Selasa, 26 April 2016

Kabar Buruk dari Tanah Air

Hari masih dini, lampu jalanan Paris pun masih redup. Sebuah pesan masuk ke Whatsapp yang hanya mengandalkan WiFi gratisan sepanjang perjalanan:

"Cie, Mama tangannya keple, sepertinya ada syaraf terjepit, harus opname di RS, tapi kamar RS penuh semua"

Demikian pesan dari Shanty, adik bungsuku, dari Surabaya.

Dalam kantuk yang luar biasa, aku berusaha menjawab oneliner: 
"Loh, kok bisa?"

Setelah itu, sebagian dari hati dan pikiranku tertambat pada kondisi mama, hanya bisa menelpon via whatsapp pada saat pagi sebelum bus berjalan lagi, karena Indonesia 5 jam lebih awal daripada Central European Time dengan Daylight Saving Time nya.

WiFi yang on-off dan perbedaan waktu menjadikan informasi menjadi dragging dan scarce.

Tiap kali bicara sama Mama, Mama selalu membesarkan hati dengan bilang 'gak kenapa-kenapa kok, tangannya lemes, nginep di RS dimonitor saja'.

Hasil MRI menunjukkan bahwa ada penyumbatan di otak kiri. Otak kiri, tangan kanan. Wrist down.

Kalo mau nurutin hati, pengen kabur pulang. Sampai ada reassurance lain dari adik-adik kalo mama gak kenapa kenapa.

Dan Paris pun tetap cerah, walaupun suasana mendung di Kapel Rue du Bac, dimana Katarina Laboure dan Louise de Marillac tidur dalam kecantikan abadi. Walaupun jantung Vincentius a Paulo berdenyut menjaga orang-orang miskin dan sakit, lama setelah dia pergi.

Paris, 19 April 2016

Tidak ada komentar: