Sabtu, 23 Januari 2016

Elegi Dini Hari

Awan menyembunyikan bulan pucat yang bersinar malu-malu. Pendarnya tak mampu menyaingi  kelam yang masih berkuasa di langit. Lampu-lampu jalanan hening menyala. Seakan enggan menggeliat bangun menyambut hari.

Picture of last night's moon - courtesy of Jugono Widjaja from his Facebook page

Hawa dingin menyelinap menusuk pori. Bahkan di dalam kendaraan yang tertutup, masih nyata bekunya. Dari dalam hatikah asal mula beku?


Gereja dan Masjid menggeliat dengan umat, yang berduyun-duyun datang. Mereka lah yang berhasil memberontak dari cumbu rayu dan pelukan selimut hangat dan dekapan bantal yang sintal. Menolak kemapanan dan kenyamaan membelenggu mereka.


Mereka yang lain bilang: agama adalah candu. Ah, tahu apa mereka tentang agama? Bukankah Engkau yang menjadi candu kami? Selalu memikat dan menawan hati. Bagaikan laron-laron yang menari menuju cahaya, mendekat, lalu moksa.


Sungguh aku benci kata menawan. Seakan Engkau yang segala Maha menjadikan kami tawanan. Tetapi, bukankah kita adalah tawanan sepanjang hidup? Tertawan oleh pekerjaan, oleh media, oleh nilai sosial, oleh komitmen, oleh penyakit, oleh kesedihan, oleh kenangan?


Ada yang bilang, Engkau ingin kita bebas, Engkau memerdekakan. Tidakkah ironis kalau kita menjadi tawananMu yang hendak membebaskan kami dari maut?


Mungkin juga kita korban Stockholm Syndrome. Yang selalu ingin bersama dengan penyandera kita, dan merasa penyandera kita sebagai pelindung kita? Adakah manusia menikmati menjadi sanderaan walau berteriak-teriak ingin kemerdekaan?


Di sisi lain di kota ini, geliat manusia di resto fast food 24/7 mulai tampak untuk mempersiapkan hari. Juga pramuniaga swalayan menahan kantuk menjelang usai jam kerja. Satu-dua berjalan pagi mendahului sinar surya, mungkin takut kerusakan ozon menjadi penyebab kanker kulit.


Dan purnama terus turun, kali ini menggantung di bawah awan-awan rendah. Memancarkan sinar lebih bercahaya. Mungkin dia juga sudah lelah berjaga semalaman melihat lelap manusia. Dan langitpun semburat indigo menyambut hari.

24 Januari 2016

Jumat, 22 Januari 2016

Journey of Faith

I trust that faith has its ups and downs in everyone's life. Even mine. Even a Father. Even Christ's Disciples.

And amazingly, sometimes the worst incidents in my life, when I reflected back, is also the highest point of my faith.

Gue adalah korban baptis dewasa... (((korban!!!)))... yaitu saat SMA kelas 1. Krisma saat SMA kelas 2.

Saat tahun pertama pergi kuliah, tahun itu juga merupakan tahun meninggalnya Papa. 24 tahun yang lalu (iya, tua! Diam kau!!)... Dan saat itu, aku dikelilingi teman-teman sesama mahasiswa Indonesia, sehingga dalam saat yang paling rendah, aku merasa Tuhan hadir dalam diri mereka. Sahabat dari Emaus. Dua kakak beradik menemani tidur semalaman, dan mengurus tiket hingga paspor sampai aku kembali ke tanah air ke hadapan peti jenazah papa.

Dan selama dalam perjalanan studi, ada 1 Romo Jesuit yang saat itu sedang bersekolah di University yang sama seperti Alicia Keys (suer!!!)... sebut saja si Bunga.... (lahhhhh!!) ...... si Bunga dengan wibawa, kharisma, dan kepandaiannya (Jesuit, gitu loh!) mengumpulkan gerombolan umat Katolik di Amerika dalam mailing list khas Katolik.

Sekalinya retret bersama dengan anggota mailing list, yang saat itu dipimpin si Bunga, gue didhapuk jadi organis, karena organis yang awalnya bersedia ternyata gak datang. Dengan tertatih-tatih, gue main beberapa lagu karena sudah bertahun-tahun tidak memegang organ, selain memang gak tahu partiturnya, wong gak pernah jadi organia gereja.  Ndilalah sebelum Misa mulai, Romo Jesuit a.k.a Si Bunga, dengan indahnya memainkan beberapa lagu dengan teknik yang jauh di atas gue. Langsung minder pala barbie....

Buat gue yang gampang kagum dengan orang pinter, si Bunga ini bagaikan Romo setengah malaikat. Sudah pinter, bijaksana, pinter main organ, jago komputer dan jago komputer networking, dan (ini yang penting) bisa menggerakkan orang-orang untuk satu common goal.

Kesempatan lain yaitu retret bersama-sama dengan beberapa Romo Jesuit dan Romo lainnya, yang sama-sama di Amerika Utara, dan makin paham memang Romo-romo Jesuit itu cerdas-cerdas, pintar-pintar, dan belajarnya aneh-aneh (well, orangnya juga rada aneh-aneh sih, pada strong personalities semua).

Walaupun wali baptis gue sesungguhnya adalah guru agama saat SMA (yang saat ini entah kemana, ada rumour bila beliau sudah menjadi suster biarawati), tetapi deep-down inside my heart, gue merasa wali baptis gue sesungguhnya yang mengawal iman gue di saat-saat jauh dari 'rumah' itu adalah Romo-romo Jesuit ini. Terutama Si Bunga dan Romo Bas, yang saat ini menjadi pengajar di Sanata Dharma.

Setelah gue lepas bangku kuliah dan kembali ke tanah air sebagai kuli kapitalis, gue hilang kontak dengan Romo-romo tersebut.

Beberapa waktu lalu karena group whatsapp, mendadak saya terhubung lagi dengan Romo-romo Jesuit. Dan kemarin, terhubung dengan si Bunga. Duh... girangnya seperti ketemu sahabat lama. Guardian angel, bahkan.

Kemudian terbaca: "Saya di JKT. Sienny jangan kaget ya. Sejak Th 2006 Saya Sdh meninggalkan Serikat Yesus. Memang imamat belum dicabut Karena perlu proses yg panjang..........(truncated messages)"....

Saat itu, serasa dunia runtuh. My angel, guardian angel, ternyata Romo juga manusia. Romo adalah semanusia-manusianya manusia, walau kadang kita menganggap dia sebagai setengah malaikat.

Part of me is crushed, all that I believed, all the goodness in a Father, all the teenage idealism in me wants to scream. But another part of me, as a friend, as an old acquaintance, I want to congratulate him for finding what his heart desires. I want to respect his decision to be in charge with his own live, and at the same time pray for his happiness and his successful future ventures.

*nangis dulu*
*dasar cengeng*
*mungkin ini hormonal*
*mungkin juga karena kerjaan juga sangat menyita waktu dan mengecewakan*
*ambil napas panjang*

(Drama - drama - drama - drama - drama)

Today, I admit, was one of the lowest point of my life. But as I experiences many times, hopefully it will be the highest point of my faith.

Faith that God has provided different paths for us all, at times much better than our chosen ones.

Faith that Father is also human with their strong and weaknesses. And not (contrary to my belief that) all Fathers that left their ordinations, are doing it for worldly pleasure. And even if they are, they are not a bad person. They are still the kind and considerate person that they were in the first place. And who are we to judge those who have dedicated some parts of their life to God and for God only?

Pray for your well-being and happiness, Father Bunga....

Kamis, 07 Januari 2016

Memahami Tubuh - Body Journey

Tubuh kita adalah satu-satunya wadah jiwa kita selama hidup kita di dunia ini, at least saat ini (buat mereka yang percaya konsep reinkarnasi), jadi sudah layak dan sepantasnya kita menyayangi tubuh kita ini, sampai nanti kita beralih ke dunia lain, yang entah seperti di siaran televisi atau nggak.

Logis kan?

Kalo memang menyayangi tubuh kita ini logis, kenapa banyak orang membenci tubuh mereka? Mereka tidak puas dengan tubuh yang mereka bawa-bawa. Mereka mengharapkan paha yang lebih kecil, dada lebih besar, pipi lebih tirus, pinggang lebih ramping, ... dan ketidakpuasan lain.

Terima kasih industri kecantikan dan kebugaran yang meraup trilyunan rupiah tiap tahunnya, di atas ketidakpercayaan diri manusia. Kuncinya adalah makin tidak percaya diri, makin banyak potensi uang mengalir ke kantong-kantong perusahaan tersebut. Jadi dibuatlah semakin hari, standar kecantikan yang makin lama makin tidak masuk akal. Mata besar, rambut pirang, dada besar dan bundar yang anti gravity, kaki langsing tak berdaging, kulit cerah. Itu manusia atau boneka Barbie?

Yang lebih sedih lagi. Tubuh kita yang cuma sementara ini, kemudian seakan lebih penting daripada jiwa yang mendiaminya. Ibarat kata, kita minum kopi, tapi gelasnya yang kita bagusin terus, padahal isinya ya cuma kopi campur jagung yang beli kiloan curah (yang juga banyak orang suka, mind you). Pun penyajiannya dingin dan pahit.

Bukankah lebih nikmat minum kopi arabica kelas 1 yang disimpan bertahun-tahun, slowly roasted to golden brown, grind to fine powder sesaat sebelum diseduh, dan disesap sesaat setelah diseduh, walau hanya disajikan di wadah sederhana, misalnya gelas jadul.

Aku sendiri, butuh waktu lama untuk menyayangi tubuh ini... dan butuh waktu lebih lama untuk menyayangi jiwa ini. Sampai sekarang pun masih struggling dengan body-image acceptance dan soul-loving. Mungkin karena dari kecil gue gendut, dan sering jadi olok-olokan lawan jenis saat SMP -- bahkan saat reuni terakhir. (Ternyata dinamika remaja itu: gendut diolok-olok, kurus diolok-olok, item diolok-olok, putih diolok-olok, NASIBBBB!!!)

Dan setelah histerektomi lebih dari setahun lalu, gue memecahkan rekor dengan naik 5kg dalam setahun TANPA HAMIL!!! Apalagi kesibukan pekerjaan dan anak-anak mengakibatkan olahraga terlantar (disamping ibu-ibu penguasa treadmill yang bisa back to back 2 jam menguasai 1 treadmill tanpa perduli yang ngantri, yang sekaligus merangkap ibu-ibu penguasa remote control yang mengakibatkan gue males ke gym).

Selain itu, cedera bahu yang mengakibatkan kekuatan tangan turun, juga nyeri di pinggang kiri, sehingga menyulitkan bila harus melakukan yoga yang banyak bertumpu di tangan, atau melakukan gerakan membungkuk dan berdiri berasa,, oh so painfully bliss.... Mungkin juga ada unsur bosan karena sudah yoga lama tapi kalah sama Utami Dewi yang ikut yoga sekali langsung handstand...

Walhasil, gue kembali ke kebiasaan sedentary ala persahabatan .... (karena persahabatan bagai kepompong --- iya gue garing!) .... Sampai ketemu dengan Graceline Sinaga yang mengajar yoga di rumahnya.

Karena nyaris privat, seluruh gerakan yang kurang tepat dibetulkan sehingga mengurangi nyeri dan sakit di shoulder dan pinggang kiri. Misalnya gerakan sesederhana downdog, dia tarik-tarik pinggul kita ke atas seakan-akan mau digantung di langit-langit. memangnya gue lampu?  Tapi berkat ticer cantik satu ini, gue melakukan yoga dengan baik dan benar.

Tapi level keimanan gue terhadap yoga (ya Tuhan, ampuni aku yang murtad) benar-benar naik gila-gilaan sejak follow Instagram @crazycurvy_yoga yang biarpun chubby tapi sangat flexible dan strong.

Selain itu, karena scoliosis, belakangan kerasa banget punggung atas hingga shoulder ini sangat stiff gila-gilaan. Jadilah gue sering berusaha backbend di pinggiran kasur (dengan 7/8 tubuh tetap berbaring dengan nyaman di kasur, of course). Dan usaha-usaha ini bukannya mengakibatkan lebih enak tension di punggung atas, tapi makin menjadi-jadi. :'( ... huhuhu... Belakangan gue berusaha tidur dengan ganjelan handuk di belakang leher, tanpa bantal... tapi jadinya malah ngoroknya kenceng sampe diprotes Julian.

Hari ini, gue mulai yoga di kelas yang biasa gue ikutin. Gue amazed karena udah lama gak ngikut yoga yang full gerakan selama sejam dengan variasi yang 'lumayan'. Memang as predicted, ada beberapa  gerakan yang biasa bisa, kali ini gak bisa, karena kekuatan tangan yang melemah.  Tetapi amazingly, ada beberapa gerakan yang dulu gak bisa, sekarang malah bisa. Yang dulu uglig-uglig sekarang stabil. Puji Tuhan...

Yoga juga meyakinkan aku bahwa tubuh kita gak simetri. Tumpuan kaki kananku jauhhh lebih kuat daripada tumpuan kaki kiri, misalnya. Gak usah ngomong punggung dan gerakan yang melintir. Ingat scoliosis, trus ingat anak gadis yang meninggal setelah mengikuti chiopratic membuat gue bertahan dalam gemetar ....

Anyway busway... gue berterima kasih pada Tuhan yang memberi gue badan segedhe kebo... karena ini adalah tubuh yang kuat menyangga dan menggendong ketiga anak-anak yang dulu lucu sekarang garing. Tubuh yang membawa aku berpetualang ke tanah-tanah jauh seperti Dora the Explorer. Tubuh yang diberi kecerdasan diatas rata-rata sehingga gak mudah termakan fitnah, cuma termakan fitness.

Sekarang tantangannya adalah bagaimana menjadikan yoga sebagai gaya hidup, padahal gue omnivora dan doyan makan.

Biarlah hal-hal ini menjadi misteri Illahi...