Minggu, 20 November 2016

Elegi untuk Sahabat

Terus terang bulan ini adalah bulan yang melelahkan. Bulan yang meluluhlantakkan semangat dan optimisme. Diawali dengan hingar bingar politik berbungkus agama yang membuat aku gundah dan bungsuku ketakutan. Bisnis yang tersendat di seberang lautan dihantam barang impor gelap. Dan kemenangan manusia ganjil di balik bola dunia yang dirayakan dengan gegap gempita oleh bahkan beberapa kawan.

Yoga outdoor yang biasanya sangat menyenangkan pun menjadi seperti siksaan karena fokus pikiran berkelebat liar ke sana ke mari.  Merangkak mencari ketenangan bathin yang entah bagaimana mendapatkannya.

Dan gong terbesarnya, salah seorang sahabat berpulang ke dalam keabadian Sabtu pagi.
 

Padahal Jumat malam lalu, sahabat ini masih berkabar di group whatsapp SD bahwa  dia pulang ke Surabaya untuk tugas kerja, suatu hal yang rutin dia lakukan selama ini.

Kami adalah teman satu SD, satu SMP, dan satu SMA. Dan keakraban muncul di group whatsapp SD kami. Mungkin karena SD kami dahulu hanya 2 kelas dan kami kenal satu sama lain dari jaman ingus kami masih meleleh dengan hebohnya, yang berakhir di usapan lengan seragam.

Dan group whatsapp  SD ini jugalah yang pembicaraannya paling absurd mulai dari perjalanan hidup masing-masing teruntai, termasuk pekerjaan, keluarga, kekhawatiran, hingga joke konyol.

Memang terus terang beberapa minggu belakangan, aku mencoba menjauhkan diri dari keriuhan group whatsapp. Berusaha meredakan gemuruh di dada sendiri dengan tidak menambah runyam obrolan yang terkadang gak jelas.

Sabtu pagi ada pertanyaan di group SMP/SMA apakah betul sahabat kami ini meninggal dunia (karena melihat postingan saudaranya di FB dia), yang dengan refleks saya bantah "Jangan ngomong sembarangan, anaknya lagi tugas kerja di Surabaya", hingga kehebohan melacak dari 2 group untuk mencari tahu apa yang terjadi.

 
Ternyata benar, David Lianto sudah berpulang karena kecelakaan kerja.

Langsung di kepala ini berputar film riwayat hidup di kepalaku. Bagaimana dia duduk di depan bangkuku saat SD. Kemudian kegokilannya hafal semua alamat rumah cewe-cewe satu sekolah. Bagaimana kita sering bertukar info sekitar kemacetan menuju rumah, karena rumah sahabat ini berdekatan dengan rumahku.

Dan terakhir japri mengenai kekhawatirannya terhadap anak lelakinya yang beranjak dewasa yang sedang dalam kondisi penuh pemberontakan. Kekhawatiran tulus seorang Ayah yang mungkin dalam kesehariannya lebih banyak menghabiskan waktu menginstal mesin di pabrik orang daripada menghabiskan waktu dengan putranya.

Bagaimana dia sering berseloroh mengenai sarapan rokok dan kopi di pagi hari. Sampai bagaimana resiko bekerja dengan mesin-mesin raksasa. Juga tentang kisah cintanya yang akhirnya menemukan pelabuhannya di orang yang tak terduga.

Bagaimana di reuni terakhir di bulan Agustus 2016, dia ingin sekali hadir, namun tidak sempat karena dia baru jalan darat setengah jalan dari Jakarta ke Surabaya saat acara reuni berlangsung.

How fragile life is... dan kita di sini masih disibukkan dengan siapa yang menista siapa... Betapa ironis.

Selamat jalan sahabat, berjalanlah lurus menuju Sang Pencipta, dan doakanlah semua yang masih berziarah menuju hari kiamat pribadi kita. Serahkanlah kekhawatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kita. Ia juga yang memelihara anakmu, keluargamu yang engkau tinggalkan.

Requiescat in Pace... beristirahatlah dalam damai, sahabat.. Tuhan mencintaimu...

In memoriam Antonius David Lianto Tedjosaksono, 19 November 2016.

Kamis, 10 November 2016

Suppressed Desires

Ada fenomena unik yang aku cermati selama menjelang Pilpres, Pilkada, baik di Indonesia maupun yang terupdate Pemilihan Presiden di Amerika.

Kenapa keagresifan itu menarik pengikut? Kenapa Prabowo, Habib Rizieq, dan Donald Trump banyak yang memilih? Apa yang menyebabkan mereka mengikuti pemimpin-pemimpin yang cenderung arogan, fasis, diktator, full of hatred, kejam dan tegaan?

Teori gue, sering obrolkan dengan beberapa teman. Awalnya dengan Jenny Xue, teman twitter dan online publisher di US. Kemudian dengan Lyna Augustine sesaat setelah US Election ditutup dan Trump diumumkan sebagai Presiden Amerika yang baru.

Teori gue itu adalah tentang "Suppressed Desires". Alias keinginan-keinginan terpendam.

Jadi begini, saat pertama kali mendarat di Amerika utk bersekolah lebih dari 25 tahun yang lalu (iya.. iya.. gue tau gue tua..) , saya sempat dibrief oleh kakak kelas yang berkali-kali mengingatkan: "Hati-hati ya. Jangan sampai bilang orang hitam itu negro. Nanti mereka marah. Harus bilangnya African American"...

Ucapan itu sampai membekas.. dan dari sana kita tau yang namanya "political correctness". Bahwa kita gak boleh bilang Chinky for Chinese because it's politically incorrect. Kita harus bilang Asian American. Dan seterusnya.

Karena banyaknya aturan political correctness di Amerika, maka banyak orang yang menahan diri dari mengatakan apa yang sesungguhnya, karena ditutupi dengan ameliorasi-ameliorasi.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Orang Cina gak boleh disebut Cina, harus disebut Tionghoa. Menurut gue saat kita diharuskan untuk memperhalus ucapan, saat itulah kita sebenarnya dibedakan dan diposisikan 'liyan', sehingga orang harus berhati-hati menjaga perasaan kita.

Coba bandingkan dengan arek-arek Suroboyo yang dengan santai meneriakkan kata "janc*k!!* sebagai ungkapan keakraban tanpa batas antar dua sahabat.

Sama juga sih dengan majalah dewasa dan pelacuran yang dilarang oleh pemerintah/ormas, malahan membuat orang menyalurkan hasrat seksual dengan memperkosa, pelecehan seksual, pedofilia, atau poligami (maaf, ini disclaimer, kalau ada pembaca yang menganggap poligami ini sah secara agama, ya monggo silakan nulis artikel sendiri dan jangan nyampah di blog maupun wall saya).

Rasa tertekan dalam ketidakbolehan menyerang agama lain dalam bingkai toleransi juga membuat suppresed desires di antara bangsa kita.

Jadi begitu ada orang-orang seperti Trump yang dengan leluasa mencaci maki kaum minoritas yang selama ini terlindung dalam gelembung political correctness, maka pecahlah kepundan kebencian dan rasa tertekan yang selama ini menghimpit kemerdekaan bicara. Atas nama freedom of speech pula, orang jadi merasa berhak berkata kasar yang berpotensi menyakiti orang lain yang selama ini dijaga perasaannya.

Begitu juga dengan orang-orang yang kemarin demo tanggal 4 November 2016 di jalan2 di Jakarta. Mereka sebenarnya sudah memupuk api dalam sekam. Negara yang kelihatan damai tentram gemah ripah loh jinawi ini ternyata menyimpan ketertekanan. Suppressed desires untuk mengusir yang 'liyan'.

Dan yang jelas liyan adalah yang secara fisik tampak berbeda. Kenapa Cina? Karena kita yang paling penakut dan diiriin oleh kaum pribumi. Kenapa bukan bule? Karena deep down inside, sebagai kaum inlander, masih ada rasa minder dan tidak percaya diri. Juga masih percaya adanya supremasi bule.

Saat suppressed desires orang banyak ini bertemu dengan teriakan Habib R*z**q, jadilah yang namanya jihad jalanan yang menginginkan pengadilan jalanan untuk satu orang yang bernama Ahok, dengan menakut-nakuti cina-cina lain.

Sambil menyelam minum air. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Apalagi dengan adanya backing donasi material dari you know who. Pecah bisulnya.

Jadi bagaimana?

Ada bagusnya sih. Dengan pecahnya bisul, seharusnya sementara aman, dan tidak akan pecah kerusuhan yang jauh lebih besar seperti 1998. Itu teorinya. Kecuali... bahwa demo yang kita lihat kemarin hanyalah the tip of the bisul.

Lagipula, memang kerusuhan di Indonesia itu terjadi berulang kali, berkala, dengan korban yang kira-kira ya mereka-mereka (kita-kita) itu.

Nasib.

Sabtu, 05 November 2016

Airmata untuk AnakBangsa

Pasca demo 4 November dan ketegangan suasana politik sekitarnya, dan mudahnya akses terhadap berita membuat anak-anakku bertanya-tanya 'Apa yang sebenarnya terjadi?', yang tidak mudah dijelaskan karena banyak logical fallacy di dalamnya.

Ucapan Ahokkah biangnya? Pelintiran editan Sang Penghasut Buni Yani kah? Kebencian di alam bawah sadar kaum pribumi terhadap Cina kah? Politikkah? Atau memang agenda-agenda agama mayoritas untuk menjadi single supremacy dan mayoritas tunggal satu-satunya yang menguasai seantero negeri?

Lepas dari apa yang sesungguhnya terjadi, yang bahkan sampai saat ini saya yakin, yang kita lihat dari sisi elit politik maupun massa grassroot, hanyalah 'the tip of the iceberg'.

Pergolakan antar elit, dan kebencian lama di massa grassroot menurut gue ujung-ujungnya duit utk para sutradara di balik layar dan pentolan massa. Sisanya tinggal dibuat menari sesuai dengan gendang para pemain gelap ini.

Jo sempat bertanya "Apakah benar ada Ustad yang akan bayar 1M bila ada yang bisa bunuh Ahok?"

Pertanyaan berikutnya dari Adel tentang "sweeping terhadap Cina".

Terakhir kepolosan Greg yang bertanya "Kenapa orang-orang itu demo?" Yang gak bisa aku jawab karena sampai detik ini saya juga nggak ngerti tuntutannya apa.

Dan sehari setelah hajat keramaian yang katanya bernilai 100 Milyar proyek Sang Mantan tersebut, anak-anak gue hidup dengan realita baru di Indonesia. Bahwa sesama anakbangsa (yang mereka kira) baik, suatu hari akan berteriak kalap dan menyerang mereka, hanya karena mereka Cina.

Terlontar polos dari bibir mungil Greg "Oh man... aku nanti mau tinggal di Jerman aja", thinking bahwa yang akan dia hadapi nanti, adalah AnakBangsa yang tanpa alasan akan menyerang Cina.

Malam ini, airmata mengalir deras menangisi sekaratnya kepercayaan di hati anak-anakku bahwa semua AnakBangsa sama derajatnya di mata negara. Matinya optimisme kebangsaan yang berkebhinnekaan di dalam hati anak-anakku.

Bukankah anak-anakku juga layak disebut AnakBangsa walaupun kita Cina?

Cibubur, 5 November 2016.