Selasa, 22 September 2015

Monolog Sunyi (2)

Selamat pagi,  Tuhan.  Maafkan aku,  kalau pagi ini aku menyapaMu tergesa.  Aku mau sepedaan,  Tuhan.  Aku rindu gowes.

Satu hal,  Tuhan,  kemarin mertua sopir meninggal.  Hari ini dia datang untuk pinjam uang,  Tuhan.  Jumlahnya 2 bulan gaji UMR.  Katanya untuk tahlilan 7 hari. 

Benarkah Tuhan,  untuk memujiMu tidak cukup hanya dari apa yang kami punya?  Harus dari apa yang kami tidak punyai,  pun kami persembahkan untukMu? Betapa menuntutnya Engkau, Tuhan??!!

Pendoa-pendoa akan datang.  Dan mereka akan berdoa seharian,  dan semalaman,  katanya.  Dan setelah itu mereka harus dibayar untuk jerih payah mereka mendoakan arwah yang berpulang.  Aku ingat waktu SD,  berdoa = bercakap-cakap dengan Tuhan.  Sampaikan untuk bercakap-cakap denganMu saja harus melalui pihak ketiga,  dan harus bayar,  Tuhan?  Betapa komersialnya diriMu yang Maka Kuasa, betapa mahalnya dirimu Maha Murah.

Bapa,  apakah mendoakan yang mati,  yang katanya sudah berpulang pada Dikau,  sampai lebih penting  dan lebih utama daripada menjamin yang hidup bisa hidup layak?

Benarkah kita ingin memuliakan Allah?  Atau jangan-jangan semua itu hanya kedok untuk memuliakan diri sendiri?

Ya sudah,  Tuhan.  Sepedaku sudah menanti.  Besok atau lusa atau entah kapan,  aku pasti akan menghadap dan curhat lagi.

Cibubur,  23 September 2015

Sabtu, 19 September 2015

Monolog Sunyi

Selamat pagi,  Tuhan, apa kabarmu hari ini?  Hari masih kelam, bukan hitam,  seperti yang dibilang orang-orang,  Tuhan.  Langit ungu,  seperti warna liturgi saat-saat sedihMu.  Kenapa,  Tuhan?  Adakah setiap hari adalah penderitaan?  Karena setiap hari ada kekecewaan?

Kulihat umatMu menghadap Engkau.  Mengendap-ngendap dalam keheningan.  Apakah yang mereka cari.  Ngalap berkah kah?  Atau sekedar gugur kewajiban?  Benarkah mereka sungguh rindu Dikau seperti Engkau rindukan kami, rindu kami untuk bertobat kembali ke hatiMu?

Pagi ini,  Tuhan,  beberapa anak terkantuk di bangku Gereja.  Mungkin mereka lelah.  Atau juga bosan.  Beberapa umatMu datang terlambat.  Mungkin mereka sibuk bersiap-siap,  untuk pergi ke lain tempat hari ini.  Karena Misa adalah Prelude dan Foreplay dalam keriangan akhir pekan?

Saat mereka memasukkan tangan ke kantong kolekte..  Apakah yang ada di benak mereka,  Bapa?  Adakah jiwa seperti kaum farisi,  ataukah janda miskin?  Kutahu beberapa meremas-remas persembahan mereka sampai lumat.  Karena mereka malu dengan nilai yang hanya 3 digit angka nol. 

Yakin,  Engkau sayang kami semua dengan sama,  Tuhan?  Tanpa melihat jumlah yang kita persembahkan?  Bisakah kami persembahkan kekecewaan-kekecewaan kami?  Ketakutan-ketakutan kami?  Dosa-dosa kami?

Tuhan, pagi ini aku berlutut dengan hati yang menderu.  Kekecewaan yang kutahan,  untuk hal-hal yang mungkin kecil dan sederhana.  Yang jelas tidak sebesar pengorbananMu yang kadang kelihatan sia-sia.

Betapa sulit untuk beroleh "damai"  dan "sejahtera"  saat hidup masih dipenuhi ekspektasi.   Tetapi bukanlah manusia hidup dari harapan,  Tuhan?  Bahkan Santo Paulus menulis pada umat di Korintus,  3 yang terbesar adalah Iman,  Pengharapan,  dan Kasih?

Ya sudah,  Tuhan.  Biarlah misteriMu menjadi misteri kekal yang abadi. Sebagaimana perang terdahsyat yang tak berkesudahan yang sering hadir dalam gelapnya bathin kami?  Peperangan yang tiada seorang pun tahu?  Saat kita masih bisa menyungging senyum di wajah.

Cibubur,  20 September 2015

Jumat, 11 September 2015

Ngebut !!!

Entah kapan gue nulisnya, ternyata ini ada di file-file gak jelas yang gue mau delete, ternyata ada tulisan begini (tanggal filenya 21 Des 2010):

Saya lahir di Surabaya di keluarga besar dimana 1 mobil Fiat dipakai oleh seluruh saudara ayah, dari tante, oom, papa, mama, kakek, nenek. Saya sendiri bersama kakak, selalu ke sekolah dan les naik becak.  Waktu SD kelas 1 dan 2, dikarenakan di sekolah jam belajarnya singkat, papa suka menjemput saya dengan Vespa-nya.  Waktu kecil, posisi bonceng saya adalah berdiri di depan papa. Serasa seru sekali saat angin menerpa wajah dan rambut.  Ketika saya mulai beranjak besar (benar-benar besar karena badan saya bongsor), papa menolak memboncengkan saya karena saya tidak bisa membonceng  miring ala cewe.  Sejak saat itu, apabila mobil keluarga dipakai, saya kemana-mana naik becak, mulai dari sekolah, les, senam, dll. Saya bahkan punya becak langganan.
Saya  mulai belajar menyetir mobil kelas 1 SMA. Kursus mengemudi selama 10 jam hari Minggu pagi, menjadi turning point saya untuk mulai bepergian dengan moda transportasi selain becak tanpa harus tergantung dengan jadwal sopir. Mobil pertama yang diserahkan adalah Honda Life warna merah hati bekas dipakai oom.  Mobil ini sempat mencium roda belakang becak saat pulang dari extrakurikuler di sekolah Minggu pagi.
Setelah itu Honda Accord biru lagi-lagi bekas dipakai oom.  Mobil ini sempat membuat saya dimaki- maki dari sopir yang kebetulan saya salib ditengah genangan saat berangkat pagi ke sekolah. Mobil saya diberhentikan dengan dipepet dan sopir itu marah-marah karena dia menjadi basah kuyup karena dia menyetir dengan jendela terbuka. 
Dasar tomboy, saat menunggu keberangkatan kuliah di luar negeri, saya dan 2 sobat SMA sempat mengikuti City Rally memakai mobil Honda Accord Prestige warna merah metalik milik keluarga dengan ditempeli stiker nomor kepesertaan. Dan (apesnya) berpapasan di jalan sama papa. Sejak saat itu, setiap pemberitahuan perpanjangan Kartu Ijin Start dr IMI datang saat saya di luar negeri, surat tersebut disobek-sobek oleh papa tanpa dibuka.
Saat kuliah di luar negeri pun, saya dibelikan Honda Accord Cielo warna hijau, dan merupakan sahabat saya berkelana ke luar kota sendirian. Teman setia saya adalah pendeteksi radar polisi penangkap mobil yang melewati batas kecepatan.  Dengan mobil ini, saya menuai speeding ticket sebesar USD 132, yang dengan berat hati saya bayar sesaat sebelum pulang ke Indonesia setelah kelulusan. Mobil ini pula yang pernah saya bawa tertidur di highway yang mengakibatkan mobil saya terperosok ke jalur tengah akibat keasyikan memakai cruise-control pada kecepatan 80mph.
Sekembalinya saya ke Indonesia, saya langsung memperoleh pekerjaan di Jakarta dan tinggal menumpang di rumah tante. Lagi-lagi dipinjami mobil Mazda warna abu-abu yang hebatnya, masih bisa dibawa mengebut memasuki tol dalam kota (yang waktu itu belum terhubung, masih terputus di daerah Pluit – Ancol – Priok).
Tidak lama setelah banjir, kantor melego beberapa mobil BMW yang terendam banjir dengan diskon lumayan, maka mama membelikan mobil tersebut (yang setelah discount, harganya jadi beda tipis dengan Toyota Corolla) untuk saya. Mobil BMW 320 warna biru ini benar-benar menyenangkan dibawa mengebut. Sunter – Bandara via tol bisa ditempuh hanya dengan 10 menit subuh-subuh. Itupun setelah menabrak cone orange yang entah mengapa teronggok di sisi kanan jalan tol bandara.
Sayangnya si gesit lincah ini tidak lama saya miliki. Saat kerusuhan 1998, mulailah saya berpikir untuk memiliki mobil yang tidak menyolok dan tidak menjadi incaran massa apabila terjadi kerusuhan serupa. Jadilah saya beralih ke Isuzu Panther warna merah. Dasar biasanya menyetir sedan, saya hampir menabrak pembatas jalan di tol Ancol arah Jelambar karena tikungan tajam dan saya terlambat membanting setir, serta tidak berusaha memperlambat Panther saya.
Sejak punya anak, kriteria saya untuk mobil sudah berubah dari “yang bisa ngebut” menjadi “yang besar”. Suami saya sering menggoda saya, lain kali akan dibelikan ELF yang dipakai travel Jakarta-Bandung supaya bisa mengangkut semua teman-teman dan anak-anak serta pembantu-pembantu. Itupun tidak mengurangi hobi ngebut saya, walaupun roda belakang saya pernah ngacir lepas saat membawa anak-anak. Untungnya anak-anak duduk di carseat, sehingga aman.
Terakhir setelah melahirkan anak ke 3, suami sempat memberi opsi: mau sopir atau mau X-Trail bekas suami. Dengan cepat saya menyahut: MAU X-TRAIL!! Dan melanjutkan hobi mengebut di jalanan Jakarta yang macet dan padat. Lain kali kalau orang tua yang lain memaki-maki mobil saya yang ngebut mengantar anak ke sekolah, harap maklum…. Yang nyetir mantan pereli.

Hehehe... X-Trail gue udah gak bisa dipake ngebut lagi 5 tahun setelah tulisan ini gue buat... gue berharap dapat lungsuran ... Pajero Sport...