Sabtu, 09 April 2016

Kita dan Budaya Kemarahan

Belakangan ada satu video yang berhasil menjadi viral. Isinya anak gadis berseragam SMA yang marah-marah dan mengancam polisi sambil membawa nama "bapak"nya yang merupakan salah satu petinggi di salah satu instansi.

Gadis yang bersama teman-temannya yang baru saja melampiaskan euphoria selesai Ujian Nasional (dan belom tentu lulus) ini, diberhentikan polantas karena mengendarai mobil dengan bagasi terbuka.

Alih-alih sadar dengan diingatkan secara baik-baik, anak kemarin sore ini dengan suara tinggi marah-marah. Melotot-melotot. Bak maling yang ketangkep kemudian lebih galak dari yang dimalingin.

Kemudian netizen dan media beramai-ramai memblow up kelakuan yang memang kurang pantas itu, dan diresonansi oleh social media dan citizen jurnalists. Mungkin antara lain gue.

Karena kabarnya jadi besar berkat resonansi ini, jadilah polisi terpaksa bertindak, melacak siapa gerangan dia, apalagi polisi yang diakuin si Bapak, menampik dia memiliki anak gadis. Dan saat polisi datang ke rumah, keluarga kaget dan ayah ybs justru sakit dan menginggal karena shock dan tertekan.

Memang belakangan ada budaya dan fenomena mengumbar kemarahan. Ada yang mengumbar kemarahan secara langsung seperti gadis ini.  Gesture nunjuk-nunjuk seakan-akan dia doang yang punya telunjuk. Dan mimik melotot-melotot seperti ibu tiri galak di sinetron lokal abal-abal.

Ada juga yang mengumbar kemarahan di media, dengan tulisan. Dan media yang dipilih adalah media sosial. Karena dengan media sosial, semua bisa menulis, semua bebas bicara.

Tetapi ada perbedaan mendasar dengan freedom of speech (atau freedom of writing) dengan freedom of attacking.  Sejak kapan keduanya itu dianggap identikal, atau paling tidak sejalan seiring?

Memang marah atau ngamuk itu so khas bangsa Indonesia. Bahkan salah satu serapan kata di Bahasa Inggris dari Bahasa Indonesia adalah "amock" ... mungkin orang bule kaget lihat bangsa kita ngamuk dan kalap seperti kesurupan.

Paling utama adalah, orang yang marah-marah padahal salah, itu biasanya menutupi ketakutannya karena sadar dia salah. Atau dia tau, kesalahannya yang ketahuan orang akan mengubah privilege-nya dari hak yang sebelumnya dia punyai secara tidak adil.

Yang kedua adalah orang nyinyir di media sosial, karena selama ini kita merasa banyak ketidakadilan yang tidak bisa dijamin apalagi diwujudkan oleh negara (termasuk institusi kenegaraan seperti DPR, Polisi, KPU), bahkan kadang kita merasa Tuhan pun gak adil karena yang korupsi tetap senyum manis nenteng Hermes, sedang yang jujur tetap kere.

Rasa ketidakadilan diperparah dengan deretan berita anak petinggi dan anak artis beken lepas dari hukuman setelah menabrak orang sampe mati. Juga artis cantik sexy yang dihukum ringan, bahkan sekarang bisa main film dan jual diri lagi.

Jadilah salah satu pelepasan kekesalan itu adalah ngoceh dan ngomel di social media. Iye, termasuk gue.

Dan bila ngomel massal ini dianggap sebagai bullying, ya itulah kefrustasian orang biasa menghadapi orang-orang yang merasa lebih punya hak daripada orang umum.

Mentang-mentang anak polisi, berarti boleh seenaknya. Mentang-mentang artis. Mentang-mentang kaya. Dan kementang-mentangan yang lain yang menjadi kesewenangan.

Jadi inget teman yang menunjukkan survei AC Nielsen bahwa media cetak yang paling banyak dibaca adalah majalah Hidayah, diiringi analisa "mungkin orang mau bahwa keadilan itu langsung ditegakkan dalam bentuk nyata" mengingat cerita-cerita di majalah Hidayah itu adalah... ya gitu deh..

When will netizen stop being nyinyir? Mungkin kalo keadilan benar-benar terwujud. Keadilan ala-ala Nabi Sulaiman atau Ratu Shima.

Bermimpi boleh, kan? Mumpung mimpi masih belom menjadi obyek pajak...

9 April 2016

Tidak ada komentar: