Kamis, 10 November 2016

Suppressed Desires

Ada fenomena unik yang aku cermati selama menjelang Pilpres, Pilkada, baik di Indonesia maupun yang terupdate Pemilihan Presiden di Amerika.

Kenapa keagresifan itu menarik pengikut? Kenapa Prabowo, Habib Rizieq, dan Donald Trump banyak yang memilih? Apa yang menyebabkan mereka mengikuti pemimpin-pemimpin yang cenderung arogan, fasis, diktator, full of hatred, kejam dan tegaan?

Teori gue, sering obrolkan dengan beberapa teman. Awalnya dengan Jenny Xue, teman twitter dan online publisher di US. Kemudian dengan Lyna Augustine sesaat setelah US Election ditutup dan Trump diumumkan sebagai Presiden Amerika yang baru.

Teori gue itu adalah tentang "Suppressed Desires". Alias keinginan-keinginan terpendam.

Jadi begini, saat pertama kali mendarat di Amerika utk bersekolah lebih dari 25 tahun yang lalu (iya.. iya.. gue tau gue tua..) , saya sempat dibrief oleh kakak kelas yang berkali-kali mengingatkan: "Hati-hati ya. Jangan sampai bilang orang hitam itu negro. Nanti mereka marah. Harus bilangnya African American"...

Ucapan itu sampai membekas.. dan dari sana kita tau yang namanya "political correctness". Bahwa kita gak boleh bilang Chinky for Chinese because it's politically incorrect. Kita harus bilang Asian American. Dan seterusnya.

Karena banyaknya aturan political correctness di Amerika, maka banyak orang yang menahan diri dari mengatakan apa yang sesungguhnya, karena ditutupi dengan ameliorasi-ameliorasi.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Orang Cina gak boleh disebut Cina, harus disebut Tionghoa. Menurut gue saat kita diharuskan untuk memperhalus ucapan, saat itulah kita sebenarnya dibedakan dan diposisikan 'liyan', sehingga orang harus berhati-hati menjaga perasaan kita.

Coba bandingkan dengan arek-arek Suroboyo yang dengan santai meneriakkan kata "janc*k!!* sebagai ungkapan keakraban tanpa batas antar dua sahabat.

Sama juga sih dengan majalah dewasa dan pelacuran yang dilarang oleh pemerintah/ormas, malahan membuat orang menyalurkan hasrat seksual dengan memperkosa, pelecehan seksual, pedofilia, atau poligami (maaf, ini disclaimer, kalau ada pembaca yang menganggap poligami ini sah secara agama, ya monggo silakan nulis artikel sendiri dan jangan nyampah di blog maupun wall saya).

Rasa tertekan dalam ketidakbolehan menyerang agama lain dalam bingkai toleransi juga membuat suppresed desires di antara bangsa kita.

Jadi begitu ada orang-orang seperti Trump yang dengan leluasa mencaci maki kaum minoritas yang selama ini terlindung dalam gelembung political correctness, maka pecahlah kepundan kebencian dan rasa tertekan yang selama ini menghimpit kemerdekaan bicara. Atas nama freedom of speech pula, orang jadi merasa berhak berkata kasar yang berpotensi menyakiti orang lain yang selama ini dijaga perasaannya.

Begitu juga dengan orang-orang yang kemarin demo tanggal 4 November 2016 di jalan2 di Jakarta. Mereka sebenarnya sudah memupuk api dalam sekam. Negara yang kelihatan damai tentram gemah ripah loh jinawi ini ternyata menyimpan ketertekanan. Suppressed desires untuk mengusir yang 'liyan'.

Dan yang jelas liyan adalah yang secara fisik tampak berbeda. Kenapa Cina? Karena kita yang paling penakut dan diiriin oleh kaum pribumi. Kenapa bukan bule? Karena deep down inside, sebagai kaum inlander, masih ada rasa minder dan tidak percaya diri. Juga masih percaya adanya supremasi bule.

Saat suppressed desires orang banyak ini bertemu dengan teriakan Habib R*z**q, jadilah yang namanya jihad jalanan yang menginginkan pengadilan jalanan untuk satu orang yang bernama Ahok, dengan menakut-nakuti cina-cina lain.

Sambil menyelam minum air. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Apalagi dengan adanya backing donasi material dari you know who. Pecah bisulnya.

Jadi bagaimana?

Ada bagusnya sih. Dengan pecahnya bisul, seharusnya sementara aman, dan tidak akan pecah kerusuhan yang jauh lebih besar seperti 1998. Itu teorinya. Kecuali... bahwa demo yang kita lihat kemarin hanyalah the tip of the bisul.

Lagipula, memang kerusuhan di Indonesia itu terjadi berulang kali, berkala, dengan korban yang kira-kira ya mereka-mereka (kita-kita) itu.

Nasib.

Tidak ada komentar: