Thoughts and rants from an amateur dreamer, Epiphany of demi god semi devil, Horror from your old fat mama, Tyrant in disguise, Oracle of postmonition.
Kamis, 08 Desember 2016
Ujian Kaum Kristiani
Seakan-akan buat umat Kristiani, penggenapan dari beberapa ayat di Alkitab yang sudah dinubuatkan ribuan tahun lalu. Bahwa kita akan dimusuhin, dibenci, dan dibunuh karena mengikuti Dia. Seperti di Yohanes 16:1-3. Silakan cari sendiri kata-kata persisnya. Jangan jadi pembaca malas.
Di antara gempuran berbagai peristiwa tadi, ada 1 hal yang juga menggugat nurani. Gempa Pidie di Serambi Mekkah, Aceh. Gempa berkekuatan 6SR ini meluluhlantakkan banyak bangunan, selain korban jiwa. Tapi mungkin karena jauh dari ibukota, jadi pemberitaan tidak seriuh-rendah peristiwa-peristiwa yang ada di Jakarta.
Secara manusiawi sebagai orang yang terpojok dan terluka, pasti ada yang berpikiran bahwa gempa Aceh ini adalah "balasan Tuhan" atas peristiwa yang menciderai hak asazi agama Kristen untuk beribadah, karena terjadinya persis setelah pembubaran KKR di Bandung. Atau "balasan Tuhan atas penolakan terhadap salah satu calon gubernur DKI, atau atas demo besar 411 dan 212.
Tetapi aku memilih untuk tidak melihat Allah sebagai sosok pendendam yang bengis dan penuh amarah.
Gempa Aceh, BUKAN PEMBALASAN.
Karena Allahku adalah Allah yang baik hati. Dan sebagai mana doa Paus Fransiskus di Tahun Yubileum yang baru berlalu,
"Engkau telah mengajarkan kami bermurah hati seperti Bapa surgawi,dan telah mengatakan kepada kami bahwa barangsiapa melihat Engkau melihat-Nya."
"Engkau adalah wajah yang kelihatan dari Bapa yang tak kelihatan,wajah Allah yang mewujudkan kuasa-Nya terutama dengan pengampunan dan kerahiman :biarkan Gereja menjadi wajah-Mu yang kelihatan di dunia, wajah Tuhannya yang bangkit dan dimuliakan."
Kita harus ... terlebih pada saat ini... menunjukkan seperti apa Allah kita, seperti apa Bapa kita. Apakah yang bermurah hati? Apakah yang pemaaf dan pengampun?
Inilah saat ujian buat kaum Kristiani di Indonesia. Sanggupkah kita mengikuti Yesus dan memanggul salib kita? Sanggupkah kita memberikan pakaian kita saat jubah kita dirampas? Sanggupkah kita memberikan pipi kiri saat pipi kanan kita ditampar? Sanggupkah kita dianggap bodoh oleh manusia?
Secara manusiawi, mungkin kita tidak sanggup, maka berlututlah dan berdoalah, mintalah kekuatan pada Roh Kudus. . Justru pada titik saat kekuatan kita habis itulah, Allah akan menyatakan kekuasaanNya.
Tetaplah lembut hati, tetaplah bermurah hati. Bila ada sedikit saja hati kita tergerak untuk membantu korban gempa, korban bom Samarinda, lakukanlah. Mungkin Allah lah yang menggerakkan kita, melalui tulisan simpang siur di timeline dan di media.
Cibubur, 9 Desember 2016
Rabu, 07 Desember 2016
Islam di Persimpangan Jalan
Entah kenapa dikotomi Islam dan Non-Islam sekarang makin menjadi garis tegas dari sebelumnya garis putus-putus atau garis samar. Seakan di satu kubu adalah Islam. Di kubu lain berhadapan contender agama lain yang diakui di Negara Indonesia: Kristen (termasuk Kristen Protestan dan Kristen Katolik), Hindu, Buddha, Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan agama asli penduduk nusantara yang beragam (Kejawen, Sunda Wiwitan, dll.)
Pembauran ideal itu seharusnya tidak ada garis antara Islam dan Non-Islam, walaupun kita tau hal tersebut belom pernah sungguh-sungguh terjadi di negara Indonesia ini. Hal ini terbukti dengan masih hebohnya kita bila ada artis (atau lebih lagi) saudara dan anggota keluarga yang menikah beda agama. Ada semacam tabu dan bisik-bisik tetangga di dalamnya.
Adapun yang makin mempertajam segregasi ini adalah Aksi 411 dan yang paling aktual, 212. Lepas dari claim masing-masing pihak antara siapa yang pengikut demonya lebih banyak, siapa membela agama lebih taat, dan siapa yang demonya paling damai; tetap saja yang namanya pengerahan massa dalam jumlah besar menciderai rasa keamanan dan ketenangan bangsa.
Bagi yang turun ke jalanan, mereka punya argumentasi sendiri. Juga bagi mereka yang memilih untuk tidak turun ke jalan, saya rasa juga pasti punya argumentasi yang tak kalah kuatnya. Dan terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam aksi-aksi sipil belakangan, lagi-lagi umat Islam seperti dihadapkan pada dua kubu. Kubu yang mendukung dan actually turun ke jalanan, dan kubu yang memilih jalan lain.
Lebih parahnya, orang yang memilih tidak turun ke jalan pun akhirnya dikecam dan dihakimi sebagai tidak membela agama Islam, tidak taat beragama, tidak sayang Quran, dll. Adapun yang memilih tidak turun juga menyindir bahwa Allah tidak perlu dibela, ada yg lebih sayang agama daripada Allah, dll.
Instead berusaha reaching out untuk memdengarkan kubu lain, masing-masing kubu saling ejek di jalur-jalur social media dan saling sindir.
Atas nama kebebasan berbicara, kita seakan lupa untuk mendengar orang yang berbeda pendapat.
Atas nama hak bersuara, kita lupa akan hak orang lain juga.
Atas nama hak untuk beribadah, kita lupa kita menghalang-halangi orang lain untuk beribadah. Padahal yang mereka halang-halangi orang yang mencari Tuhan dalam damai pun. Lucunya mereka pun menuduh "kafir" dari orang yang mencari Tuhan.
Sebagai kaum Non Muslim yang masabodoh terhadap politik, awalnya pasti ada rasa resah dan takut, khawatir bahwa suatu saat, akan ada orang-orang yang merasa terjustifikasi dan terbenarkan untuk membully orang monoritas sebagaimana gejala yang kita lihat di UK pasca Brexit, dan di Amerika pasca kemenangan Trump dalam pemilu president.
Namun makin dicermati, kita (notabene kaum Non-Islam) hanyalah pelanduk yang mati ditengah-tengah saat dua gajah berkelahi. Dan tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan selain mawas diri dan bersiap mental untuk hal-hal terburuk (yang sesungguhnya sudah kami lakukan seumur hidup, anyway).
Kami hanya bisa mengadu kepada Allah... Allah yang kita percaya Satu dan Esa. Allah yang sama yang dibela oleh kelompok sebelah. Allah yang kita percaya adalah Sang Maha.
Sesungguhnyalah perang melawan keangkaramurkaan tidak semudah menentukan hitam dan putih. Banyak diantaranya abu-abu. Dan hal ini akan menjadi perjuangan saudara-saudara kami kaum muslim untuk menemukan jati diri baru dari perbedaan pendapat bahkan pertentangan pendapat yang ada.
Atau mungkin sudah saatnya ada yang dikorbankan untuk menjadi martir keragaman, sebagaimana GusDur menyerahkan dirinya dicabik-cabik singa yang lapar kekuasaan, justru saat di puncak kekuasaannya.
Mungkin hal-hal ini yang menyebabkan beberapa orang yang saya kenal memilih untuk melepas agama dan hidup dalam ketulusan dan kebaikan terhadap sesama, daripada beragama dalam kemunafikan.
Ironis bukan?
Sabtu, 05 November 2016
Airmata untuk AnakBangsa
Pasca demo 4 November dan ketegangan suasana politik sekitarnya, dan mudahnya akses terhadap berita membuat anak-anakku bertanya-tanya 'Apa yang sebenarnya terjadi?', yang tidak mudah dijelaskan karena banyak logical fallacy di dalamnya.
Ucapan Ahokkah biangnya? Pelintiran editan Sang Penghasut Buni Yani kah? Kebencian di alam bawah sadar kaum pribumi terhadap Cina kah? Politikkah? Atau memang agenda-agenda agama mayoritas untuk menjadi single supremacy dan mayoritas tunggal satu-satunya yang menguasai seantero negeri?
Lepas dari apa yang sesungguhnya terjadi, yang bahkan sampai saat ini saya yakin, yang kita lihat dari sisi elit politik maupun massa grassroot, hanyalah 'the tip of the iceberg'.
Pergolakan antar elit, dan kebencian lama di massa grassroot menurut gue ujung-ujungnya duit utk para sutradara di balik layar dan pentolan massa. Sisanya tinggal dibuat menari sesuai dengan gendang para pemain gelap ini.
Jo sempat bertanya "Apakah benar ada Ustad yang akan bayar 1M bila ada yang bisa bunuh Ahok?"
Pertanyaan berikutnya dari Adel tentang "sweeping terhadap Cina".
Terakhir kepolosan Greg yang bertanya "Kenapa orang-orang itu demo?" Yang gak bisa aku jawab karena sampai detik ini saya juga nggak ngerti tuntutannya apa.
Dan sehari setelah hajat keramaian yang katanya bernilai 100 Milyar proyek Sang Mantan tersebut, anak-anak gue hidup dengan realita baru di Indonesia. Bahwa sesama anakbangsa (yang mereka kira) baik, suatu hari akan berteriak kalap dan menyerang mereka, hanya karena mereka Cina.
Terlontar polos dari bibir mungil Greg "Oh man... aku nanti mau tinggal di Jerman aja", thinking bahwa yang akan dia hadapi nanti, adalah AnakBangsa yang tanpa alasan akan menyerang Cina.
Malam ini, airmata mengalir deras menangisi sekaratnya kepercayaan di hati anak-anakku bahwa semua AnakBangsa sama derajatnya di mata negara. Matinya optimisme kebangsaan yang berkebhinnekaan di dalam hati anak-anakku.
Bukankah anak-anakku juga layak disebut AnakBangsa walaupun kita Cina?
Cibubur, 5 November 2016.