Senin, 10 November 2014

Glorified Violence

Renungan Hari Pahlawan (telat posting) ini sudah ada di kepala selama beberapa waktu,  tapi baru sekarang dituliskan.  Mengapa orang Indonesia kalo gak suka sesuatu adanya rusuh,  bukan ngomong Baik-baik.  Kalau tidak setuju dengan sesuatu,  tipikalnya kita akan bilang "iya"  di depan,  kemudian bikin rusuh di belakang.  Apakah karena kita gak cukup punya keberanian untuk berkata "tidak" di depan orang yg tidak kita setujui?  Atau kita terlalu terpaku untuk tujuan membahagiakan orang lain (dan membuat diri sendiri tertekan)? 

Apa arti pahlawan?  Orang yang berjuang demi nusa dan bangsa.  Itu jawaban standard. 

Pertanyaan berikutnya adalah,  sebutkan nama-nama pahlawan yang kita kenal!  Jawabannya mungkin Pangeran Diponegoro,  Imam Bonjol (Peto Syarif),  Pattimura (Thomas Matulessy), Bung Tomo,  dll.  

Biasanya jawaban yang masuk adalah pahlawan (atau orang yang diberi gelar pahlawan)  karena sudah berperang angkat senjata di era kemerdekaan.  Sangat jarang (bahkan langka)  orang menyebut Sutan Syahrir, Bung Hatta,  apalagi Tan Malaka,  apalagi macam John Lie. 

Padahal jalur diplomasi politik itu sangat penting untuk menjadi berdaulat (diakui oleh negara lain), krusial,  tapi diabaikan bobot perjuangannya. Bahkan saat kita merdeka 1945 itu,  negara-negara Barat belum melihat kita sebagai negara berdaulat.  Mereka masih mengakui pemerintahan kolonialisme Belanda.  Makanya 1947, 1948, 1949 berturut-turut masih ada Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville,  Konferensi Meja Bundar. 

Menurut gue sih, ini akibat brainwash orde  baru,  dimana gelar pahlawan diberikan selektif dengan dasar politik.  Jadi ya,  ada yg benar-benar ikut berjuang demi Nusa dan bangsa,  tapi bukan dari jalur perang fisik,  rada diabaikan.  Dan "kekuatan"  fisik ini,  diabadikan dalam tubuh TNI terutama Angkatan Darat,  dimana mantan Presiden kita sempat berkiprah sebelum naik ke tampuk pimpinan secara kontroversial dengan Supersemar nya. 

Memang sih,  dari jaman Mataram Hindu, Singasari,  Majapahit,  Mataram Islam,  semua pergantian tampuk pimpinan berdarah-darah.  Ken Arok yang orang kebanyakan merampas keris buatan Empu Gandring,  membunuh pembuat Keris,  membunuh Tunggul Ametung,  mengawini istri Tunggul Ametung,  Ken Dedes,  walau akhirnya terbunuh dengan keris yang sama.  

Jayanegara juga beberapa kali di goyang Makar selama tampuk kepemimpinannya.  Bahkan Perang Diponegoro adalah perebutan Tahta antara Diponegoro (sulung yang merasa lebih berhak atas tahta)  dengan adiknya (yang didukung Belanda sebagai manifestasi Politik Devide et Impera). 

Imam Bonjol dalam perang Paderi bahkan adalah pembunuhan umat Islam oleh kaum Paderi (kaum berjubah dan berkorban yang merasa Islam nya lebih murni daripada kaum yang Islam nya bersarung).  ~ mengingatkan gue akan nasib pemeluk aliran Ahmadiyah,  Syiah, dll yang non Suni  dan non Wahabi. 

Bung Tomo yang merupakan tokoh sentral hari Pahlawan kali ini pun,  adalah tokoh diskriminatif yang membenci orang-orang Cina, Tionghoa. Yang mungkin belum tahu,  bahwa sejalan dengan perlawanan terhadap Belanda,  juga ada pendarahan terhadap Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya,  dengan alasan orang Tionghoa adalah antek Belanda.  ~ bandingkan dengan peristiwa Mei 1998 di Jakarta,  dimana banyak penjarahan dan pemerkosaan etnis Tionghoa yang bahkan hingga detik ini tidak diakui oleh pemerintah. 

Begitu banyak sejarah kelam,  yang tidak berani disuarakan,  sehingga tidak pernah kita belajar dari masa lalu. Kita abai.  Dan seperti keledai bodoh,  berulang-ulang terperosok dalam lubang yang sama.  Lubang pendewaan terhadap kekerasan. Merasa kekerasan adalah satu-satunya jalan menuju cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu masyarakat adil makmur sentosa.  

Nama pahlawan orang Cina pun,  kita gak bermimpi akan disorot khusus.  Bahkan cenderung ditutup-tutupi,  dan gak pernah disebut di buku sejarah kita (ya kan?)   sehingga kesannya,  Cina-cina ini cuma numpang hidup di sini,  mau enaknya tapi penghisap darah masyarakat pribumi, pengkotak-kotakan yang didengung-dengungkan sejak era orde baru dan sukses dipakai hingga sekarang. 

Jasmerah ~ kata Bung Karno.  Jangan sekali-kali melupakan sejarah.  Tapi sejarah macam apa yang kita ingat - ingat?  Karena bahkan  buku sejarah adalah sumber kebohongan terbesar jati diri kita sebagai suatu bangsa.  

Sampai kapan? 


Tidak ada komentar: