Rabu, 29 Oktober 2014

Terimakasih atas Dosa


Tulisan ini bukan mengacu kepada agama tertentu, walaupun Katolik sebagai agama yang gue yakini, sedikit banyak akan memberi 'warna' pada tulisan ini. Tulisan ini lebih pada refleksi pribadi tentang dosa dan manfaat dosa. Manfaat? Iya.


Mana ada manusia yang tidak berdosa? Semua manusia sebagaimana menginspirasinya dia, pasti mempunyai kelemahan, kelemahan manusia itulah yang menjadikan manusia jatuh ke dalam dosa. Bahkan secara teologis, bayi begitu lahir pun sudah berdosa. Yaitu mewarisi 'dosa asal' dari Adam dan Hawa sebagai kakek dan nenek moyang, yaitu melanggar perintah Tuhan untuk tidak makan 'buah terlarang' yakni buah pengetahuan baik dan buruk. Begitu kata guru katekumen (kursus persiapan baptis Katolik) dulu.

Apa sih definisi dosa? Dosa adalah perbuatan / pikiran yang menjauhkan manusia dari Allah, dan merusak hubungan sesama manusia, dan dilakukan dengan bebas (tidak dalam paksaan), sadar (tidak dalam keadaan terbius), dan tahu (bahwa yang dilakukannya adalah salah). Itu definisi dosa menurut agama Katolik.

Dari definisi di atas, akan ada 2 kriteria mendasar: 
1. menjauhkan manusia dari Allah
2. merusak hubungan sesama manusia.

Bahkan lebih jauh lagi, 10 Perintah Allah yang diterima oleh Nabi Musa di Gunung Sinai pun, bisa dibagi 2.

No. 1-3 termasuk yang menjauhkan manusia dari Allah

1. Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepadaKu saja, dan cintailah Aku lebih dari segala Sesuatu
2. Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat
3. Kuduskanlah hari Tuhan


Adapun no. 4-10 merusak hubungan sesama manusia (dan menjauhkan manusia dari Allah)
4. Hormatilah ibu-bapamu
5. Jangan membunuh
6. Jangan berzinah
7. Jangan mencuri
8. Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu
9. Jangan mengingini istri sesamamu
10. Jangan mengingini milik sesamu secara tidak adil


Sekarang ambillah contoh A, seorang wanita yang pakaiannya seksi, merokok, mungkin juga gak pernah beribadah yang kelihatan orang ataupun bahkan seorang ateis/politeis sekalipun, liberal secara seksual. Siapa yang dirugikan? Masalah dosa itu urusan Tuhan toh. Apalagi bila dalam karya-karyanya, wanita ini memang sangat sosialis dan punya keperdulian tinggi pada orang miskin dan punya empati tinggi untuk orang yang berkekurangan, ringan tangan untuk memajukan orang lain.

Kebalikannya, contoh B, wanita lain, yang pakaiannya sopan, tertutup rapat, beribadah supaya terlihat orang, dan kelihatan seperti istri baik-baik, tetapi gemar korupsi yang berujung pada kesengsaraan orang lain. Dosa juga sih. sama-sama dosa. Tapi dosanya gak cuma terhadap Tuhan, tapi juga terhadap sesama.

SAYANGNYA..... di masyarakat kita yang sakit ini, B inilah yang lebih diterima di masyarakat. Orang seakan-akan memicekkan mata terhadap fakta bahwa dosanya gak cuma ke Tuhan, tapi juga ke sesama. Adapun A akan diungkit-ungkit terus dosanya yang menyakiti Tuhan. Bahkan kita pun gak tahu, apakah Tuhan tersakiti dalam proses dosanya itu.

Bila gue sendiri ditempatkan dalam posisi memilih menjadi A atau B, gue akan memilih menjadi A dan menanggung dosa sendirian, daripada menjadi B. Tentunya akan sangat ideal bila kita bisa menjadi wanita alim, istri baik-baik, berpakaian tertutup rapat, rajin beribadah, dan juga philantropis, dermawan, menginspirasi banyak orang, dan membantu banyak orang miskin. Tapiiii.... biasanya yang serba sempurna ini akan jatuh ke dosa lain. Dosa KESOMBONGAN ROHANI, bahwa dirinya lebih baik dari orang lain, dirinya sempurna, bahkan mungkin berasa lebih sempurna dari Allah dan berhak menghakimi orang lain yang gak sesempurna dirinya, yang mungkin bahkan Allah pun gak menghakimi.... 

Jadi bila anda masih merasa berdosa, berterimakasihlah pada Allah, karena itu salah satu caraNya untuk membuat kita merasa kecil dan selalu bergantung padaNya... Terimakasih Allah akan anugerahMu yang bernama dosa.... 

-- perspektif dari seorang pendosa -- 

Senin, 27 Oktober 2014

Vespa

Weekend kemarin, kita jalan-jalan ke Pacific Place, SCBD. Sebenarnya, kita bukan keluarga yang suka ke mall. Terutama karena pekerjaan gue sehari-hari mengharuskan gue hang out dari mall-ke-mall. Sudah cape. Jarang juga masuk ke Jakarta, kecuali ada janji. Karena walaupun tol dalam kotanya lancar, tapi jalan dari kompleks menuju ke jalan tol itu macetnya na'adzubillah min dzalik.

Tapi setelah sampai disana, ternyata ada pameran Italian products di Pacific Place.


Seminggu sebelumnya ketika berkeliling untuk urusan pekerjaan, gue sempat melihat designer gowns yang haute couture dari perancang-perancang Italy. Dan kemarin, sudah gak ada designer gowns tersebut. Yang ada yaitu pameran Vespa. Ya. Vespa.


Seketika teringat nostalgia saat masih kecil, papa selalu kemana-mana naik Vespa. Pertama Vespa coklat yang rada kecil, dan roda depannya benar-benar mirip bemo. Kemudian berganti Vespa biru muda dengan sayap yang lebih lebar. Sampai akhirnya papa berhenti naik motor pasca kecelakaan motor dimana dia menghindari anak berseragam putih merah menyebrang jalan di Jln. Ngaglik, yang menyebabkan papa terpelanting dan luka borok sekujur tungkai.

Saat papa masih naik Vespa dulu, gue demen banget naik Vespa sama papa, bonceng di depan. Berdiri. Dan jangan harap ada windshield. Udah dicopot. Jadi berangin. Rambut pendek berkibar-kibar ke belakang. Itu jaman TK. Apalagi kalau ke toko bareng, karena jarak ke toko lumayan jauh untuk anak TK.

Saat beranjak SD, karena gue udah terlalu tinggi untuk berdiri di depan papa, dan mengganggu pandangan saat mengendarai Vespa, lokasi gue pindah ke belakang. Bonceng belakang. Ngangkang lah. Gimana lagi?

Saat udah kelas 4 SD, dengan tinggi 144cm dan berat 44 kg, papa udah mulai risi melihat gue masih ngejodog ngangkang di Vespa bututnya. Walhasil, gue dilarang naik Vespanya sampai gue bisa bonceng miring. Supaya celana dalam gak kemana-mana di balik seragam SD gue. Tapi, gue gak bisa bonceng miring. Aku merasa gagal jadi wanita. Jadilah sejak saat itu, gue dikasih uang untuk naik becak .... #mewek.

BTW, mengenai bonceng miring. bahkan sampai sekarang gue teteap gak bisa bonceng miring. Sesekalinya bonceng miring ngikut Sentiono Leowinata saat kelulusan SMA, dan kita harus legalisir rapor dan STTB, itu membuat motor pinjaman itu oleng ke kanan ke kiri. Sejak saat itu, Seng pun menyuruh gue bonceng ngangkang, atau jalan kaki balik ke sekolah.

#nasib........

Rabu, 22 Oktober 2014

Runaway Mom

Setelah sebelumnya sepedaan menjadi olahraga yang hits, sampe orang-orang spending jutaan sampai puluhan (1 teman bahkan ratusan juta) untuk beli sepeda, olahraga berikutnya yang happening adalah lari.

Seluruh perusahaan besar sepertinya belum dianggap 'besar' sebelum mengadakan acara lari. Mulai dari Fun Run, 5K, 10K, Half Marathon, sampai Full Marathon. (Sebagai gambaran Full Marathon = 42km).

Sebagai orang yang aslinya bergaya hidup sedentary, jujur, gue benci keringetan. Selain harus ganti baju (kalo nggak masuk angin #tuaitusederhana), rambut basah, harus keramas, cucian jadi banyak. Jadi saat sepedaan lagi nge-trend, gue ya tenang-tenang aja. Saat lari jadi lifestyle, gue juga tenang-tenang aja. Santai agar badan tidak pegal, seperti yang dihimbau oleh Bang Haji Rhoma Irama. 

Lagipula secara anatomi, tubuh gue memang tidak terbentuk untuk lari. Bayangkan saja. Pelari akan memakai kaki sebagai tumpuan. Ada yang bilang, saat kita berlari, impact beban yang diterima kaki besarnya 3x lipat berjalan. Lah gue??!! Gak ada pantes-pantesnya lari. Badan segedhe gabon, kaki kecil. Gak proporsional blas. Masih bersyukur sih, dengan lengan dan tungkai kecil, gue bisa pake celana pendek dengan manisnya, asal bagian atasnya jangan ketat. Nanti dikira gue lontong lewat.

Apalagi temen pelari yang kini hijrah ke Makassar pernah cerita, heart rate (denyut jantung) dan tekanan darah juga harus dimonitor saat lari, karena ada kejadian pelari Singapore yang berusia 21 tahun ambruk di garis finish karena ngoyo (mungkin karena hadiah uang event lari ini lumayan). Makin takutlah gue yang punya tensi tinggi ini.

Tapi karena tuntutan post-surgery untuk 'tetap bergerak' supaya peredaran darah lancar, maka gue mulai jalan keliling di dalam cluster. Saat itulah terbersit keinginan untuk memonitor seberapa jauh gue jalan. Note ya: JALAN. Bukan lari. Akhirnya gue putuskan download Endomondo. Apalagi applikasinya free #fakirgratisan . 

Nah mulailah perjalanan di dalam kompleks perumahan,  pamer jarak yang ditempuh (untuk waktu tempuh dan kecepatan gak ada yang bisa dibanggakan karena gue jalan dengan kecepatan nenek-nenek ~ menurut Julian),  dan sok-sokan minum air sesudahnya sesuai dengan indikator Endomondo.  

Yang berikutnya menakutkan adalah,  tiba-tiba akun Endomondo cemen ini difollow oleh suhu-suhu lari. Yayan Mulyana di BSD yang average lari 10K rutin,  Rudy Kurniawan di US yang pasti ikut city-marathon di kediamannya,  serta Edoardo yang dedengkot Cibubur Runners dan pelari profesional. 

Bukan apa-apa sih.  Malunya itu. *sigh*

Kamis, 16 Oktober 2014

Cover Reveal : My Lea by E. Mellyberry

As an ex-student who used to study in United States, I realize that love story during university are part of the exciting new journey that Indonesian students embark.  I still remember everytime my mom calls, she would ask: "Is there any Indonesian boy who is interested in me?". And to her constant disappointment, I always answer: "Of course not".

But this book is different from my pathetic little story above. Moreover, this book is written by a friend of mine, a talented children book-writer. And this is her new adult-genre novel. So yeah, I am excited for her new book and I wish her lots of success. 

So this is how the book looks like (designed by EorG):


BOOK & AUTHOR INFO:

My Lea by E. Mellyberry
(A Broken Love Story, #1)
Publication date: November 2014
Genres: Contemporary, New Adult

Synopsis:
A simple girl.


A broken guy.

One horrible incident.
When Lea Amelia landed her feet in San Francisco for her overseas study, her idea of freedom was simple, like eating junk food ten times a day, sitting in front of the TV in her PJs, or going out late with her friends without the need to check in with her mother constantly.
Then she met Andrew Jaya, her brothers’ best friend. A twenty-two-year-old guy whose physical appearance looked like he was crafted straight from God’s heavenly hands, but possessed a past as bleak as if it was drawn by Evil himself. A conflicted guy who wore sadness like nobody’s business beneath his mask, a perfect-looking mask she slowly peeled away.
He was also the guy who hurt her.
Suddenly, everything about her was no longer simple.
Andrew Jaya had convinced himself that not feeling was good for him. He’d been doing it splendidly for almost his entire life. But that was before his best friend’s sister stepped into his life and ruined it. After weeks of knowing Lea, all of those warm and wonderful feelings he’d long ago denied to himself started to reappear. Problem was, the brighter the light, the bigger the shadows that came with it.
His traumatic past refused to let him go.
When the unthinkable happened, the easiest thing to do was to run. But life often proves that the easiest way is usually the hardest. 



AUTHOR BIO:



Melly is a full-time mom, wife, and fangirl. She used to work in a school and she’s very passionate about education.

Melly has been writing children’s books since 2011 under the name mellyberry. She loves reading all kinds of books in her spare time, mostly MG, YA, NA, contemporary, paranormal, and fantasy. She avoids horror and sci-fi as much as she can.

Melly was born in Indonesia and grew up in a multi-language environment. When she talks to people, she could accidentally string words from different languages into one sentence. When she does that, simply reminds her to speak properly.

Her ideal vacation always involves a beach; usually it’s the Nusa Dua beach, Bali. She spent a few years in USA to complete her Master degree. It was during that time that she’d fallen madly in love with San Francisco and the Bay Area. According to her, San Francisco is no doubt the most romantic city in the world.

Author links:

Selasa, 14 Oktober 2014

Nurani yang Terusik (Kasus Penganiayaan Siswi SD Bukittinggi oleh Teman Sekelas)

Beberapa hari ini,  sejak melihat postingan video gadis berseragam putih merah dengan hijabnya digebugin teman-teman sekelas,  gue merasa gelisah.  Detail mungkin pembaca juga sudah menonton. Saya gak mau post link di sini.  Terlalu menyedihkan.

Dengan lokasi di kelas,  dengan begitu banyak teman di sekitarnya,  tanpa takut-takut dan malu-malu,  beberapa temannya bergantian,  menabrak,  memukul,  menendang,  seorang gadis yang sudah terpojok di sudut kelas dengan isak tangisnya.  Tidak berapa lama,  teman yg gadis,  yang sama-sama berhijab,  ikut perpartisipasi menendang dan memukul gadis ini.

Dan tidak ada satupun yang berani menolong atau stand up untuk gadis ini. 

Yang masih punya nurani, berucap (dalam bahasa Minang) : hentikan.  Tapi tidak ada upaya lain. 

Hati saya hancur.  Sedih yang perih. 

Lepas dari trauma yang ditimbulkan kepada korban kekerasan,  ada 1 hal yang lebih urgent,  lebih mendasar,  lebih sistematik.

Anak-anak inilah yang nantinya akan berhadapan dengan anak-anakku.  Anak-anakmu.  Anak-anak kita.  Anak-anak yang dengan mudah main kekerasan karena ada ucapan yang "tidak enak".  Mereka akan bersama-sama menghuni negara Indonesia,  bersama anak-anak kita.

Apakah kita siap?  Apakah anak-anak kita siap? Apa yang sudah kita lakukan?

Lebih miris lagi melihat perkembangan kasus ini selanjutnya.  KPAI dan Polisi justru mengusut pengunggah video yang mencelikkan mata kita ini.  Pengunggah video akan dipidanakan dengan pasal UU ITE. Undang-undang yang sama yang menjerat Prita (vs.  RS Omni) ,  juga @benhan (vs.  Misbachkun-dulu politisi PKS kini Golkar) . Anak-anak dan sekolah tidak proses,  isunya karena urusan politik (yang saya gak bisa disclose di sini supaya jangan saya yg kena UU ITE).

Negara dan Polisi,  yang seharusnya jadi benteng pelindung terakhir,  sekarang menjadi penindas utama. Entah demi apa.

Dan ingat,  anak-anak pelaku kekerasan yang kini dibela sekolah,  guru,  KPAI,  akan merasa bahwa memang kekerasan adalah jalan keluar apabila ada konflik.  Tidak ada proses pembelajaran dari pengalaman ini.

Maka seperti yang aku bilang ke anak-anak.  Manusia,  adalah binatang yang paling sadis.  Semua binatang buas membunuh,  menyerang,  karena lapar dan bertahan hidup.  Manusia menyerang,  membunuh,  karena "tidak suka".

Duh Gusti...  Kasihanilah kami...