil yang ditawarkan adalah Ford Expedition Max yang terdiri dari 3 baris + bagasi yang roomy. Muantap memang. Apalagi buat orang Indonesia yang kopernya aja seperti pengungsi. (Padahal pengungsi mah gak mungkin bawa koper logikanya... ya kan?). Tapi.... Efek sampingnya.... ya... mobil ini ukurannya gedhe... segedhe gabon....

Bandingannya begini,
Toyota Alphard            Lebar: 1830mm   Panjang: 4850mm
Ford Expedition Max   Lebar: 2332mm   Panjang: 5608mm

Krasa banget kan gedhenya... padahal Alphard aja gue gak pernah nyetir (iyee... karena gak punya)...


Jadilah sepanjang perjalanan itu isinya adalah kehebohan antara gue dan suami gue. Saat gue nyetir, suami gue yang heboh memberi petunjuk seperti Binagraha. Saat suami nyetir, dia heboh menanyakan apakah dia nyetirnya udah benar atau belom.  Contoh percakapan selama nyetir adalah sbb.:

"Sien, gue nyetirnya terlalu kanan gak?"
"Sien, elu terlalu kanan nyetirnya"
"Sien, jangan kenceng-kenceng nyetirnya, tenang aja"
"Sien, jangan deket-deket sama mobil depan!!"
"Sien, ini kalo belok kanan boleh langsung atau nunggu lampu merah?"
"Sien, kalo lampu ijonya kedip-kedip, gue harus berhenti gak ya?"
"Mama, Sienny jangan diajak ngobrol dulu"
"Anak-anak jangan ribut di belakang, Mommy gak bisa konsentrasi"
"Heh! Anak-anak suaranya bisa kecilan gak?"
"Sienny gak boleh ikut liat kiri kanan"

.....#lah... jadi curcol....

Anyway... setelah semua kehebohan itu, kita toh sukses menaklukkan tantangan baru, nyetir di negara orang yang berlawanan arah dengan kita sejauh 354km+48 nautical mile, dengan selamat (walaupun penuh ketegangan seperti nonton film The Raid--tanpa MadDog tentunya).  Dan kita menjadi stronger team (or at least I hope so).

Yang paling apes adalah, karena ketidaktahuan gue (alias ketololan gue), gue hooh-hooh aja saat kendaraannya diupgrade, ternyata dikenain tambahan biaya upgradenya yang nilainya 2x lipat dari harga awal. Jadilah kita melongo saat membayar karena semua paperworks gue yang tanda tangan (akibat adik gue flightnya terhambat Gunung Raung meletus).

Tapi saat itulah adik gue bilang: "Saat kita traveling, kita selalu memulai hari dengan berdoa -- Tuhan berkatilah kota ini -- .... Gue yakin, saat kita merasa ditipu/dimahalin, ini cara Tuhan memberikan berkat kepada kota ini, melalui kita"...   Amen, brother... Amen... You're amazing...


Kenangan unik - Vancouver Trip
18-20 & 27-29 July 2015

Minggu, 02 Agustus 2015

Diaspora Indonesia

Tau gak arti diaspora? Bukan, itu bukan spora yang ada di tumbuh-tumbuhan pakis-pakisan, walaupun arti dasarnya memang dari terminologi tumbuh-tumbuhan itu. Menurut Wikipedia, diaspora, bahasa Yunani kuno διασπορά, "penyebaran atau penaburan benih") bermakna bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Lebih detailnya bisa dilihat di sini karena gue gak mau berpolemik dengan istilah.


Banyak wacana Diaspora Indonesia saat Dino Patti Djalal jadi Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, menyinggung banyaknya perantau asal Indonesia yang tersebar di berbagai belahan bumi, dan merealisasikan perantau-perantau ini sebagai kekuatan ekonomi baru.

Awalnya gue merasa bahwa diaspora ini hanya gagasan diawang-awang untuk kelas menengah dan kelas atas yang settle di negara tertentu dengan kemampuan ekonomi lumayan (di atas kelas menengah di Indonesia). Atau laksana tycoon-tycoon lokal yang berinvestasi di luar negeri mengembangan emporium bisnis mereka.

Kenapa gue berpikir demikian? Karena terus terang gue susah melihat TKW di level pembantu untuk menjadi bibit diaspora Indonesia. Selain posisi mereka yang (tetap) marginal, aktivitas mereka di Luar Negeri sering menjadi sorotan mengenai penganiayaan dan penelantaran. Selain itu, di dalam negeri sendiri, kegiatan TKW/TKI banyak yang merusak tatanan sosial berkeluarga di kampung halaman dengan maraknya suami nikah lagi karena istrinya cari uang untuk keluarga. (Apes banget dah!)

Tetapi yang gue saksikan di kapal pesiar Disney Wonder saat liburan dari Vancouver ke Alaska bulan lalu mengubah pandangan gue mengenai diaspora ini. Saat kami memulai liburan, kami tidak pernah berpikir bahwa di kapal yang berkapasitas penumpang 2400 orang dengan kurang lebih 1000 awak kapal ini, ternyata selain kami ber 16 yang dari Indonesia, kami ditemani oleh hampir 150 awak kapal orang Indonesia.

Dari 150 awak kapak ini, sebagian besar dari Bali, kemudian Manado, baru Jakata/Bekasi/Bogor. Menurut mereka, dari pihak agen perekrut di Bali, mereka prefer nama-nama Bali atau nama-nama Manado daripada nama-nama yang berbau Muslim karena kemungkinan visa kerjanya keluar jauh lebih kecil apabila namanya berbau Muslim. (Kebenaran info ini walahualam).

Bangga? Pasti. Kebanggaan yang sepertinya sama dari para awak kapal ini, yang selalu bilang, "Biasanya jarang orang Indonesia di sini, sekarang mulai banyak". Dan mereka mereka selalu menyempatkan untuk menyapa kita saat berpapasan dengan kita, atau saat serving kita makanan. 

Henny dari Bekasi sudah di Disney Cruise sejak 2010. Satu2nya server wanita Indonesia di kapal kami.

Putra dari Bali, bertugas di Deck 9.


Begitu pula saat kita duduk di Canada Place, beberapa awak kapal membawa wheelchair lalu lalang berbicara bahasa Indonesia, dan akhirnya kami sapa. Mereka bekerja di Princess Cruise. Dan  menurut mereka jumlahnya awak kapal Indonesia memang lumayan banyak.

Saat anak-anak kami lalu lalang di Deck 9 (tempat outdoor dimana kolam renang hingga tempat makan berada), awak kapal dari Indonesia ini yang menjaga anak-anak kita. Bahkan Greg, si bungsu kami, berteman dengan satu awak Indonesia yang bertugas sebagai server di Pinocchio Pizzeria karena tongkrongan gratis ini adalah salah satu favoritnya (dengan rekor satu hari makan 8 slice pizza -- disamping breakfast, lunch, dinner yang bersama-sama kita).

Menurut gue, kapal pesiar Disney Wonder -- yang mensyaratkan seluruh awak kapalnya terdiri dari 50 negara di dunia (termasuk server group kita Elle dari Australia, Ana dari Spain, dan Head Server Rakesh dari Trinidad/Tobago) dengan jalur kapal dari Canada ke Alaska, hingga Florida ke Bahama -- merupakan melting pot alami dari bagaimana saat ini bekerja bisa lintas negara dan lintas benua.  Dan awak kapal ini, bukan hanya kekuatan ekonomi suatu bangsa, tetapi lebih dari itu, kekuatan sosial dan kekuatan budaya suatu bangsa.

Cuma satu keluhan mereka.... di kapal tidak ada cabe.... (I feel you, guys... I feel you....) 

Kenangan unik Disney Wonder - Alaska Cruise
20-27 July 2015




Jumat, 10 Juli 2015

Oleh-oleh dari Lombok: Asal-usul Suku Sasak

Suku mayoritas yang tinggal di Pulau Lombok adalah Suku Sasak. Awalnya, gue pikir suku Sasak ini adalah suku Bali yang bablas ngungsi lagi (mungkin saat Gunung Agung meletus or so). Ternyata bukan.

Sekali lagi, cerita ini dituturkan oleh Pak Andi, driver kami selama di Lombok. Mengenai kebenaran dan nilai historisnya walahualam.

Suku Sasak aslinya adalah orang-orang Jawa yang menghindari kerja membangun Borobudur (berarti saat wangsa Syailendra di abad ke 8-9), saat agama Buddha berkembang pesat.  Mereka pergi dari selatan pulau Jawa berjalan lurus ke depan... (ke arah Timur).... berjalan lurus, dalam dialek Suku Sasak, disebut Lombok (dibaca sebagai Loumboug, bukan Lombok seperti cabe dalam bahasa Jawa)....  Saat mereka bertemu Pulau Bali, ternyata Bali pun sudah berpenghuni, mereka berjalan lagi, Lombok (lurus) ke arah Timur lagi, sampai bertemu dengan pulau Lombok yang relatif masih belum berpenghuni. Mendaratlah mereka di sini dan beranak pinak.

Adapun nama Sasak sendiri, berasal dari perahu bercadik 2 yang membawa mereka ke tanah baru. Perahu bercadik ini dalam bahasa setempat disebut Sak-sak. Akhirnya dipermudah menjadi Sasak.


Adapun berapa pertanyaan di benak gue (yang gak berani gue tanyakan ke Pak Andi, karena takut ntar gue diturunin di tengah jalan) adalah.. kenapa suku Sasak mayoritas Muslim? Logikanya kalau orang Bali adalah keturunan Raden Wijaya yang belakangan terdesak sejak Gajah Mada moksa setelah Perang Bubat dengan kerajaan Sunda, sehingga orang Bali mayoritas Hindu (match dengan agama mayoritas kerajaan Majapahit saat itu. Bahkan dari segi arsitekturnya, apabila kita melihat gapura Bali, kita melihat ada kesinambungan design arsitektur, antara lain, penggunaan bata merah (seperti yang juga ada di peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto -- Misalnya Candi Tikus).

Beberapa kemungkinan yang ada di kepala gue mengenai agama ini adalah, orang-orang Sasak berlayar saat kerajaan Mataram (entah karena sebab apa) karena Mataram Islam ada setelah Mataram Hindu. Berarti bukan di abad 8-9 exodusnya, melainkan di abad 12-13, setelah Laksamana Cheng Ho datang dan dengan 7 Sunan mengislamisasi Jawa dengan inkulturasi budaya.

Atau, kemungkinan lain adalah... orang-orang Sasak ini awalnya adalah penganut animisme dinamisme (agama asli nenek moyang Indonesia) yang terdesak dengan berkembangnya agama Buddha di abad 8-9 -- yang berarti time frame nya matching dengan cerita Pak Andi, driver kita.  Lalu Islamnya dari mana? Islamisasi nya baru datang belakangan, entah karena keharusan dari Orde Baru untuk mencantumkan 1 dari 5 agama, sebagaimana hilangnya kepercayaan Kejawen, Sunda Wiwitan, dsb.

Apabila kemungkinan kedua yang benar, berarti nyata bahkan di pulau-pulau terpencil begini, kita tidak bisa lepas dari birokrasi yang mencengkeram semua sendi-sendi kehidupan masyarakat.

The truth is out there -- X Files .....

Kamis, 02 Juli 2015

Oleh-oleh dari Lombok: Legenda Putri Mandalika

Dahulu kala,  di Lombok,  ada seorang raja yang mempunyai seorang putri yang sangat cantik jelita,  Putri Mandalika namanya.  Selain cantik,  putri Mandalika juga baik hati dan disayang rakyatnya.

Karena kecantikan dan kebaikan hatinya,  tidak sedikit pemuda yang jatuh cinta,  baik itu dari kaum bangsawan,  maupun dari rakyat jelata.

Apabila pemuda rakyat jelata hanya bisa bermimpi mempersunting Putri Mandalika,  tidak demikian halnya dengan Putra-putra raja dari kerajaan tetangga. 

Singkat cerita,  ada 4 pemuda Putra Raja negeri tetangga yang mengajukan permohonan untuk meminang Putri Mandalika.

Alih-alih bahagia dijadikan rebutan Putra-Putra Raja (seperti gadis-gadis alay jaman sekarang),  Putri Mandalika justru gundah bukan kepalang dengan 4 lamaran tersebut.

Putri Mandalika berpikir,  bila dia memilih salah satu dari pelamarnya,  niscaya kerajaan yang lamarannya ditolak akan marah dan menimbulkan peperangan.  Dan dalam peperangan,  yang sengsara pasti rakyat jelata. 

Walhasil,  setelah berpikir masak-masak,  Mandalika memutuskan untuk terjun dari tebing batu di salah satu pantai di selatan Lombok,  yang kini kita kenal dengan Pantai Mandalika. 

Adapun sebelum Mandalika bunuh diri,  dia sudah berjanji bahwa Ia akan kembali menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk rakyatnya.

Setelah dia ditelan ombak dan karang,  suatu malam muncullah "nyale" ,  cacing berwarna-warni di pantai tempat Mandalika terjun.  Rakyat takjub dengan keberadaan cacing-cacing tersebut,  dan mereka beramai-ramai menangkap cacing tersebut.  Rakyat percaya nyale  adalah perwujudan dan reinkarnasi dari Putri Mandalika. Dan orang percaya dengan janji Putri Mandalika bahwa Ia akan kembali menjadi sesuatu yang berguna. 

Nyale hanya muncul di Pantai Mandalika setahun sekali,  di akhir Februari.  Sampai saat ini acara mencari dan menangkap cacing ini selalu dirayakan tahunan oleh penduduk setempat,  dengan nama "Bau Nyale"  (bau = mencari).  Nyale yang ditangkap dipercaya bisa menyembuhkan penyakit,  dan dikonsumsi. Konon (kata bocah-bocab penjaja gelang di pantai sekitar)  rasanya pun sedap nian.
Saat ini di Pantai Mandalika dibangun patung Legenda Mandalika ini oleh Pemda Lombok.  Dan karena abrasi,  patung sempat ambruk dan dipugar ulang. Sampai saat ini,  di lokasi hanya ada 3 pangeram yang mengejar seorang putri.

*Ditulis ulang berdasarkan cerita dari Pak Andi,  driver Lombok Friendly Tour

Jumat, 26 Juni 2015

Lombok Trips: the Hotels: Novotel Mandalika Beach Resort

Seperti yang gue sempet bilang di tulisan sebelumnya, ada banyak pilihan akomodasi di Lombok.  Mulai dari hotel berbintang yang bertebaran di Senggigi (dan 1 di Pantai Kuta di selatan),  type resort di pulau2 sekitar (gili artinya pulau),  ataupun menginap di tenda di Rinjani.

Nah, kali ini gue ngomongin hotel yang kita kemarin tinggali selama dalam perjalanan liburan ke Lombok.

Yang pertama adalah Novotel Mandalika Beach Resort di Pantai Kuta.  Hotel ini sudah ada sejak pertengahan 1990-an, tapi masih well-maintained. 

Pantai Mandalika yang bersebelahan dengan private beach Novotel ini ternyata adalah lokasi Festival tahunan Bau Nyale yang termahsyur.  Tulisan detail mengenai Bau Nyale bisa dibaca di Legenda Putri Mandalika.

Novotel ini satu-satunya hotel berbintang di Selatan Lombok.  Hotel berbintang lainnya ada di kawasan Senggigi.  Dengan pindahnya Bandara Lombok dari Mataram ke Praya,  maka hotel ini sangat diuntungkan karena jadi dekat bandara. 

Novotel designnya naturalis.  Atap2 dari ijuk meniru rumah asli Lombok yang didiami suku Sasak.  Dominasi warnanya pun terracota.  Selain cottage2 yang berpenampilan tradisional dengan interior modern,  ada 1 main building terdiri dari 3 lantai kamar. Yang kami tinggali,  kebetulan adalah connecting room.  Uniknya,  antara 2 pintu connecting room,  ada 1 pintu luar yg common.  Jadi praktis banget yang bepergian dengan keluarga atau teman dalam group sedang 4-6 orang. 

Kamar mandinya modern,  dan jendelanya bay window dengan cushion yg bisa ditiduri orang dewasa. Jadi kalo pergi ber 3, gak usah nambah spring bed. 

Novotel punya private beach yang tekstur pasirnya seperti pantai Kuta,  yaitu pasir merica warna beige.  Saat sore hari air surut dan terlihat dibawahnya banyak karang.  Gak terlalu sesuai untuk berenang.  Pantai-pantai di Lombok punya titik pasang dan surut yang lumayan dramatis.  Saat surut,  kita bisa dengan mudah berjalan kaki meniti karang menuju batu karang yang menjorok ke tengah laut.  

Pantai ini buat gue adalah pantai simalakama.  Karena kalau sendal gak dipakai,  karang-karangnya tajam.  Kalau sandal dipakai,  pasirnya ambles saat diinjek sehingga sendal kita masuk ke pasir dan lepas dari kaki (akhirnya hilang).  Misalnya punya Jonathan  sendalnya hilang masuk ke pasir di tepi laut.  (Aneh tapi nyata). 

Yang nyaman buat duduk-duduk adalah bale bengong yang terjajar rapi di pantai menghadap  ke laut.  Pas buat ngadem saat matahari terik menyengat. 

Novotel juga punya program pemberdayaan UMKM,  dengan cara memberi tempat gratis kepada para pedagang kerajinan tradisional untuk berjualan kain tradisional,  asesoris,  dan T-shirt bertuliskan Lombok,  dst.  Lokasi  yg disediakan di dekat bale bengong. Dengan syarat mereka gak boleh memaksa dan mengganggu turis.  

Menurut gue ini solusi win-win,  karena pedagang di Lombok itu gigih banget ngintilin kita  sampai kita ngeri. 

Untuk makanan,  karena mereka jauh dari mana-mana,  disarankan makan di dalam hotel saja.  Memang sih rada mahal,  tapi kalau jauh..  Mau gimana lagi?  Ya nggak? 

Bbq dinner buffet Rp. 200.000++/orang dewasa.  Tapi lumayan worth buat big eater.  Kalau nggak,  bisa pilih a la carte dari menu mereka.  

Breakfast included dalam harga yg kita ambil karena kita gak mau ribet.  

Setiap sore jam 17.00 ada welcoming cocktail buat tamu2, dengan canape.  Jangan harap bisa kenyang. Pop corn dan gulali harus bayar 10.000. 

Buat yang bukan  busy travelers,  bisa ikut free day excursion dari Novotel.  Misalnya belanja ke pasar, monkey forest.  Gue sendiri sempat ngikut yoga dan baru tau belakangan kalo kena Rp.  100.000/orang. Dan btw,  cuma kita yg bukan orang asing.  Hehehe.... 

Novotel selalu punya daily schedule untuk excursion begini. Dan caranya seru-seru.  Jadi bener-bener berasa resort.  Kaga usah keluar-keluar juga bisa.  Jalan kaki ke Pantai Seger (dibaca é taling,  bukan e pepet),  Bukit Seger,  Pantai Mandalika,  semua within walking distance.

Kolam renangnya menghadap laut  menimbulkan efek infinity pool.  Antara kolam renang dan pantai,  ada lapangan beach volleyball.  Nah serunya,  kalau pagi,  ada kebo menarik bajak utk meratakan tanah..  Hehehe... 

Ternyata benar instinct gue.  Sebenarnya Indonesia itu bangsa pemuja kerbau...  Hehehe..  Minangkabau,  Toraja,  NTT,  NTB,  semua mensyaratkan kerbau sebagai hewan yang mempunyai peran penting dalam kebudayaan suku-suku nusantara... 

Nanti lanjut cerita ttg asal usul kata Lombok ya..  






Kamis, 25 Juni 2015

Trip Planning: Lombok

Due to so many requests and questions on Lombok Trip Planning,  gue bikin tulisan ini...  Intinya bukan gue kemana nya,  tapi option apa yg available di sana dan how to arrange it.

Jadi gini,  kemarin itu awalnya Julian yg browsing tiket dan hotel. Utk hotel,  Julian exclude Gili Trawangan,  karena for some strange reason,  dia merasa Gili Trawangan isinya cuma bule2 dugem kyk PhiPhi Island,  Thailand.  Dan kita bawa anak2 dan mama,  takut gak suitable.

Jadi Julian booking flight CGK-Lombok via traveloka (recommended!!)  dan cuma ada 2 flight yg direct,  yaitu Garuda dan LionAir (you know lah kita  pilih yg mana...  Kan kita cheapo).  Hehehhe...  Yg banyak itu stop over either di Sby atau Denpasar.  Tp you waste few hours of our precious leave.  Ya gak?

Akhirnya Julian decided booking 2 nights in Kuta (Novotel is the only hotel berbintang di area ini)  dan 2 malam di LivingAsia (north of Senggigi).  Both hotel have private beach.  Novotel isinya lbh banyak bule.  Kalo LivingAsia lbh banyak org Asia (the name is sort of like oracles for the resort). 

Hotel mah disana banyak.  Tapi di Novotel itu ada kamar yg 1 pintu masuk (connecting di dalam),  which we like,  tp di main building lt 3. Kayaknya the best room itu yg cottage2 di bawah dekat pantai (walaupun ada hearsay2 kalo rada2 gimana gitu). 

Kalo di LivingAsia kita dapat kamar yg 1 building atas bawah (sayangnya stairsnya di luar kamar) lengkap dg balcony dan milih ocean view (lbh mahal).  Tp Julian milih begitu (gue juga br tau belakangan)  hehehe..  Masalahnya,  he's busy planning for Lombok holiday,  when I'm busy applying  visa for US and Canada.  Gitu deh. 

Service bagusan di LivingAsia.  Kalo Novotel kyknya mereka lbh serve bule.  Mungkin itu perasaan gue doang.

Nah,  setelah itu,  Julian suruh gue bikin Itinerary utk di sana termasuk rental car.  Tapi krn gue gak terlalu  familiar (dan lebih cocoknya gak punya waktu utk browsing &  study sih),  jadi gue came across Lombok Friendly Tour and Travel.  Karena di Trip Advisor bagus,  nggeus wae gue email dia.  Btw gue terakhir ke Lombok itu 1996 amd many things have changed since then.

Contact Lombok Friendly Tour : Aziz +6281805245246 (owner),  dan Andy 08175767708 (driver)

Nah,  gue explain,  gue ama siapa aja,  usia berapa,  ber berapa,  kapan sampe kapan,  flight jam berapa dll. Dan gue specify,  gue gak mau monkey forest,  gak mau Sasak Tour,  gak mau peternakan mutiara,  penentuan,  dll.  Gue mau alam,  pulau,  hiking.

Jadilah dia nongol dg Itinerary sbb (lihat foto) .  Dan utk last day gue pilih Rinjani waterfalls as supposed to Gili Trawangan.

Menurut gue pake lokal tour operator save so many hassle misalnya nego ama tukang kapal,  (temenku baru kena tipu,  1.5jt large boat for 16 to Gili Trawangan,  jd dikasih medium boat)  - - -  FYI,  nyebrang dg Ferry umum ke Gili Trawangan cuma kena 25rb per orang sekitar 30mt. (speedboat 10mt). Lah..  Kan males banget tuh...

Kalo kalian keen of hiking to the summit of Rinjani,  mention that too..  Paket mereka bisa 2 malam 3 hari: Senaru - Segara Anak -  Summit -  Sembalun. Pergi dan pulang beda path.  Lengkap dg lokal guide,  porter,  bakar ikan di segara anak. Bahkan mereka bisa siapin tenda,  sleeping bag,  dll.  Kita tinggal bawa badan.  Yah..  Kemping2 ala usia 40+ deh..  Elit dikit...  (damn,  did I just disclose my age in my blog??!!  Arrgghhh)

Anyway..  Lombok is an exciting island that has been less explored.  Jadi di Selatan ada pantai2 indah Tanjung Aan dan Selong Blanak yg gue saranin.  (lihat blog gue di siennysentosa.blogspot.com).  Trus di Barat Daya ada Gili Nanggu,  Gili Kedis,  Gili Sudak,  Gili Tangkong (Gitanada: GIli TAngkong NAnggu suDAk),  yg bagus Gili Kedis dan Nanggu.  Kalo mau nginep di Nanggu juga  ada...  Terpencil banget..  Di Timur ada Rinjani.  Di Barat Laut ada Gili Air,  Meno,  Trawangan (yg lebih dulu ngetop).

This island gak habis2 exploring nya..  Dan again,  gue recommend pake lokal tour..  Hehehhe...

Thanks Hani Idajanti udah jadi pemivu tulisan ini,  and Igor Govinda Juwono,  this is for you.

Let me know how your itinerary turns out to be ya..