Tampilkan postingan dengan label traveling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label traveling. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Januari 2017

Masih tentang Flores - Catatan Perjalanan

Kalau ditanya wisata ke mana yang lengkap di Indonesia? Flores salah satunya. Sebetulnya Bali adalah jawaban mainstream. Tapi menurut gue, lately Bali has been too touristy.

1. Wisata Gunung

Danau Kelimutu yang merupakan crater lake, adalah fenomena unik. 3 Danau dengan 3 warna ini selalu menjadi highlight wisatawan. Apalagi dilengkapi dengan legenda bahwa semua orang Flores, saat meninggal, arwahnya akan mendatangi Danau Kelimutu. Disana ada 3 danau untuk masing-masing kategori. Danau Arwah Jahat, Danau Muda-mudi, dan Danau Orang Tua.

Tiwu AtaPolo / Danau Arwah Jahat (depan) dan Tiwu Nua Moori Koohi Fah / Danau Muda-Mudi (belakang)

Warna danau Kelimutu ini bisa berubah-ubah sesuai dengan kadar mineral yang ada di dalamnya. Danau Kelimutu TIDAK bisa dipakai berenang, karena kadar asamnya tinggi. Bahkan sering jadi lokasi percobaan bunuh diri. Maklum, gunung berapi aktif. Meletus terakhir 1968.

2. Wisata Laut

Lokasi paling terkenal adalah Labuhan Bajo dengan kepulauan Komodo yang di tahun 2011 dinobatkan menjadi New 7 Wonders Nature. Sejak itu pula, kapal pesiar dari Belanda yang berlantai hinggal 9 lantai dengan kapasitas hingga 2500 penumpang, berlabuh di pulau yang berisi sisa naga dari jaman jurassic. Apalagi saat ini Garuda Indonesia juga sudah menyiapkan direct flight Jakarta - Labuhan Bajo sehingga memudahkan masuknya wisatawan.

Selain Kepulauan Komodo dengan Pulau Padar, Pink Beach, Gili Lawa, Pulau Kalong, Pulau Rinca yang memesona, ternyata juga ada di utara Riung yang lebih sering dikunjungi wisatawan mancanegara daripada wisatawan domestik.

Pulau Padar dengan 3 teluknya

Snorkling di Kepulauan Komodo menjadi highlight dari acara wisata laut karena ikannya yang banyak dan beraneka warna berenang di antara terumbu karang.

Untuk diving atau menyelam, pergilah ke Manta Point, bersiaplah terseret arus dari kibasan sayap Manta Ray yang berenang dekat dengan dada kita.

Mau memancing? Perairan sekitar Pulau Komodo dengan mudah memberikan Kerapu Macan dan Kerapu Tikus dengan umpan alakadarnya. Awak kapal kami mendapatkan baronang sebesar perut orang dewasa hanya dengan umpan roti tawar.

Ikan baronang raksasa dengan umpan roti tawar

Belum lagi budaya berburu ikan paus dengan peralatan tradisional di Pulau Lembata, di timur Flores.

3. Wisata Budaya

Dengan Homo Florensis di Liang Bua, dan desa-desa adat yang ada di setiap daerah, Flores menjadi destinasi sempurna untuk wisata budaya. Puncak dari wisata budaya ini menurut gue adalah Wae Rebo, dimana lokasinya secluded dan butuh effort. Mungkin keterpencilannya itulah yang membuat Wae Rebo tetap pristine dan tidak tercemar.

Rumah adat di WaeRebo

Apabila ingin merasakan tinggal di tengah masyarakat adat, bisa dicoba tinggal di Desa Bena di Bajawa yang jauh lebih dekat dengan akses jalan raya. Tinggallah di rumah masyarakat setempat, menikmati bunyi alat tenun yang ritmis, ibu-ibu yang berjongkok memecahkan kemiri untuk di jual ke pasar, anak-anak yang bermain bola dengan riang di pelataran desa, atau sekedar melihat babi yang diternak di belakang rumah.

Vanili, cengkeh, kemiri, hasil bumi yang dijual ke pasar di Desa adat Bena

Di Manggarai yang merupakan pusat pertanian, kita bisa melihat Spiderweb rice fields yang merupakan kearifan lokal untuk pembagian tanah per desa. 1 juring per keluarga. 1 segment per anak.

Spider web rice fields, keunikan selain terasering yang bertebaran di Manggarai

Arak yang merupakan persyaratan upacara adat, dibuat sendiri dari air nira yang disuling dengan cara direbus dan dialirkan dalam bambu sepanjang 8 meter. Baru sadar ternyata arak itu muncul di berbagai daerah di Nusantara dan merupakan minuman asli Indonesia, terbukti dengan lapo tuak di Medan, brem di Bali, dst.

Penyulingan air nira yang sudah difermentasi menjadi arak

4. Wisata Religi

Belum lengkap bila belum menghadiri prosesi Paskah dimana Patung Bunda Maria (Tuan Ma) diarak keliling kota Larantuka. Saat acara ini berlangsung, keriuhan dan kesakralannya membuat kita lupa bahwa kita ada di Indonesia, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Semua larut dalam liturgi Katolik di Larantuka.

Selain itu, setiap desa ada Gereja. Mungkin padanannya kalau di Jawa adalah, tiap desa ada surau.

5. Wisata Kuliner

Sebenarnya makanan paling asyik di NTT itu adalah Sei alias daging (biasanya babi) asap. Tapi di Flores, so far kami belum menemukan restoran yang stand by memanggang sei setiap hari selain di Kupang.

Salah satu andalan untuk kuliner adalah Seafood terutama di pesisir seperti Labuhan Bajo. Selain itu, Labuhan Bajo diserbu wisatawan asing yang akhirnya menetap di sana, membuka restoran. Ada restoran Italia yang terkenal yang dimiliki oleh orang Italia.

Pisang di Flores adalah yang terenak yang kita pernah makan dan senantiasa manis. And trust us. We eat a lot of banana.

Selain itu, banyak penjual bakso dan pecel lele yang berjualan sepanjang Trans Flores, dan di malam Natal mereka satu-satunya yang masih buka di saat kedai kopi dan restoran lain tutup.

Jadi tunggu apa lagi? Indonesia terlalu luas untuk dijelajahi, jadi harus mulai dari sekarang.


Jumat, 30 Desember 2016

Sepotong Surga yang bernama Wae Rebo

Barang siapa mencintai alam, dia akan mendapatkan kekuatan dari alam 
~ Loys Datang, guide Flores 

Hingar bingar politik yang terjadi belakangan ini membuat orang ingin retret dan mundur dari keramaian media massa dan dunia maya barang sesaat.

Saat memulai perjalanan ke Timur, kita sadar bahwa akan ada daerah pedalaman di mana kita tidak akan mendapatkan signal handphone. Apalagi mobile data. 

Tetapi perjalanan kami ternyata menyimpan lebih banyak petualangan dari sekadar terputusnya akses dari dunia luar. 

Selain memulihkan kebersamaan keluarga dan merajut kenangan kolektif tentang keindahan alam nusantara, kita juga menemukan keindahan lain di Wae Rebo.

Diawali dengan perjalanan dengan kendaraan selama 7 jam dari Bajawa, 3 jam diantaranya melalui jalan yang bukan hanya berkelok-kelok dan membuat orang mabuk darat, melainkan juga sempit dan rusak parah.

Bahkan di beberapa jembatan, tanah amblas dan menyulitkan kendaraan kami yang sebesar Isuzu Elf untuk lewat. 

Belum lagi tragedi pintu belakang kendaraan yang terbuka karena besinya terlepas dari body kendaraan dan menyebabkan beberapa barang berhamburan jatuh ke belakang. Akibatnya sisa perjalanan praktis pintu hanya ditahan dengan simpul tali. 

Kemudian kami menginap di Desa Denge di rumah penginapan Bapak Blasius Monta, salah satu putra Wae Rebo yang berkarir menjadi guru di SD Negeri Denge. Rumah yang sudah disulap menjadi 20 kamar sederhana ini menjadi base camp kami sebelum menuju Wae Rebo. 

Berpose dengan Pak Blasius Monta

Keesokan harinya kami berjalan kaki selama 4 jam (setara 10 km) melalui medan yang sempit dan menanjak. Di beberapa lokasi ada pohon tumbang, jalan berbatu, bekas longsor, air terjun, dan jalan berlumpur yang licin.





Suasana trekking

Seakan alam ingin menambah perjuangan kami, hujan mengiringi trekking kami, diselingi dengan cuaca mendung dan angin kencang di sebagian perjalanan. 

Jalan yang licin pun seakan menghantarkan kita jatuh bangun mengikuti medan perjalanan kita. Tak lupa lintah yang rajin mengikuti kita dan menggemukkan badan dengan menghisap tubuh kita.

Akhirnya setelah 4 jam (yang terasa seperti sehari semalam) kemudian, sampailah kita di rumah kayu atau pos terakhir desa adat Wae Rebo. Sebagai tanda tamu datang untuk kepala adat Wae Rebo, kami membunyikan kentongan dari bambu.


On frame: Pius Neta dan Gregory Mulia

Belum cukup sampai di sana, 500 meter terakhir harus dilalui dengan jalan super licin dan turunan curam sehingga sekali lagi jatuh bangun kita alami. 

Sampailah kita di lapangan terbuka yang dikelilingi 7 rumah adat Mbaru Niang, dimana sebelum melakukan apa-apa, kami diarahkan untuk menemui Kepala Adat di Rumah Gendang, yang merupakan rumah terbesar dari 7 rumah dengan lokasi di tengah dengan atap berbentuk tanduk kerbau kecil. 

Rumah Gendang sendiri dinamakan demikian karena di rumah inilah gendang yang dipakai dalam upacara adat disimpan. Diameter rumah 15 meter dengan tinggi 15 meter juga. Rumah Gendang diisi 8 KK yang berasal dari 8 keluarga.

Kakak kepala suku, Bapak Rafael (91 tahun) di Rumah Gendang

Rumah-rumah lain di sekitarnya berdiameter 10 meter, dan dihuni oleh 6 KK. Dan ada satu rumah di paling kanan yang memang dikhususkan untuk para tamu yang hadir. Di rumah untuk tamu, dapur dipisahkan di bangunan tambahan dibelakang bangunan utama. 

Uniknya Mbaru Niang ini hanya terbuat dari bambu dan kayu dengan ikatan. Tanpa paku, tanpa semen. Saat mendirikan pasak utama di tengah rumah, harus diawali dengan ucapara adat.

Greg dengan Mbaru Niang

Rumah-rumah ini dibuat 5 lantai.
Lantai 1 untuk tinggal, masak, makan.
Lantai 2 dan 4 untuk menyimpan bahan makanan dan hasil panen.
Lantai 3 untuk menyimpan bibit untuk ditanam di musim berikutnya.
Lantai 5 untuk sesajian pada leluhur.

Adapun di bawah panggung digunakan untuk menyimpan kayu bakar, memelihara ayam dan anjing, bahkan menenun. 

Setia menenun di dalam rintik hujan

Saat kami diterima secara adat oleh kepala adat, ada doa dalam bahasa setempat yang menyatakan mohon ijin kepada para leluhur untuk perlindungan  dan keselamatan kita, sekaligus diterimanya kita menjadi anggota warga masyarakat Wae Rebo, sehingga kami bukan lagi tamu, melainkan saudara. 

Di Wae Rebo, kita merasakan ketenangan dan denyut kehidupan rakyat yang sepenuhnya bergantung pada alam sekaligus mengatasi alam. 

Salah seorang penduduk yang datang menyapa dengan hangat, dan ternyata adalah kakak kandung Bapak Blasius Monta. Akhirnya beramai-ramai masuklah kami ke rumah tamu dan ngopi bersama dalam keakraban. Seakan kami bukanlah pertama kali berjumpa.

Bapak Philipus, kakak tertua Bapak Blasius Monta yang tinggal di base camp Denge

Di Wae Rebo, kami menemukan panggilan hidup bukan melulu masalah siapa menghasilkan uang terbanyak atau siapa paling berkuasa, tetapi bahwa jabatan Kepala Adat adalah pelayanan yang mengharuskan orang untuk tinggal di desa dan memimpin semua upacara adat, tanpa kekuasaan atas keluarga lain. 

Di Wae Rebo, kami belajar bahwa hidup ini hahekatnya adalah sederhana dan biasa-biasa saja. Para bapak ke kebun dan membawa hasil kebunnya ke kampung terdeka untuk dijual, dan membawa kembali beras, garam dan gula ke Wae Rebo. 

Di Wae Rebo, kami bersyukur dengan ibu-ibu yang beramai-ramai memasakkan tamu yang singgah, dan sisanya menghabiskan hari menenun kain kehidupan yang beraneka warna. 


Ibu Odilia dkk dan Marcel Silas.

Di Wae Rebo, kami menyerah pada alam, sekaligus mendapatkan kekuatan dari alam seperti quote dari Pak Loys.

Kami pun menemukan keluarga-keluarga baru di Wae Rebo. Pengunjung lain yang bersama-sama menjalani napak tilas kami, akhirnya menjadi seperti saudara yang hilang dan kita temukan kembali. Persaudaraan yang melampaui suku, ras dan agama.

Makan bersama

Dan saat kabut melintas di atas desa Wae Rebo sehingga pegunungan yang mengepung sekitarnya lenyap dari pandangan, kami pun tersadar bahwa kami sudah menemukan surga di bumi, sepotong surga yang bernama Wae Rebo.




Catatan perjalanan Mulia's Flores Trip - Wae Rebo 
23-24 Desember 2016


Minggu, 04 Oktober 2015

Traveling

The world is a book and those who don't travel read only one page ~ St Augustine


Belakangan schedule kerja sedang gila-gilaan, buat gue yang biasanya santai dan relax,  almost sedentary.  Dalam beberapa minggu traveling bisa beberapa kali,  dan semuanya internatonal trip (mungkin ini yang dimaksud Simbok Venus dengan #humblebrag).


Anyway, setiap perjalanan adalah ziarah pribadi... ziarah karena dengan lepas dari rutinitas, gue punya banyak waktu untuk berpikir dan menginternalisasi hal-hal yang terjadi di sekitar kita.  Biasanya kita sibuk nyetir, nelpon, balesin email, etc. 


Yang paling menarik dari perjalanan, selain membandingkan infrastruktur (terutama yang terkait public service) misalnya transportasi umum, juga membandingkan culture (budaya setempat). Dan kita jadi punya julukan untuk membandingkan negara lain dengan apa yang kita kenal di negara sendiri.


Misalnya Ho Chi Minh City di Vietnam, mengingatkan gue akan Jakarta tahun 1980-an, dimana jalan-jalan utama lebar (untuk ukuran jaman itu) dan kendaraan gak segila sekarang, sementara pembangunan fisik gedung bertingkat sedang heboh-hebohnya.

Adapun Taipei, Taiwan , itu mengingatkan kepada HongKong, namun dengan keteraturan (tidak ada trem dan kabel bergelantungan yang membuat semrawut kota apabila kita memandang ke langit. (Buat gue, kota yang langitnya dipenuhi kabel trem itu nggak banget dah... that's why I prefer Brisbane to Melbourne).


Bangkok mengingatkan gue akan home town gue, Surabaya, dengan infrastruktur yang sudah jauh lebih advanced, bahkan dibandingkan Jakarta. Sepanjang jalan di sore - malam hari, terutama disekitar BTS, masih bisa ditemukan pedagang kaki lima yang berjualan barang-barang yang totally random. Mostly makanan, sih. Dengan harga yang super miring. Kepadatan yang menyesakkan trotoar ini, mengingatkan gue pada Surabaya tahun 1980-an. Tapi dengan infrastruktur yang ingin menyaingi Singapore. 



Beberapa lokasi, seperti di Suvarnabhumi Airport, terlihat jelas keinginan untuk meniru Singapore. Bahkan sampai ke electronic survey kondisi toilet seperti yang ada di Changi Airport #tepokjidat. Mereka pun berusaha memakai padanan Inggris untuk setiap tulisan Thai (yang mirip huruf Sanskrit),... yang buat kita yang saat SD dipaksa belajar menulis aksara Hanacaraka bisa mengerti tingkat kesulitannya... Tetapi saat Singapore berhasil mengintegrasikan Singlish menjadi daily language, Thailand masih tertatih-tatih menginggriskan diri. Mesin pembelian tiket di BTS memang bisa diakses. Tetapi banyak signage lain yang melulu bahasa Thai. 


Untuk penduduk Bangkok, pun, walau banyak diantara mereka sudah fasih berbahasa Inggris (bahkan nenek-nenek penjual buah di pertigaan Sukhumvit pun bisa bilang Forty Bath saat gue menunjuk sekresek duku gendut yang ada di gerobaknya), tetapi saat kita mau berbicara panjang lebar... kita masih butuh berpikir keras....


Yang konyol adalah saat berbicara dengan Domestic Sales Manager, seorang gadis cantik yang masih belia dengan tubuh bak model dengan wajah mirip teman yang tinggal dekat rumah, terjadi percakapan sbb:

Gue: "Zojirushi product  , where you sell them?"
Her:  "Oh, we sell many places, sonta dipamen stror, domo, lobingsong. There are seven sonta dipamen stror. All Thailand"
Gue: *berpikir keras* ... *ok, this must be Central Department Store (karena di Indonesia juga ada, dan juga customer kita)* *but then what is Domo?? Pak Domo kah? Bukannya jamannya bersih lingkungan sudah lewat?* "Oh.... " (dengan tampang gak meyakinkan)


Belakangan di meeting, saat presentasi barulah gue tau... yang dimaksud adalah: Central Department Store, The Mall (including Siam Paragon, Emporium), dan Robinson.... EALAHHH MBAAAAKKKK.... nggarai bingung ae... hehehehe....


But Thai people are nice and gentle people... and they speak English with Thai accent, including adding kah at the back .... I think I'm in love with Thailand.


Thank you , kah.... See you later, kah....

Jumat, 07 Agustus 2015

Visa Taiwan

Dulu waktu kantor bertaburan dengan anak-anak McKinsey yang lalu lalang ke mancanegara sedangkan kita terjebak dalam kubus besar yang dingin di sebelah ruangan PresDir, sering gue mimpi, kapan bisa traveling sambil kerja. Kesannya keren. Lalu lalang di airport. Apalagi sekarang dengan adanya aplikasi Foursquare (dulu belom ada aplikasi 4sq, levelnya baru ngumpulin stempel di paspor).


Sekarang... belum juga pantat nempel kasur seminggu, udah dikejar-kejar bos romusha untuk memikirkan bisnis trip berikutnya, ke Taiwan.

Masalah booking tiket sih gampang, tinggal traveloka atau nusatrip , asal ada kartu kredit, bisa beres. Tapi yang menyebalkan jadi orang Indonesia adalah kemana-mana kudu apply Visa. Apply Visa sendiri ini riweuhnya setara dengan traveling seminggu. Pertama kita harus membaca website mengenai syarat-syarat dan cara-cara. Kalau ada foto ukuran tertentu, dengan latar belakang tertentu, bahkan expresi wajah tertentu (sumpah, di aplikasi visa ke Amerika, foto gak boleh senyum. Ekspresi netral. Kebayang gak gue berusaha poker face? Adanya malah boker face!). Belum lagi mengisi segala macam form yang pertanyaannya yang gitu deh (apakah pernah melanggar hukum, apakah pernah overstayed, apakah pernah memakai narkoba -- kalo di Kanada apakah dalam waktu 6 bulan ke Afrika Barat).


Anyway, hari ini gue melihat syarat-syarat Visa Taiwan. FYI, Taiwan tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia sejak Indonesia mengakui RRC sebagai Cina (1 China Policy), jadi kita harus ke Kadin nya mereka, istilah kerennya Taipei Economic and Trade Office, di Gedung ArthaGraha SCBD.

Setelah ngisi-ngisi form mereka, ternyata di website Travelawan ada info lengkapnya... Bahkannnn... kalau kita punya Visa yang masih laku dari negara-negara Amerika, Kanada, Inggris, Schengen/Eropa, Australia, New Zealand, Jepang, kita bisa dapat instant approval. Serius. Mungkin dianggapnya negara-negara maju ini lebih rigorous memfilter dan menscreening orang-orang yang akan masuk ke negara mereka, sehingga pemerintah Taiwan tidak perlu menscreening ulang (reinventing the wheel -- kalo istilah Steven Covey)..  Dan semuanya bisa dilakukan online di sini.

Lebih dahsyatnya lagi, ini hanya berlaku untuk beberapa warganegara: India, Thailand, Vietnam, Filipin, dan .. INDONESIAAAA.... Gue kebayangnya, mungkin kita ini dianggap sebagai transisi antara negara yang "nggak banget" ke negara yang "oke punya". Jadi seakan-akan I'm not a Girl not yet a Woman gitu deh... *elu pikir elu Britney Spears??*

Dan... hasilnya adalah...


dan... expirednya dalam waktu 30 hari.. which is sebelum gue berangkat... TOBATTTTT !!!...


Jadi gitu deh, next week gue kudu bikin lagi sekali lagi... Dan dokumen ini gak usah lagi ke kantor Taipei Trade Office. Cukup nanti ditunjukin ke imigrasi di sono. Dan ini... GRATISSSSS... (seneng kan kalo denger gratisan?? Itu bukti bahwa kita Truly Indonesian.

Ya deh... semoga bermanfaat.

Gimana kalo ternyata gak punya visa dari negara-negara itu? Ya kudu apply seperti biasa sih. Isi formnya online, tapi di print dibawa ke Gedung ArthaGraha, dan kudu bayar. Link formulirnya di sini. Good luck!!


Kamis, 25 Juni 2015

Trip Planning: Lombok

Due to so many requests and questions on Lombok Trip Planning,  gue bikin tulisan ini...  Intinya bukan gue kemana nya,  tapi option apa yg available di sana dan how to arrange it.

Jadi gini,  kemarin itu awalnya Julian yg browsing tiket dan hotel. Utk hotel,  Julian exclude Gili Trawangan,  karena for some strange reason,  dia merasa Gili Trawangan isinya cuma bule2 dugem kyk PhiPhi Island,  Thailand.  Dan kita bawa anak2 dan mama,  takut gak suitable.

Jadi Julian booking flight CGK-Lombok via traveloka (recommended!!)  dan cuma ada 2 flight yg direct,  yaitu Garuda dan LionAir (you know lah kita  pilih yg mana...  Kan kita cheapo).  Hehehhe...  Yg banyak itu stop over either di Sby atau Denpasar.  Tp you waste few hours of our precious leave.  Ya gak?

Akhirnya Julian decided booking 2 nights in Kuta (Novotel is the only hotel berbintang di area ini)  dan 2 malam di LivingAsia (north of Senggigi).  Both hotel have private beach.  Novotel isinya lbh banyak bule.  Kalo LivingAsia lbh banyak org Asia (the name is sort of like oracles for the resort). 

Hotel mah disana banyak.  Tapi di Novotel itu ada kamar yg 1 pintu masuk (connecting di dalam),  which we like,  tp di main building lt 3. Kayaknya the best room itu yg cottage2 di bawah dekat pantai (walaupun ada hearsay2 kalo rada2 gimana gitu). 

Kalo di LivingAsia kita dapat kamar yg 1 building atas bawah (sayangnya stairsnya di luar kamar) lengkap dg balcony dan milih ocean view (lbh mahal).  Tp Julian milih begitu (gue juga br tau belakangan)  hehehe..  Masalahnya,  he's busy planning for Lombok holiday,  when I'm busy applying  visa for US and Canada.  Gitu deh. 

Service bagusan di LivingAsia.  Kalo Novotel kyknya mereka lbh serve bule.  Mungkin itu perasaan gue doang.

Nah,  setelah itu,  Julian suruh gue bikin Itinerary utk di sana termasuk rental car.  Tapi krn gue gak terlalu  familiar (dan lebih cocoknya gak punya waktu utk browsing &  study sih),  jadi gue came across Lombok Friendly Tour and Travel.  Karena di Trip Advisor bagus,  nggeus wae gue email dia.  Btw gue terakhir ke Lombok itu 1996 amd many things have changed since then.

Contact Lombok Friendly Tour : Aziz +6281805245246 (owner),  dan Andy 08175767708 (driver)

Nah,  gue explain,  gue ama siapa aja,  usia berapa,  ber berapa,  kapan sampe kapan,  flight jam berapa dll. Dan gue specify,  gue gak mau monkey forest,  gak mau Sasak Tour,  gak mau peternakan mutiara,  penentuan,  dll.  Gue mau alam,  pulau,  hiking.

Jadilah dia nongol dg Itinerary sbb (lihat foto) .  Dan utk last day gue pilih Rinjani waterfalls as supposed to Gili Trawangan.

Menurut gue pake lokal tour operator save so many hassle misalnya nego ama tukang kapal,  (temenku baru kena tipu,  1.5jt large boat for 16 to Gili Trawangan,  jd dikasih medium boat)  - - -  FYI,  nyebrang dg Ferry umum ke Gili Trawangan cuma kena 25rb per orang sekitar 30mt. (speedboat 10mt). Lah..  Kan males banget tuh...

Kalo kalian keen of hiking to the summit of Rinjani,  mention that too..  Paket mereka bisa 2 malam 3 hari: Senaru - Segara Anak -  Summit -  Sembalun. Pergi dan pulang beda path.  Lengkap dg lokal guide,  porter,  bakar ikan di segara anak. Bahkan mereka bisa siapin tenda,  sleeping bag,  dll.  Kita tinggal bawa badan.  Yah..  Kemping2 ala usia 40+ deh..  Elit dikit...  (damn,  did I just disclose my age in my blog??!!  Arrgghhh)

Anyway..  Lombok is an exciting island that has been less explored.  Jadi di Selatan ada pantai2 indah Tanjung Aan dan Selong Blanak yg gue saranin.  (lihat blog gue di siennysentosa.blogspot.com).  Trus di Barat Daya ada Gili Nanggu,  Gili Kedis,  Gili Sudak,  Gili Tangkong (Gitanada: GIli TAngkong NAnggu suDAk),  yg bagus Gili Kedis dan Nanggu.  Kalo mau nginep di Nanggu juga  ada...  Terpencil banget..  Di Timur ada Rinjani.  Di Barat Laut ada Gili Air,  Meno,  Trawangan (yg lebih dulu ngetop).

This island gak habis2 exploring nya..  Dan again,  gue recommend pake lokal tour..  Hehehhe...

Thanks Hani Idajanti udah jadi pemivu tulisan ini,  and Igor Govinda Juwono,  this is for you.

Let me know how your itinerary turns out to be ya..