Jumat, 30 Desember 2016

Sepotong Surga yang bernama Wae Rebo

Barang siapa mencintai alam, dia akan mendapatkan kekuatan dari alam 
~ Loys Datang, guide Flores 

Hingar bingar politik yang terjadi belakangan ini membuat orang ingin retret dan mundur dari keramaian media massa dan dunia maya barang sesaat.

Saat memulai perjalanan ke Timur, kita sadar bahwa akan ada daerah pedalaman di mana kita tidak akan mendapatkan signal handphone. Apalagi mobile data. 

Tetapi perjalanan kami ternyata menyimpan lebih banyak petualangan dari sekadar terputusnya akses dari dunia luar. 

Selain memulihkan kebersamaan keluarga dan merajut kenangan kolektif tentang keindahan alam nusantara, kita juga menemukan keindahan lain di Wae Rebo.

Diawali dengan perjalanan dengan kendaraan selama 7 jam dari Bajawa, 3 jam diantaranya melalui jalan yang bukan hanya berkelok-kelok dan membuat orang mabuk darat, melainkan juga sempit dan rusak parah.

Bahkan di beberapa jembatan, tanah amblas dan menyulitkan kendaraan kami yang sebesar Isuzu Elf untuk lewat. 

Belum lagi tragedi pintu belakang kendaraan yang terbuka karena besinya terlepas dari body kendaraan dan menyebabkan beberapa barang berhamburan jatuh ke belakang. Akibatnya sisa perjalanan praktis pintu hanya ditahan dengan simpul tali. 

Kemudian kami menginap di Desa Denge di rumah penginapan Bapak Blasius Monta, salah satu putra Wae Rebo yang berkarir menjadi guru di SD Negeri Denge. Rumah yang sudah disulap menjadi 20 kamar sederhana ini menjadi base camp kami sebelum menuju Wae Rebo. 

Berpose dengan Pak Blasius Monta

Keesokan harinya kami berjalan kaki selama 4 jam (setara 10 km) melalui medan yang sempit dan menanjak. Di beberapa lokasi ada pohon tumbang, jalan berbatu, bekas longsor, air terjun, dan jalan berlumpur yang licin.





Suasana trekking

Seakan alam ingin menambah perjuangan kami, hujan mengiringi trekking kami, diselingi dengan cuaca mendung dan angin kencang di sebagian perjalanan. 

Jalan yang licin pun seakan menghantarkan kita jatuh bangun mengikuti medan perjalanan kita. Tak lupa lintah yang rajin mengikuti kita dan menggemukkan badan dengan menghisap tubuh kita.

Akhirnya setelah 4 jam (yang terasa seperti sehari semalam) kemudian, sampailah kita di rumah kayu atau pos terakhir desa adat Wae Rebo. Sebagai tanda tamu datang untuk kepala adat Wae Rebo, kami membunyikan kentongan dari bambu.


On frame: Pius Neta dan Gregory Mulia

Belum cukup sampai di sana, 500 meter terakhir harus dilalui dengan jalan super licin dan turunan curam sehingga sekali lagi jatuh bangun kita alami. 

Sampailah kita di lapangan terbuka yang dikelilingi 7 rumah adat Mbaru Niang, dimana sebelum melakukan apa-apa, kami diarahkan untuk menemui Kepala Adat di Rumah Gendang, yang merupakan rumah terbesar dari 7 rumah dengan lokasi di tengah dengan atap berbentuk tanduk kerbau kecil. 

Rumah Gendang sendiri dinamakan demikian karena di rumah inilah gendang yang dipakai dalam upacara adat disimpan. Diameter rumah 15 meter dengan tinggi 15 meter juga. Rumah Gendang diisi 8 KK yang berasal dari 8 keluarga.

Kakak kepala suku, Bapak Rafael (91 tahun) di Rumah Gendang

Rumah-rumah lain di sekitarnya berdiameter 10 meter, dan dihuni oleh 6 KK. Dan ada satu rumah di paling kanan yang memang dikhususkan untuk para tamu yang hadir. Di rumah untuk tamu, dapur dipisahkan di bangunan tambahan dibelakang bangunan utama. 

Uniknya Mbaru Niang ini hanya terbuat dari bambu dan kayu dengan ikatan. Tanpa paku, tanpa semen. Saat mendirikan pasak utama di tengah rumah, harus diawali dengan ucapara adat.

Greg dengan Mbaru Niang

Rumah-rumah ini dibuat 5 lantai.
Lantai 1 untuk tinggal, masak, makan.
Lantai 2 dan 4 untuk menyimpan bahan makanan dan hasil panen.
Lantai 3 untuk menyimpan bibit untuk ditanam di musim berikutnya.
Lantai 5 untuk sesajian pada leluhur.

Adapun di bawah panggung digunakan untuk menyimpan kayu bakar, memelihara ayam dan anjing, bahkan menenun. 

Setia menenun di dalam rintik hujan

Saat kami diterima secara adat oleh kepala adat, ada doa dalam bahasa setempat yang menyatakan mohon ijin kepada para leluhur untuk perlindungan  dan keselamatan kita, sekaligus diterimanya kita menjadi anggota warga masyarakat Wae Rebo, sehingga kami bukan lagi tamu, melainkan saudara. 

Di Wae Rebo, kita merasakan ketenangan dan denyut kehidupan rakyat yang sepenuhnya bergantung pada alam sekaligus mengatasi alam. 

Salah seorang penduduk yang datang menyapa dengan hangat, dan ternyata adalah kakak kandung Bapak Blasius Monta. Akhirnya beramai-ramai masuklah kami ke rumah tamu dan ngopi bersama dalam keakraban. Seakan kami bukanlah pertama kali berjumpa.

Bapak Philipus, kakak tertua Bapak Blasius Monta yang tinggal di base camp Denge

Di Wae Rebo, kami menemukan panggilan hidup bukan melulu masalah siapa menghasilkan uang terbanyak atau siapa paling berkuasa, tetapi bahwa jabatan Kepala Adat adalah pelayanan yang mengharuskan orang untuk tinggal di desa dan memimpin semua upacara adat, tanpa kekuasaan atas keluarga lain. 

Di Wae Rebo, kami belajar bahwa hidup ini hahekatnya adalah sederhana dan biasa-biasa saja. Para bapak ke kebun dan membawa hasil kebunnya ke kampung terdeka untuk dijual, dan membawa kembali beras, garam dan gula ke Wae Rebo. 

Di Wae Rebo, kami bersyukur dengan ibu-ibu yang beramai-ramai memasakkan tamu yang singgah, dan sisanya menghabiskan hari menenun kain kehidupan yang beraneka warna. 


Ibu Odilia dkk dan Marcel Silas.

Di Wae Rebo, kami menyerah pada alam, sekaligus mendapatkan kekuatan dari alam seperti quote dari Pak Loys.

Kami pun menemukan keluarga-keluarga baru di Wae Rebo. Pengunjung lain yang bersama-sama menjalani napak tilas kami, akhirnya menjadi seperti saudara yang hilang dan kita temukan kembali. Persaudaraan yang melampaui suku, ras dan agama.

Makan bersama

Dan saat kabut melintas di atas desa Wae Rebo sehingga pegunungan yang mengepung sekitarnya lenyap dari pandangan, kami pun tersadar bahwa kami sudah menemukan surga di bumi, sepotong surga yang bernama Wae Rebo.




Catatan perjalanan Mulia's Flores Trip - Wae Rebo 
23-24 Desember 2016


Tidak ada komentar: