Senin, 23 November 2015

Filosofi Kopi: Keajaiban di Banceuy

Namanya Pak Widya. Perawakannya kurus, dengan wajah bersinar dan mata sayu. Tangannya menghitam antara jelaga dan bubuk kopi. Kemeja putihnya terlihat menipis dan keabuan, walau rapi. Bicaranya lembut menenangkan, dengan antusiasme yang menyihir.

Pertama kali berjumpa dengan beliau, sosoknya menangkap mata saya dari belakang counter penjualan yang sibuk. Beberapa menit sebelumnya, aku melongokkan kepala ke jendela samping yang gelap dengan kaca film, sebelum akhirnya menanyakan kepada bapak pedagang kaki lima yang berjualan di depan tokonya, mengharap limpahan rejeki.

"Kopi ada 2 macam", demikian ia memulai kisahnya, bak romansa. "Robusta dan Arabika".  Kemudian dia menjelaskan keunggulan Arabika untuk wanita, melangsingkan, tidak asam di lambung. Disusul keunggulan Robusta untuk kejantanan pria.

Beliau melambaikan tangan mengajak kita  ke bagian dalam toko/ pabrik/ rumah beliau. Sampai pada halaman dimana biji kopi yang berwarna hijau dijemur.

"Kopi dijemur di kebun selama 2 minggu, dijemur 7 jam di sini. Setelah itu disimpan di dalam karung. Untuk Robusta, kita simpan selama 5 tahun. Untuk Arabica, kita simpan selama 8 tahun. Gudang kopi pun pake system First In First Out. Setelah disimpan, kadar asam menurun sehingga aman untuk lambung, dan biji kopi berubah menjadi kekuningan." Ujarnya melanjutkan kisahnya.





"Setelah itu baru kopi di roast selama 2 jam di suhu 125°C. Kopi menjadi kecoklatan"



Lalu beliau menceritakan sepintas lalu mengenai bisnis kopi modern yang memotong kompas fase penyimpanan yang makan waktu (dan menyusutkan kadar air dari biji kopi), sehingga biji kopi yang masih hijau diroasting selama 15 menit dalam suhu tinggi".

Beliau berkata dengan tenang dan perlahan: "Berbisnis harus jujur, Dik. Rejeki sudah diatur Yang Di Atas."

"Pabrik ini mulai 1930, saya anak tunggal, mau gak mau, saya meneruskan bisnis ayah saya. Sekarang anak-anak saya yang meneruskan bisnis saya. Anak pertama dan ketiga yang sekarang di toko. Anak kedua gak mau nerusin, karena keenakan jadi dosen. Gak bisa dipaksakan juga, anak-anak minatnya akan muncul sendiri."

Beliau menyambung: "Saya jual kopi gak mahal, karena kopi saya beli dari petani langsung, gak pake middle man, jadi harga juga murah.  Rumah saya di belakang toko, gak pake transport, gak kena macet.  Gak pakai banyak pegawai, semua kami kerjakan sendiri. Istri saya juga cuma satu." Selorohnya sambil tersenyum simpul.

"Saya siang bekerja di pabrik, sore ngajar, jadi dosen di Unpad jurusan Entrepreneurship. Tanya aja Pak Widya, pada kenal kok. Gaji jadi dosen lumayan, tapi saya pulang gak bawa uang.  Hasil mengajar saya pakai untuk membuat Panti Sosial dekat Sukamiskin untuk penyandang cacat ganda. Ada 80 orang di panti saya."

Beliau pun semangat membukakan tungku untuk memasak biji kopi agar kita bisa berfoto, juga nenunjukkan cara melihat hasil roasting. Di antara 2 mesin roasting panas yang masing-masing berkapasitas 100 dan 70kg (biasa hanya diisi 80% kapasitas untuk hasil terbaik), ditengah kepulan debu sisa pembakaran kayu karet, dan panas hawa tungku, kami takzim mendengarkan kisah beliau. 



Kisah hidup yang bukan hanya sekadar untuk diri sendiri, tetapi menjaga integritas sambil bermanfaat bagi orang lain. Kisah hidup luar biasa dari orang-orang biasa. 

Bahwa kopi bagi mereka lebih dari sekedar mata pencaharian maupun gaya hidup, tetapi laku jiwa untuk bersyukur pada 'sangkan paraning dumadi'




Kunjungan ke Paberik Kofie Aroma, Bandung 
18 November 2015

Tidak ada komentar: