Minggu, 04 Oktober 2015

Traveling

The world is a book and those who don't travel read only one page ~ St Augustine


Belakangan schedule kerja sedang gila-gilaan, buat gue yang biasanya santai dan relax,  almost sedentary.  Dalam beberapa minggu traveling bisa beberapa kali,  dan semuanya internatonal trip (mungkin ini yang dimaksud Simbok Venus dengan #humblebrag).


Anyway, setiap perjalanan adalah ziarah pribadi... ziarah karena dengan lepas dari rutinitas, gue punya banyak waktu untuk berpikir dan menginternalisasi hal-hal yang terjadi di sekitar kita.  Biasanya kita sibuk nyetir, nelpon, balesin email, etc. 


Yang paling menarik dari perjalanan, selain membandingkan infrastruktur (terutama yang terkait public service) misalnya transportasi umum, juga membandingkan culture (budaya setempat). Dan kita jadi punya julukan untuk membandingkan negara lain dengan apa yang kita kenal di negara sendiri.


Misalnya Ho Chi Minh City di Vietnam, mengingatkan gue akan Jakarta tahun 1980-an, dimana jalan-jalan utama lebar (untuk ukuran jaman itu) dan kendaraan gak segila sekarang, sementara pembangunan fisik gedung bertingkat sedang heboh-hebohnya.

Adapun Taipei, Taiwan , itu mengingatkan kepada HongKong, namun dengan keteraturan (tidak ada trem dan kabel bergelantungan yang membuat semrawut kota apabila kita memandang ke langit. (Buat gue, kota yang langitnya dipenuhi kabel trem itu nggak banget dah... that's why I prefer Brisbane to Melbourne).


Bangkok mengingatkan gue akan home town gue, Surabaya, dengan infrastruktur yang sudah jauh lebih advanced, bahkan dibandingkan Jakarta. Sepanjang jalan di sore - malam hari, terutama disekitar BTS, masih bisa ditemukan pedagang kaki lima yang berjualan barang-barang yang totally random. Mostly makanan, sih. Dengan harga yang super miring. Kepadatan yang menyesakkan trotoar ini, mengingatkan gue pada Surabaya tahun 1980-an. Tapi dengan infrastruktur yang ingin menyaingi Singapore. 



Beberapa lokasi, seperti di Suvarnabhumi Airport, terlihat jelas keinginan untuk meniru Singapore. Bahkan sampai ke electronic survey kondisi toilet seperti yang ada di Changi Airport #tepokjidat. Mereka pun berusaha memakai padanan Inggris untuk setiap tulisan Thai (yang mirip huruf Sanskrit),... yang buat kita yang saat SD dipaksa belajar menulis aksara Hanacaraka bisa mengerti tingkat kesulitannya... Tetapi saat Singapore berhasil mengintegrasikan Singlish menjadi daily language, Thailand masih tertatih-tatih menginggriskan diri. Mesin pembelian tiket di BTS memang bisa diakses. Tetapi banyak signage lain yang melulu bahasa Thai. 


Untuk penduduk Bangkok, pun, walau banyak diantara mereka sudah fasih berbahasa Inggris (bahkan nenek-nenek penjual buah di pertigaan Sukhumvit pun bisa bilang Forty Bath saat gue menunjuk sekresek duku gendut yang ada di gerobaknya), tetapi saat kita mau berbicara panjang lebar... kita masih butuh berpikir keras....


Yang konyol adalah saat berbicara dengan Domestic Sales Manager, seorang gadis cantik yang masih belia dengan tubuh bak model dengan wajah mirip teman yang tinggal dekat rumah, terjadi percakapan sbb:

Gue: "Zojirushi product  , where you sell them?"
Her:  "Oh, we sell many places, sonta dipamen stror, domo, lobingsong. There are seven sonta dipamen stror. All Thailand"
Gue: *berpikir keras* ... *ok, this must be Central Department Store (karena di Indonesia juga ada, dan juga customer kita)* *but then what is Domo?? Pak Domo kah? Bukannya jamannya bersih lingkungan sudah lewat?* "Oh.... " (dengan tampang gak meyakinkan)


Belakangan di meeting, saat presentasi barulah gue tau... yang dimaksud adalah: Central Department Store, The Mall (including Siam Paragon, Emporium), dan Robinson.... EALAHHH MBAAAAKKKK.... nggarai bingung ae... hehehehe....


But Thai people are nice and gentle people... and they speak English with Thai accent, including adding kah at the back .... I think I'm in love with Thailand.


Thank you , kah.... See you later, kah....

Tidak ada komentar: