Jumat, 30 Desember 2016

Sepotong Surga yang bernama Wae Rebo

Barang siapa mencintai alam, dia akan mendapatkan kekuatan dari alam 
~ Loys Datang, guide Flores 

Hingar bingar politik yang terjadi belakangan ini membuat orang ingin retret dan mundur dari keramaian media massa dan dunia maya barang sesaat.

Saat memulai perjalanan ke Timur, kita sadar bahwa akan ada daerah pedalaman di mana kita tidak akan mendapatkan signal handphone. Apalagi mobile data. 

Tetapi perjalanan kami ternyata menyimpan lebih banyak petualangan dari sekadar terputusnya akses dari dunia luar. 

Selain memulihkan kebersamaan keluarga dan merajut kenangan kolektif tentang keindahan alam nusantara, kita juga menemukan keindahan lain di Wae Rebo.

Diawali dengan perjalanan dengan kendaraan selama 7 jam dari Bajawa, 3 jam diantaranya melalui jalan yang bukan hanya berkelok-kelok dan membuat orang mabuk darat, melainkan juga sempit dan rusak parah.

Bahkan di beberapa jembatan, tanah amblas dan menyulitkan kendaraan kami yang sebesar Isuzu Elf untuk lewat. 

Belum lagi tragedi pintu belakang kendaraan yang terbuka karena besinya terlepas dari body kendaraan dan menyebabkan beberapa barang berhamburan jatuh ke belakang. Akibatnya sisa perjalanan praktis pintu hanya ditahan dengan simpul tali. 

Kemudian kami menginap di Desa Denge di rumah penginapan Bapak Blasius Monta, salah satu putra Wae Rebo yang berkarir menjadi guru di SD Negeri Denge. Rumah yang sudah disulap menjadi 20 kamar sederhana ini menjadi base camp kami sebelum menuju Wae Rebo. 

Berpose dengan Pak Blasius Monta

Keesokan harinya kami berjalan kaki selama 4 jam (setara 10 km) melalui medan yang sempit dan menanjak. Di beberapa lokasi ada pohon tumbang, jalan berbatu, bekas longsor, air terjun, dan jalan berlumpur yang licin.





Suasana trekking

Seakan alam ingin menambah perjuangan kami, hujan mengiringi trekking kami, diselingi dengan cuaca mendung dan angin kencang di sebagian perjalanan. 

Jalan yang licin pun seakan menghantarkan kita jatuh bangun mengikuti medan perjalanan kita. Tak lupa lintah yang rajin mengikuti kita dan menggemukkan badan dengan menghisap tubuh kita.

Akhirnya setelah 4 jam (yang terasa seperti sehari semalam) kemudian, sampailah kita di rumah kayu atau pos terakhir desa adat Wae Rebo. Sebagai tanda tamu datang untuk kepala adat Wae Rebo, kami membunyikan kentongan dari bambu.


On frame: Pius Neta dan Gregory Mulia

Belum cukup sampai di sana, 500 meter terakhir harus dilalui dengan jalan super licin dan turunan curam sehingga sekali lagi jatuh bangun kita alami. 

Sampailah kita di lapangan terbuka yang dikelilingi 7 rumah adat Mbaru Niang, dimana sebelum melakukan apa-apa, kami diarahkan untuk menemui Kepala Adat di Rumah Gendang, yang merupakan rumah terbesar dari 7 rumah dengan lokasi di tengah dengan atap berbentuk tanduk kerbau kecil. 

Rumah Gendang sendiri dinamakan demikian karena di rumah inilah gendang yang dipakai dalam upacara adat disimpan. Diameter rumah 15 meter dengan tinggi 15 meter juga. Rumah Gendang diisi 8 KK yang berasal dari 8 keluarga.

Kakak kepala suku, Bapak Rafael (91 tahun) di Rumah Gendang

Rumah-rumah lain di sekitarnya berdiameter 10 meter, dan dihuni oleh 6 KK. Dan ada satu rumah di paling kanan yang memang dikhususkan untuk para tamu yang hadir. Di rumah untuk tamu, dapur dipisahkan di bangunan tambahan dibelakang bangunan utama. 

Uniknya Mbaru Niang ini hanya terbuat dari bambu dan kayu dengan ikatan. Tanpa paku, tanpa semen. Saat mendirikan pasak utama di tengah rumah, harus diawali dengan ucapara adat.

Greg dengan Mbaru Niang

Rumah-rumah ini dibuat 5 lantai.
Lantai 1 untuk tinggal, masak, makan.
Lantai 2 dan 4 untuk menyimpan bahan makanan dan hasil panen.
Lantai 3 untuk menyimpan bibit untuk ditanam di musim berikutnya.
Lantai 5 untuk sesajian pada leluhur.

Adapun di bawah panggung digunakan untuk menyimpan kayu bakar, memelihara ayam dan anjing, bahkan menenun. 

Setia menenun di dalam rintik hujan

Saat kami diterima secara adat oleh kepala adat, ada doa dalam bahasa setempat yang menyatakan mohon ijin kepada para leluhur untuk perlindungan  dan keselamatan kita, sekaligus diterimanya kita menjadi anggota warga masyarakat Wae Rebo, sehingga kami bukan lagi tamu, melainkan saudara. 

Di Wae Rebo, kita merasakan ketenangan dan denyut kehidupan rakyat yang sepenuhnya bergantung pada alam sekaligus mengatasi alam. 

Salah seorang penduduk yang datang menyapa dengan hangat, dan ternyata adalah kakak kandung Bapak Blasius Monta. Akhirnya beramai-ramai masuklah kami ke rumah tamu dan ngopi bersama dalam keakraban. Seakan kami bukanlah pertama kali berjumpa.

Bapak Philipus, kakak tertua Bapak Blasius Monta yang tinggal di base camp Denge

Di Wae Rebo, kami menemukan panggilan hidup bukan melulu masalah siapa menghasilkan uang terbanyak atau siapa paling berkuasa, tetapi bahwa jabatan Kepala Adat adalah pelayanan yang mengharuskan orang untuk tinggal di desa dan memimpin semua upacara adat, tanpa kekuasaan atas keluarga lain. 

Di Wae Rebo, kami belajar bahwa hidup ini hahekatnya adalah sederhana dan biasa-biasa saja. Para bapak ke kebun dan membawa hasil kebunnya ke kampung terdeka untuk dijual, dan membawa kembali beras, garam dan gula ke Wae Rebo. 

Di Wae Rebo, kami bersyukur dengan ibu-ibu yang beramai-ramai memasakkan tamu yang singgah, dan sisanya menghabiskan hari menenun kain kehidupan yang beraneka warna. 


Ibu Odilia dkk dan Marcel Silas.

Di Wae Rebo, kami menyerah pada alam, sekaligus mendapatkan kekuatan dari alam seperti quote dari Pak Loys.

Kami pun menemukan keluarga-keluarga baru di Wae Rebo. Pengunjung lain yang bersama-sama menjalani napak tilas kami, akhirnya menjadi seperti saudara yang hilang dan kita temukan kembali. Persaudaraan yang melampaui suku, ras dan agama.

Makan bersama

Dan saat kabut melintas di atas desa Wae Rebo sehingga pegunungan yang mengepung sekitarnya lenyap dari pandangan, kami pun tersadar bahwa kami sudah menemukan surga di bumi, sepotong surga yang bernama Wae Rebo.




Catatan perjalanan Mulia's Flores Trip - Wae Rebo 
23-24 Desember 2016


Kamis, 29 Desember 2016

Trip to Flores - Planning and Execution

Salah satu tempat yang sudah lama ingin aku kunjungi adalah danau 3 warna Kelimutu. Pelajaran geografi tentang keunikan crater lake (danau kepundan) ini sudah aku baca sejak SD, tetapi dahulu hanya bisa berandai-andai. 

Boro-boro mau ke Flores. Lokasi liburan kita yang saat itu tinggal di Surabaya, paling jauh ke arah barat adalah Semarang dan Jogja. Ke arah Timur adalah Bali.

Mimpi ini menguat ketika beberapa teman SMP/SMA yang tergabung di Whatsapp group berkumpul kembali, yaitu Fifi Limena dan Wemmi yang selalu menyemangati untuk pergi ke Maumere dan Labuan Bajo dimana mereka tinggal.

Belum lagi foto-foto spektakular dari akun instagram jalan-jalan. Contohnya @kakabantrip @tanahtimur @wendraalamanda yang bisa menampilkan lebih indah dari warna aslinya. 

Juga beberapa teman yang FB postingnya  membuat iri dengan travel adventure mereka ke Wae Rebo, yaitu Veronica Grasiaveni dan Nuniek Yuliana. 

Bahkan aku pernah bermimpi, bahwa suatu hari, aku akan mengambil sabattical leave dan menjelajah Flores selama 1 bulan. Dari Labuan Bajo ke pulau Padar, Rinca, Komodo, dilanjutkan ke Wae Rebo, Ruteng, Bajawa, Ende dengan Kelimutunya, Maumere, Larantuka, dan menyeberang ke Lembata.

Maka dari itu, saat kita punya kesempatan untuk pergi ke Pulau Komodo (dan Labuan Bajo), aku merasa "Life is too short not to go overland".  Walaupun masih baru 1/3 jalan dari rencana awal dan belom sampai ke Maumere, apalagi Lembata. 

Mulailah pencarian informasi mengenai perjalanan ke Flores. Rata-rata tour operator lokal menawarkan paket-paket singkat di seputaran Labuan Bajo. Apalagi dengan direct flight Garuda sejak September 2016 ini, Pulau Komodo seakan tampil sebagai alternatif long weekend island getaway selain Bali. 

Apabila ada tour operator yang menawarkan trip overland, rata-rata perjalanannya dimulai dari Labuan Bajo dan berakhir di Ende. Kemudian disusul either jalan darat kembali ke Labuan Bajo, atau flight non-direct ke Jakarta.

Dan... perjalanan Labuan Bajo ke Wae Rebo ini killing banget. 6 jam jalan darat dengan kendaraan (+ kondisi jalan raya jelek), disambung 3 jam jalan kaki untuk mencapai Desa Adat Wae Rebo membuat kita nyaris membatalkan perjalanan ini. 

Sampai akhirnya aku menemukan 1 nama yang muncul berulang di TripAdvisor, yaitu Teddy Aimbal. Uniknya, itinerary yang ditawarkan Teddy adalah reverse dari semua tour operator lain. 

Jadi kita akan landing di Ende (dengan 1x transit, either di Denpasar atau di Kupang), kemudian berjalan kembali ke arah Labuan Bajo. Dengan pace yang jauh lebih lambat daripada tawaran tour operator lain. 

Satu kekhawatiran yang kami pertimbangkan baik adalah kekuatan jalan kami ke Wae Rebo dari Denge (desa terakhir yang bisa dicapai dengan naik kendaraan), mungkin instead of 3 jam kita butuh 5 jam, karena kita membawa anak 3, as young as 10 years old, dan 1 Mama berusia nyaris 72 tahun.  (* kita menjalani 7 jam jalan darat karena kabut tebal dan hujan lebat, dan jalan kaki 4 jam karena jalan licin, hujan dan angin)

Tapi itinerary dr Teddy Aimbal bisa mengatasi ini dengan stay overnight di Denge sehingga kita akan berangkat fresh paginya dari Denge. Juga menginap semalam di Wae Rebo sebelum kembali berjalan kaki ke Denge.


Gue tau, ini rada-rada terdengar seperti mission impossible, tapi kita berpikir, kalau mau mengajak Mama, kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Jadilah kita sekarang menjalani Mission Impossible yang menjadi Possible.

Enaknya lagi, harga dari Teddy adalah paket satu trip dengan itinerary demikian untuk sekian orang, harga sekian. Semua harga sudah termasuk hotel (dan sarapan), mobil, guide, sopir, porter. Yang belum termasuk adalah makan selama di darat dan tiket pesawat. Tentunya diluar jajan dan oleh-oleh untuk keperluan pribadi. 

Untuk hotel dan makan, Teddy punya rekanan dia tiap lokasi yang kita hargai ini sebagai effort untuk menggerakkan perekonomian lokal, sehingga kita hanya play along di lokasi-lokasi yang diarahkan.

Jangan expect hotel atau resto mewah, karena kemewahan adalah langka di pulau Flores. So set your expectation and get ready for your adventure.




PS: Kita berterima kasih kepada Sumanto Njono yang sudah menginfokan program pemberian buku cerita kepada anak-anak di Wae Rebo, dan kepada Fransiska Layunwira / Husin Wijaya atas sumbangan buku cerita anak-anak yang kita bawa ke Wae Rebo ini. 

PSS: Buy local products if you want to help the ethnic people in  Desa Adat, if possible. 

PSSS: Di Kelimutu hotelnya sempat diganti ke penginapan yang sangat sederhana, tapi intinya enjoy and go with the flow. Kalau mau upgrade ke hotel yang lebih bagus, bisa minta Kelimutu Eco Lodge.

PSSSS: Mama end up demam dan masuk angin di Labuhan Bajo, dan suspect typhus begitu sampai di Jakarta. May be this trip is not suitable untuk senior citizen.  Mungkin bisa di skip Wae Rebo, atau diperpendek tripnya. 

PSSSSS: Terima kasih banyak untuk Pak Loys Datang yang sudah membuat Trip kita memorable dan memastikan Mama tiba di Wae Rebo dan kembali dengan selamat, Pak Ekky driver kita selama perjalanan, dan penyelamat bagasi ketika pintu belakang tau-tau ngejeplak membuka, Febri yang sudah menemani perjalanan dengan menjadi porter kita dan bersama kita pertama menjelajah Wae Rebo (yang katanya "cape banget"), dan Pius Neta yang menjadi penunjuk jalan ke Wae Rebo.... Tuhan memberkati....



Senin, 19 Desember 2016

Beautiful Indonesia

Kapan terakhir kalian ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII)? Wahana apa yang terakhir kalian kunjungi?

Setelah setahun lalu ke TMII hanya utk melihat Moscow Circus, kemarin gue kembali menjejakkan kaki di TMII. Selain mengunjungi Museum of Indonesia, naik Kereta Gantung, dan mengunjungi beberapa anjungan, menjelang pulang gue memutuskan untuk memasuki salah satu struktur terunik di TMII, yaitu Keong Emas.

Di dalam Keong Emas adalah Teater IMAX. Gue gak akan menceritakan apa itu IMAX. Tapi Keong Emas punya beberapa film yang menarik. Salah duanya adalah "Living Sea" dan "Forces of Nature".

Kemarin karena gue bertekad hanya menonton apa saja di jadwal main berikutnya, jadilah gue menonton "Indonesia Indah 3" atau "Beautiful Indonesia 3".

To my amazement, film ini dibuat tahun 1990 oleh Ibu Sudharmono, yang saat itu menjabat Ibu Wakil Presiden. Dan di credit title masih muncul nama Ibu Tien Suharto, yang saat itu masih hidup, sebagai penggagas dan penasehat pembuatan film.

Berarti film ini dibuat dalam era Orde Baru. Muncul pula nama-nama seperti Joop Ave, G. Dwipayana (hayooo nama ini ngetop di mana??).

Entah mengapa perasaan ini menjadi mengharu-biru tanpa tertahankan.

Kemudian ditunjukkan bahwa film ini adalah sequel ke 3 dari 3 film. Dan di film ini ditunjukkan budaya dari 10 propinsi. Dan propinsi terakhir adalah Timor Timur. Yang kini sudah merdeka menjadi negara Timor Leste, tempat Krisdayanti diboyong Raul Lemos.

Tari-tarian dan adat istiadat yang dipertontonkan dalam film ini disutradarai dengan ciamik. Pakaian yang berwarna-warni cerah dan mewah, ditambah penataan adegan tari secara kolosal, menambah megah film ini.

Teknik pembuatan foto yang menunjukkan sistem terasering, arung jeram, maupun lautan bertebing, sudah seperti cinematic shot dari drone. Sebelum akhirnya gue sadar tahun1990 belom ada drone. Yang berarti gambar diambil dengan helikopter yang terbang dengan (sesekali) terbang vertikal.

Frame demi frame membuat rasa bangga terhadap bangsa dan negara ini membuncah. Inilah Indonesia!!!, jerit hati gue... Indonesia yang gadis-gadisnya dengan kecantikan alami menggunakan pakaian daerah sleveless tanpa takut dihakimi tidak religius.

Kemudian ada adegan kunjungan Paus Yohanes Paulus II setahun sebelum film ini dibuat. Adegan Paus dan Kardinal diarak dalam mobil terbuka melambai tangan di Gelora yang sekarang disebut Gelora Bung Karno (GBK) diiringi seruan 120.000 umat yang menyanyikan "Kristus jaya, Kristus mulia, Kristus, Kristus, Tuhan kita!!!" Seperti perarakan Minggu Palma.

Mungkin bila Paus berkunjung hari ini di Indonesia, Ormas Islam siap membubarkan dengan alasan GBK adalah fasilitas umum.

Sungguh membuat merinding, saat itu Paus Yohanes Paulus II, yang kini sudah menjadi Beato, memuji Indonesia sebagai negara dengan toleransi beragama paling tinggi di dunia.  Merinding sekaligus sedih membandingkan dengan kondisi hari ini.

Melihat ke belakang, menenggelamkan diri selama 30 menit dalam Indonesia yang mempesona di tahun 1990, dimana optimisme melambung menuju masyarakat adil makmur, rukun, sejahtera.

Dan gue tidak tahu lagi apakah gue harus memuji Pak Harto karena sudah memberikan rasa utopis kemegahan peradaban walaupun hanya dapat disesap dalam waktu singkat.  Ataukah gue harus membenci Simbah karena sudah membuat gue (dan jutaan orang lain) hanya sekadar bisa bermimpi di tengah bangsa yang tercabik-cabik.

Kamis, 08 Desember 2016

Ujian Kaum Kristiani

Kaum Kristiani (bukan istri mantan Presiden) di Indonesia sedang dihadapkan dengan bertubi-tubinya peristiwa yang sedang terjadi. Mulai dari awalnya penolakan terhadap pemimpin Kristen. Kemudian tuduhan bahwa ada penistaan agama. Merembet ke demo 411 dan 212 yang mencekam IbuKota, pemboman Gereja Samarinda yang memakan korban anak-anak balita, dan terakhir Pembubaran KKR di Bandung.

Seakan-akan buat umat Kristiani, penggenapan dari beberapa ayat di Alkitab yang sudah dinubuatkan ribuan tahun lalu. Bahwa kita akan dimusuhin, dibenci, dan dibunuh karena mengikuti Dia. Seperti di Yohanes 16:1-3. Silakan cari sendiri kata-kata persisnya. Jangan jadi pembaca malas. 


Di antara gempuran berbagai peristiwa tadi, ada 1 hal yang juga menggugat nurani. Gempa Pidie di Serambi Mekkah, Aceh. Gempa berkekuatan 6SR ini meluluhlantakkan banyak bangunan, selain korban jiwa. Tapi mungkin karena jauh dari ibukota, jadi pemberitaan tidak seriuh-rendah peristiwa-peristiwa yang ada di Jakarta.


Secara manusiawi sebagai orang yang terpojok dan terluka, pasti ada yang berpikiran bahwa gempa Aceh ini adalah "balasan Tuhan" atas peristiwa yang menciderai hak asazi agama Kristen untuk beribadah, karena terjadinya persis setelah pembubaran KKR di Bandung. Atau "balasan Tuhan atas penolakan terhadap salah satu calon gubernur DKI,  atau atas demo besar 411 dan 212. 


Tetapi aku memilih untuk tidak melihat Allah sebagai sosok pendendam yang bengis dan penuh amarah. 


Gempa Aceh, BUKAN PEMBALASAN.

Karena Allahku adalah Allah yang baik hati. Dan sebagai mana doa Paus Fransiskus di Tahun Yubileum yang baru berlalu,

"Engkau telah mengajarkan kami bermurah hati seperti Bapa surgawi,dan telah mengatakan kepada kami bahwa barangsiapa melihat Engkau melihat-Nya."

"Engkau adalah wajah yang kelihatan dari Bapa yang tak kelihatan,wajah Allah yang mewujudkan kuasa-Nya terutama dengan pengampunan dan kerahiman :biarkan Gereja menjadi wajah-Mu yang kelihatan di dunia, wajah Tuhannya yang bangkit dan dimuliakan."


Kita harus ... terlebih pada saat ini... menunjukkan seperti apa Allah kita, seperti apa Bapa kita. Apakah yang bermurah hati? Apakah yang pemaaf dan pengampun?


Inilah saat ujian buat kaum Kristiani di Indonesia. Sanggupkah kita mengikuti Yesus dan memanggul salib kita? Sanggupkah kita memberikan pakaian kita saat jubah kita dirampas? Sanggupkah kita memberikan pipi kiri saat pipi kanan kita ditampar? Sanggupkah kita dianggap bodoh oleh manusia?

Secara manusiawi, mungkin kita tidak sanggup, maka berlututlah dan berdoalah, mintalah kekuatan pada Roh Kudus. . Justru pada titik saat kekuatan kita habis itulah, Allah akan menyatakan kekuasaanNya.

Tetaplah lembut hati, tetaplah bermurah hati. Bila ada sedikit saja hati kita tergerak untuk membantu korban gempa, korban bom Samarinda, lakukanlah. Mungkin Allah lah yang menggerakkan kita, melalui tulisan simpang siur di timeline dan di media.

Cibubur, 9 Desember 2016

Rabu, 07 Desember 2016

Islam di Persimpangan Jalan

Entah kenapa dikotomi Islam dan Non-Islam sekarang makin menjadi garis tegas dari sebelumnya garis putus-putus atau garis samar. Seakan di satu kubu adalah Islam. Di kubu lain berhadapan contender agama lain yang diakui di Negara Indonesia: Kristen (termasuk Kristen Protestan dan Kristen Katolik), Hindu, Buddha, Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan agama asli penduduk nusantara yang beragam (Kejawen, Sunda Wiwitan,  dll.)

Pembauran ideal itu seharusnya tidak ada garis antara Islam dan Non-Islam, walaupun kita tau hal tersebut belom pernah sungguh-sungguh terjadi di negara Indonesia ini. Hal ini terbukti dengan masih hebohnya kita bila ada artis (atau lebih lagi) saudara dan anggota keluarga yang menikah beda agama. Ada semacam tabu dan bisik-bisik tetangga di dalamnya.

Adapun yang makin mempertajam segregasi ini adalah Aksi 411 dan yang paling aktual, 212. Lepas dari claim masing-masing pihak antara siapa yang pengikut demonya lebih banyak, siapa membela agama lebih taat, dan siapa yang demonya paling damai; tetap saja yang namanya pengerahan massa dalam jumlah besar menciderai rasa keamanan dan ketenangan bangsa.

Bagi yang turun ke jalanan, mereka punya argumentasi sendiri. Juga bagi mereka yang memilih untuk tidak turun ke jalan, saya rasa juga pasti punya argumentasi yang tak kalah kuatnya. Dan terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam aksi-aksi sipil belakangan, lagi-lagi umat Islam seperti dihadapkan pada dua kubu. Kubu yang mendukung dan actually turun ke jalanan, dan kubu yang memilih jalan lain.

Lebih parahnya, orang yang memilih tidak turun ke jalan pun akhirnya dikecam dan dihakimi sebagai tidak membela agama Islam, tidak taat beragama, tidak sayang Quran, dll. Adapun yang memilih tidak turun juga menyindir bahwa Allah tidak perlu dibela, ada yg lebih sayang agama daripada Allah, dll.

Instead berusaha reaching out untuk memdengarkan kubu lain, masing-masing kubu saling ejek di jalur-jalur social media dan saling sindir.

Atas nama kebebasan berbicara, kita seakan lupa untuk mendengar orang yang berbeda pendapat.

Atas nama hak bersuara, kita lupa akan hak orang lain juga.

Atas nama hak untuk beribadah, kita lupa  kita menghalang-halangi orang lain untuk beribadah. Padahal yang mereka halang-halangi orang yang mencari Tuhan dalam damai pun. Lucunya mereka pun menuduh  "kafir" dari orang yang mencari Tuhan.

Sebagai kaum Non Muslim yang masabodoh terhadap politik, awalnya pasti ada rasa resah dan takut, khawatir bahwa suatu saat, akan ada orang-orang yang merasa terjustifikasi dan terbenarkan untuk membully orang monoritas sebagaimana gejala yang kita lihat di UK pasca Brexit, dan di Amerika pasca kemenangan Trump dalam pemilu president.

Namun makin dicermati, kita (notabene kaum Non-Islam) hanyalah pelanduk yang mati ditengah-tengah saat dua gajah berkelahi. Dan tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan selain mawas diri dan bersiap mental untuk hal-hal terburuk (yang sesungguhnya sudah kami lakukan seumur hidup, anyway).

Kami hanya bisa mengadu kepada Allah... Allah yang kita percaya Satu dan Esa. Allah yang sama yang dibela oleh kelompok sebelah. Allah yang kita percaya adalah Sang Maha.

Sesungguhnyalah perang melawan keangkaramurkaan tidak semudah menentukan hitam dan putih. Banyak diantaranya abu-abu. Dan hal ini akan menjadi perjuangan saudara-saudara kami kaum muslim untuk menemukan jati diri baru dari perbedaan pendapat bahkan pertentangan pendapat yang ada.

Atau mungkin sudah saatnya ada yang dikorbankan untuk menjadi martir keragaman, sebagaimana GusDur menyerahkan dirinya dicabik-cabik singa yang lapar kekuasaan, justru saat di puncak kekuasaannya.

Mungkin hal-hal ini yang menyebabkan beberapa orang yang saya kenal memilih untuk melepas agama dan hidup dalam ketulusan dan kebaikan terhadap sesama, daripada beragama dalam kemunafikan.

Ironis bukan?