Rabu, 07 Desember 2016

Islam di Persimpangan Jalan

Entah kenapa dikotomi Islam dan Non-Islam sekarang makin menjadi garis tegas dari sebelumnya garis putus-putus atau garis samar. Seakan di satu kubu adalah Islam. Di kubu lain berhadapan contender agama lain yang diakui di Negara Indonesia: Kristen (termasuk Kristen Protestan dan Kristen Katolik), Hindu, Buddha, Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan agama asli penduduk nusantara yang beragam (Kejawen, Sunda Wiwitan,  dll.)

Pembauran ideal itu seharusnya tidak ada garis antara Islam dan Non-Islam, walaupun kita tau hal tersebut belom pernah sungguh-sungguh terjadi di negara Indonesia ini. Hal ini terbukti dengan masih hebohnya kita bila ada artis (atau lebih lagi) saudara dan anggota keluarga yang menikah beda agama. Ada semacam tabu dan bisik-bisik tetangga di dalamnya.

Adapun yang makin mempertajam segregasi ini adalah Aksi 411 dan yang paling aktual, 212. Lepas dari claim masing-masing pihak antara siapa yang pengikut demonya lebih banyak, siapa membela agama lebih taat, dan siapa yang demonya paling damai; tetap saja yang namanya pengerahan massa dalam jumlah besar menciderai rasa keamanan dan ketenangan bangsa.

Bagi yang turun ke jalanan, mereka punya argumentasi sendiri. Juga bagi mereka yang memilih untuk tidak turun ke jalan, saya rasa juga pasti punya argumentasi yang tak kalah kuatnya. Dan terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam aksi-aksi sipil belakangan, lagi-lagi umat Islam seperti dihadapkan pada dua kubu. Kubu yang mendukung dan actually turun ke jalanan, dan kubu yang memilih jalan lain.

Lebih parahnya, orang yang memilih tidak turun ke jalan pun akhirnya dikecam dan dihakimi sebagai tidak membela agama Islam, tidak taat beragama, tidak sayang Quran, dll. Adapun yang memilih tidak turun juga menyindir bahwa Allah tidak perlu dibela, ada yg lebih sayang agama daripada Allah, dll.

Instead berusaha reaching out untuk memdengarkan kubu lain, masing-masing kubu saling ejek di jalur-jalur social media dan saling sindir.

Atas nama kebebasan berbicara, kita seakan lupa untuk mendengar orang yang berbeda pendapat.

Atas nama hak bersuara, kita lupa akan hak orang lain juga.

Atas nama hak untuk beribadah, kita lupa  kita menghalang-halangi orang lain untuk beribadah. Padahal yang mereka halang-halangi orang yang mencari Tuhan dalam damai pun. Lucunya mereka pun menuduh  "kafir" dari orang yang mencari Tuhan.

Sebagai kaum Non Muslim yang masabodoh terhadap politik, awalnya pasti ada rasa resah dan takut, khawatir bahwa suatu saat, akan ada orang-orang yang merasa terjustifikasi dan terbenarkan untuk membully orang monoritas sebagaimana gejala yang kita lihat di UK pasca Brexit, dan di Amerika pasca kemenangan Trump dalam pemilu president.

Namun makin dicermati, kita (notabene kaum Non-Islam) hanyalah pelanduk yang mati ditengah-tengah saat dua gajah berkelahi. Dan tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan selain mawas diri dan bersiap mental untuk hal-hal terburuk (yang sesungguhnya sudah kami lakukan seumur hidup, anyway).

Kami hanya bisa mengadu kepada Allah... Allah yang kita percaya Satu dan Esa. Allah yang sama yang dibela oleh kelompok sebelah. Allah yang kita percaya adalah Sang Maha.

Sesungguhnyalah perang melawan keangkaramurkaan tidak semudah menentukan hitam dan putih. Banyak diantaranya abu-abu. Dan hal ini akan menjadi perjuangan saudara-saudara kami kaum muslim untuk menemukan jati diri baru dari perbedaan pendapat bahkan pertentangan pendapat yang ada.

Atau mungkin sudah saatnya ada yang dikorbankan untuk menjadi martir keragaman, sebagaimana GusDur menyerahkan dirinya dicabik-cabik singa yang lapar kekuasaan, justru saat di puncak kekuasaannya.

Mungkin hal-hal ini yang menyebabkan beberapa orang yang saya kenal memilih untuk melepas agama dan hidup dalam ketulusan dan kebaikan terhadap sesama, daripada beragama dalam kemunafikan.

Ironis bukan?

Tidak ada komentar: