Kamis, 22 Oktober 2015

Yang Tersisih dan Kalah

Pada mulanya adalah sebuah desa asri yang dilalui sungai meliuk yang memeluk sawah dan ladang penduduk. Penduduknya hidup dari bercocok tanam, sebagaimana penduduk Indonesia digambarkan di pelajaran IPS kelas 3 SD : agrasis, pendidikan rendah, penurut, bodoh, terbelakang. Transportasi mereka adalah perahu-perahu kecil yang didayung melewati arus tenang kemarau yang surut.



Kemudian datanglah buldozer. Mesin-mesin raksasa ini melumat tanah disekitarnya supaya rata. Dimatangkan. Untuk siap dibangun. Lembah dan alur kecil diuruk dengan bekas bongkaran dari lokasi lain. Beberapa rumah digusur dengan uang ganti rugi secukupnya.  Bukan hanya orang hidup yang terusir. Pun orang mati. Kuburan pun digali dan dipindah. Beberapa penduduk sekitar dibayar mahal mengais belulang tetangganya yang sudah disembahyangi dukun bayaran.



Tak lama, berdirilah pagar slab beton abu-abu, membatasi antara yang baru dengan yang lama, yang maju dengan yang terbelakang, yang bodoh dengan yang pintar.

Yang   K A Y A   dengan yang   M I S K I N .


Yang berada di dalam pagar beton pun tidak bisa terpisahkan dari yang ada di luar pagar beton. Mereka membutuhkan pengurus rumah, tukang bangunan, sopir, pengasuh anak, agar hidup mereka nyaman dan ringan.  Yang berada di luar pagar beton, yang awalnya bercocok tanam, menjadi tergantung kepada yang ada di dalam pagar beton, karena sawah mereka menjadi rumah-rumah.


Tanah-tanah tempat anak-anak mereka bermain, sekarang tidak lagi dapat diakses oleh mereka. Karena yang di dalam pagar membutuhkan perlindungan, keamanan. sehingga dibuat lebih banyak lagi pagar. Pagar di dalam pagar. Perumahan di dalam perumahan. Cluster di dalam cluster. Yang ada di luar pagar pun dianggap menjadi ancaman dan sumber ketidaknyamanan dari lingkungan yang seharusnya bersih dan asri.


Sebenarnya siapakah yang dikurung? Yang tinggal di dalam pagar, apakah di luar pagar? Karena toh semuanya serba relatif? Siapakah yang seharusnya terganggu oleh siapa? Siapakah yang manusia bebas siapa yang terkukung?


Dan hari demi hari, manusia-manusia di luar pagar beton, berjalan kaki dari rumah-rumah kecil mereka, berangkat kerja bagai semut-semut merayap di atas tanah-tanah kosong. menuju ke rumah-rumah mewah di dalam pagar beton. Entah karena setia ataupun terpaksa. Mereka yang tidak berjalan mengikuti setapak yang ada, kaum perintis, yang berjuang mempertahankan nasib di tengah gerusan pembangunan. Sampai tuntas kita curi matahari senja mereka yang terakhir.

Yang   T E R S I S I H   dan   K A L A H   atas nama pembangunan dan modernitas.



Cibubur,
23 Oktober 2015






Tidak ada komentar: