Minggu, 20 November 2016

Elegi untuk Sahabat

Terus terang bulan ini adalah bulan yang melelahkan. Bulan yang meluluhlantakkan semangat dan optimisme. Diawali dengan hingar bingar politik berbungkus agama yang membuat aku gundah dan bungsuku ketakutan. Bisnis yang tersendat di seberang lautan dihantam barang impor gelap. Dan kemenangan manusia ganjil di balik bola dunia yang dirayakan dengan gegap gempita oleh bahkan beberapa kawan.

Yoga outdoor yang biasanya sangat menyenangkan pun menjadi seperti siksaan karena fokus pikiran berkelebat liar ke sana ke mari.  Merangkak mencari ketenangan bathin yang entah bagaimana mendapatkannya.

Dan gong terbesarnya, salah seorang sahabat berpulang ke dalam keabadian Sabtu pagi.
 

Padahal Jumat malam lalu, sahabat ini masih berkabar di group whatsapp SD bahwa  dia pulang ke Surabaya untuk tugas kerja, suatu hal yang rutin dia lakukan selama ini.

Kami adalah teman satu SD, satu SMP, dan satu SMA. Dan keakraban muncul di group whatsapp SD kami. Mungkin karena SD kami dahulu hanya 2 kelas dan kami kenal satu sama lain dari jaman ingus kami masih meleleh dengan hebohnya, yang berakhir di usapan lengan seragam.

Dan group whatsapp  SD ini jugalah yang pembicaraannya paling absurd mulai dari perjalanan hidup masing-masing teruntai, termasuk pekerjaan, keluarga, kekhawatiran, hingga joke konyol.

Memang terus terang beberapa minggu belakangan, aku mencoba menjauhkan diri dari keriuhan group whatsapp. Berusaha meredakan gemuruh di dada sendiri dengan tidak menambah runyam obrolan yang terkadang gak jelas.

Sabtu pagi ada pertanyaan di group SMP/SMA apakah betul sahabat kami ini meninggal dunia (karena melihat postingan saudaranya di FB dia), yang dengan refleks saya bantah "Jangan ngomong sembarangan, anaknya lagi tugas kerja di Surabaya", hingga kehebohan melacak dari 2 group untuk mencari tahu apa yang terjadi.

 
Ternyata benar, David Lianto sudah berpulang karena kecelakaan kerja.

Langsung di kepala ini berputar film riwayat hidup di kepalaku. Bagaimana dia duduk di depan bangkuku saat SD. Kemudian kegokilannya hafal semua alamat rumah cewe-cewe satu sekolah. Bagaimana kita sering bertukar info sekitar kemacetan menuju rumah, karena rumah sahabat ini berdekatan dengan rumahku.

Dan terakhir japri mengenai kekhawatirannya terhadap anak lelakinya yang beranjak dewasa yang sedang dalam kondisi penuh pemberontakan. Kekhawatiran tulus seorang Ayah yang mungkin dalam kesehariannya lebih banyak menghabiskan waktu menginstal mesin di pabrik orang daripada menghabiskan waktu dengan putranya.

Bagaimana dia sering berseloroh mengenai sarapan rokok dan kopi di pagi hari. Sampai bagaimana resiko bekerja dengan mesin-mesin raksasa. Juga tentang kisah cintanya yang akhirnya menemukan pelabuhannya di orang yang tak terduga.

Bagaimana di reuni terakhir di bulan Agustus 2016, dia ingin sekali hadir, namun tidak sempat karena dia baru jalan darat setengah jalan dari Jakarta ke Surabaya saat acara reuni berlangsung.

How fragile life is... dan kita di sini masih disibukkan dengan siapa yang menista siapa... Betapa ironis.

Selamat jalan sahabat, berjalanlah lurus menuju Sang Pencipta, dan doakanlah semua yang masih berziarah menuju hari kiamat pribadi kita. Serahkanlah kekhawatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kita. Ia juga yang memelihara anakmu, keluargamu yang engkau tinggalkan.

Requiescat in Pace... beristirahatlah dalam damai, sahabat.. Tuhan mencintaimu...

In memoriam Antonius David Lianto Tedjosaksono, 19 November 2016.

Kamis, 10 November 2016

Suppressed Desires

Ada fenomena unik yang aku cermati selama menjelang Pilpres, Pilkada, baik di Indonesia maupun yang terupdate Pemilihan Presiden di Amerika.

Kenapa keagresifan itu menarik pengikut? Kenapa Prabowo, Habib Rizieq, dan Donald Trump banyak yang memilih? Apa yang menyebabkan mereka mengikuti pemimpin-pemimpin yang cenderung arogan, fasis, diktator, full of hatred, kejam dan tegaan?

Teori gue, sering obrolkan dengan beberapa teman. Awalnya dengan Jenny Xue, teman twitter dan online publisher di US. Kemudian dengan Lyna Augustine sesaat setelah US Election ditutup dan Trump diumumkan sebagai Presiden Amerika yang baru.

Teori gue itu adalah tentang "Suppressed Desires". Alias keinginan-keinginan terpendam.

Jadi begini, saat pertama kali mendarat di Amerika utk bersekolah lebih dari 25 tahun yang lalu (iya.. iya.. gue tau gue tua..) , saya sempat dibrief oleh kakak kelas yang berkali-kali mengingatkan: "Hati-hati ya. Jangan sampai bilang orang hitam itu negro. Nanti mereka marah. Harus bilangnya African American"...

Ucapan itu sampai membekas.. dan dari sana kita tau yang namanya "political correctness". Bahwa kita gak boleh bilang Chinky for Chinese because it's politically incorrect. Kita harus bilang Asian American. Dan seterusnya.

Karena banyaknya aturan political correctness di Amerika, maka banyak orang yang menahan diri dari mengatakan apa yang sesungguhnya, karena ditutupi dengan ameliorasi-ameliorasi.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Orang Cina gak boleh disebut Cina, harus disebut Tionghoa. Menurut gue saat kita diharuskan untuk memperhalus ucapan, saat itulah kita sebenarnya dibedakan dan diposisikan 'liyan', sehingga orang harus berhati-hati menjaga perasaan kita.

Coba bandingkan dengan arek-arek Suroboyo yang dengan santai meneriakkan kata "janc*k!!* sebagai ungkapan keakraban tanpa batas antar dua sahabat.

Sama juga sih dengan majalah dewasa dan pelacuran yang dilarang oleh pemerintah/ormas, malahan membuat orang menyalurkan hasrat seksual dengan memperkosa, pelecehan seksual, pedofilia, atau poligami (maaf, ini disclaimer, kalau ada pembaca yang menganggap poligami ini sah secara agama, ya monggo silakan nulis artikel sendiri dan jangan nyampah di blog maupun wall saya).

Rasa tertekan dalam ketidakbolehan menyerang agama lain dalam bingkai toleransi juga membuat suppresed desires di antara bangsa kita.

Jadi begitu ada orang-orang seperti Trump yang dengan leluasa mencaci maki kaum minoritas yang selama ini terlindung dalam gelembung political correctness, maka pecahlah kepundan kebencian dan rasa tertekan yang selama ini menghimpit kemerdekaan bicara. Atas nama freedom of speech pula, orang jadi merasa berhak berkata kasar yang berpotensi menyakiti orang lain yang selama ini dijaga perasaannya.

Begitu juga dengan orang-orang yang kemarin demo tanggal 4 November 2016 di jalan2 di Jakarta. Mereka sebenarnya sudah memupuk api dalam sekam. Negara yang kelihatan damai tentram gemah ripah loh jinawi ini ternyata menyimpan ketertekanan. Suppressed desires untuk mengusir yang 'liyan'.

Dan yang jelas liyan adalah yang secara fisik tampak berbeda. Kenapa Cina? Karena kita yang paling penakut dan diiriin oleh kaum pribumi. Kenapa bukan bule? Karena deep down inside, sebagai kaum inlander, masih ada rasa minder dan tidak percaya diri. Juga masih percaya adanya supremasi bule.

Saat suppressed desires orang banyak ini bertemu dengan teriakan Habib R*z**q, jadilah yang namanya jihad jalanan yang menginginkan pengadilan jalanan untuk satu orang yang bernama Ahok, dengan menakut-nakuti cina-cina lain.

Sambil menyelam minum air. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Apalagi dengan adanya backing donasi material dari you know who. Pecah bisulnya.

Jadi bagaimana?

Ada bagusnya sih. Dengan pecahnya bisul, seharusnya sementara aman, dan tidak akan pecah kerusuhan yang jauh lebih besar seperti 1998. Itu teorinya. Kecuali... bahwa demo yang kita lihat kemarin hanyalah the tip of the bisul.

Lagipula, memang kerusuhan di Indonesia itu terjadi berulang kali, berkala, dengan korban yang kira-kira ya mereka-mereka (kita-kita) itu.

Nasib.

Sabtu, 05 November 2016

Airmata untuk AnakBangsa

Pasca demo 4 November dan ketegangan suasana politik sekitarnya, dan mudahnya akses terhadap berita membuat anak-anakku bertanya-tanya 'Apa yang sebenarnya terjadi?', yang tidak mudah dijelaskan karena banyak logical fallacy di dalamnya.

Ucapan Ahokkah biangnya? Pelintiran editan Sang Penghasut Buni Yani kah? Kebencian di alam bawah sadar kaum pribumi terhadap Cina kah? Politikkah? Atau memang agenda-agenda agama mayoritas untuk menjadi single supremacy dan mayoritas tunggal satu-satunya yang menguasai seantero negeri?

Lepas dari apa yang sesungguhnya terjadi, yang bahkan sampai saat ini saya yakin, yang kita lihat dari sisi elit politik maupun massa grassroot, hanyalah 'the tip of the iceberg'.

Pergolakan antar elit, dan kebencian lama di massa grassroot menurut gue ujung-ujungnya duit utk para sutradara di balik layar dan pentolan massa. Sisanya tinggal dibuat menari sesuai dengan gendang para pemain gelap ini.

Jo sempat bertanya "Apakah benar ada Ustad yang akan bayar 1M bila ada yang bisa bunuh Ahok?"

Pertanyaan berikutnya dari Adel tentang "sweeping terhadap Cina".

Terakhir kepolosan Greg yang bertanya "Kenapa orang-orang itu demo?" Yang gak bisa aku jawab karena sampai detik ini saya juga nggak ngerti tuntutannya apa.

Dan sehari setelah hajat keramaian yang katanya bernilai 100 Milyar proyek Sang Mantan tersebut, anak-anak gue hidup dengan realita baru di Indonesia. Bahwa sesama anakbangsa (yang mereka kira) baik, suatu hari akan berteriak kalap dan menyerang mereka, hanya karena mereka Cina.

Terlontar polos dari bibir mungil Greg "Oh man... aku nanti mau tinggal di Jerman aja", thinking bahwa yang akan dia hadapi nanti, adalah AnakBangsa yang tanpa alasan akan menyerang Cina.

Malam ini, airmata mengalir deras menangisi sekaratnya kepercayaan di hati anak-anakku bahwa semua AnakBangsa sama derajatnya di mata negara. Matinya optimisme kebangsaan yang berkebhinnekaan di dalam hati anak-anakku.

Bukankah anak-anakku juga layak disebut AnakBangsa walaupun kita Cina?

Cibubur, 5 November 2016.

Jumat, 30 September 2016

Diaspora Overseas Chinese - Renungan dari Penang

Keinginan untuk menjelajah di Museum Sun Yat Sen di Penang, Malaysia, sejak tahun 2008 saat pertama kali kita menginjakkan Pulau Pinang untuk health check up di Adventist Hospital. Delapan tahun lalu, kita sengaja meluangkan waktu untuk menjelajah Georgetown dengan segala keunikannya yang merupakan salah satu UNESCO World Heritage Site.

Namun baru minggu ini, kita sampai ke sana, menjejakkan kaki di jalan yang strangely familiar dengan bau dupa dan bunga dari pedagang pinggir jalannya. Benar-benar membangkitkan kenangan.

Sambil mereka-reka.. diantara sederet jalan yang sekarang sudah menjadi shophouses di lorong sempit yang hanya muat 1 mobil, manakah yang menjadi pintu gerbang ke masa lalu Nasionalisme Cina dan terpisahnya Taiwan (Republic of China) dengan Cina daratan (People Republic of China).

Setelah bertanya sambil menyisir sebelah kanan jalan, akhirnya kita menemukan juga pintu masuk ke Museum Sun Yat Sen.


Dengan membayar RM5 /orang untuk biaya perawatan Museum, kita bertemu dengan guide yang dengan semangat 45 menceritakan mengenai sejarah rumah ini dengan bahasa Inggris yang luar biasa bagus.

Karena bosan dengan penjelasannya yang sangat detail (gue susah menghafalkan detail), gue memutuskan untuk berjalan ke ruang depan dimana terpampang foto Sun Yat Sen yang gue yakin jaman mudanya ganteng banget, juga biografi singkatnya.

 


Sebenarnya rada perplex juga dengan kenyataan bahwa pelarian Sun Yat Sen, pahlawan Taiwan sekaligus penjahat perang Cina, bisa sampai ke Penang, sampai kita menemukan kekagetan berikutnya bahwa perjalanannya itu as far as US dan Hawaii... komo cuma Penang.. (kitu cenah).. lihat peta pelariannya di bawah ini.


Dan terbayang bahwa untuk keberhasilan propaganda 三民主義 (Sanmin Zhuyi)  yang diusung Sun Yat Sen... ada beberapa faktor lain penentu keberhasilannya:

1. Kemampuan orasi yang diatas rata-rata, mengingatkan kita pada Bung Karno, yang disebut pengikut Revolusi Modern setelah Sun Yat Sen, ada beberapa pemimpin dari beberapa negara yang disebutkan mengikuti Pan Asianism.

2. Kemampuan menuliskan pokok pemikiran dan membuatnya menjadi propaganda. Contohnya speechnya dibawah ini:


3. Kemampuan mengumpulkan Overseas Chinese yang rata-rata adalah pedagang atau pengusaha sukses untuk mendukung gerakannya dengan sumbangan moril dan materiil. Sumbangan materiilnya bahkan sampai seluruh dunia mencapai lebih dari US$186,000.00 (pada jaman itu tahun 1911), dengan Indonesia (namanya masih Hindia Belanda) menyumbang US$32,550.00 . Daftar donatur asli sempat hilang dibakar, nama-nama dibawah ini kemudian dituliskan lagi oleh salah satu pengusaha Penang.


4. Wanita-wanita di sekitarnya. Selalu ada romansa dalam revolusi. Sebagaimana Soekarno dengan wanita-wanitanya, Sun Yat Sen juga menikah 4 kali, adapun istri ke 2 yang sangat terkenal karena menjadi pendamping revolusi. Foto istri ke 2 nya ada di bookmark yang dijual di dalam museum.


Dari persinggahan ke Museum Sun Yat Sen, terpikir bahwa, kekuatan dari revolusi Modern Sun Yat Sen adalah fondasi kuat dari sisi financial yang didukung oleh Overseas Chinese di seluruh dunia. Sumbangan uang datang dari 华侨 (hoaqiao) seluruh dunia.

Sebagai seorang hoaqiao, gue jadi berpikir, tahun itu angkatan keberapa dari leluhur yang meninggalkan Cina pertama kali? Diaspora macam apa yang ada di seluruh dunia. Seperti ditekankan oleh tour guide, philantropis macam Liem Sioe Liong dari Indonesia pun menyumbangkan banyak uang untuk membantu desanya di China (yang kebetulan tetangga desa kakek gue dari sisi mama).

Pun seperti kakek gue, dia masih concern dengan pembangunan di kampungnya, membangun sekolah dan membiayainya, dari jaman Cina masih tertutup dan rakyatnya sengsara, hingga akhir hayatnya, yang entah masih diteruskan atau nggak oleh paman-paman saya,

Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih mempunyai keterikatan kuat dengan Cina sebagai tanah leluhur? Ataukah kita lebih mempunyai keterikatan dengan Indonesia sebagai tanah tumpah darah? Diaspora apa yang kita bawa bila kita ada di luar negeri? Diaspora Cina, ataukah Diaspora Indonesia? Akanlah angkatan kita masih memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan orang-orang di kampung halaman leluhur di Cina, ataukah lebih perduli dengan kesejahteraan orang di kampung halaman sendiri di Indonesia?

Akankah Sun Yat Sen bisa sesukses itu bila dia hidup di jaman sekarang yang keterikatan terhadap Cinanya sudah lebih loose daripada angkatan pertama dan kedua?  Apakah kita masih bisa disebut 华侨 (hoaqiao) bila berbicara bahasa Mandarin saja kita gagap?

Apakah kebijakan Soeharto untuk penghapusan pengajaran bahasa Cina dari 1965 - 1998 itu langkah brilliant yang membentuk persatuan seluruh suku dengan menggunakan bahasa Indonesia? Ataukah memang cultural genoside dan merupakan kutukan untuk keturunan Cina di Indonesia? Bahkan seorang teman mempunyai sahabat orang Malaysia yang iri dengan kondisi bangsa kita yang hampir homogen secara bahasa, hal yang tidak bisa ditemukan bahkan di Malaysia?

Berkecamuk berbagai pikiran di kepala ini...

Penang, 27 September 2016

Selasa, 06 September 2016

"Bahagia apabila" atau "Bahagia walaupun"

Di dunia ini kebahagiaan itu bagaikan mantera yang dicari banyak orang. Dan sebagian besar tidak bahagia dengan kondisi mereka saat ini. 

Mereka merasa mereka akan "berbahagia apabila"...... 
- lebih kaya
- lebih cantik / ganteng
- lebih kurus / bertubuh ideal
- lebih pandai 
- lebih dicintai pasangan
Daftarnya bisa panjang dan tidak pernah berakhir.

Tapi kita tahu bahwa banyak orang yang mempunyai hal-hal tersebut di atas, juga tidak bahagia. Berapa banyak orang cantik yang bunuh diri, terjerumus dalam pergaulan sesat, terjebak perselingkuhan, kawin cerai, dst.

Yang menarik adalah ada tawaran bahagia dengan cara yang berbeda. Tawaran ini awalnya datang dari Injil. 

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."  (Mat 5:3-12)


Perikop di atas paralel dengan bacaan liturgi hari ini, 7 September 2016, yaitu Luk 6:20-26.

Kebahagiaan yang ditawarkan oleh Yesus adalah "bahagia walaupun"...

"Berbahagia walaupun" miskin,
"Berbahagia walaupun" berdukacita,
"Berbahagia walaupun" lapar dan haus,
Demikian seterusnya sampai perikop habis.

Apabila kita melihat dari mata manusia yang keduniawian, "bahagia walaupun" ini adalah hal bodoh. Orang miskin mana bisa bahagia. Bahkan ada joke yang mengatakan "menangis sambil naik ferrari lebih membahagiakan daripada menangis sambil berjalan kaki".

Tetapi bila ada tawaran "kenapa pula harus menangis bila kita bisa tersenyum atau tertawa?"... well mungkin sebagian dari kita tetep memilih naik Ferrari sambil nangis sih.. namanya juga manusia makhluk materialistik.

"Seeking happiness in material things is a sure way to be unhappy" ~ Pope Francis

Jadi buat mereka yang merasa bahwa kebahagiaan itu mahal, mereka mencarinya di tempat yang salah.


Bonus quote dari Bunda Teresa:


Mari mencari dan memperjuangkan kebahagiaan kita, karena Allah ingin kita bahagia....

Cibubur, 7 September 2016

Rabu, 31 Agustus 2016

Tergoda

Bacaan Injil Senin 29 Agustus 2016 adalah cerita yang sangat populer. Saking populernya tidak kurang dari Oscar Wilde menulis play/pementasan dengan tokoh dan jalan cerita sama. 

Pun beberapa pelukis kenamaan juga melukis subyek dalam cerita biblikal ini, dengan sudut pandang berbeda. Carravagio, pelukis Italia yang memperkenalkan konsep chiaroscurro (gelap/terang) dalam lukisan tidak hanya mempunya 1 gambar tentang pemenggalan St Yohanes Pembaptis, melainkan beberapa, dengan kekhasan chiaroscurro nya yang membuat lukisannya terasa mencekam.


Beberapa pelukis melukiskan betapa meriahnya tarian Salome dalam pesta Herodes. Dengan kostum khas abad pelukis tersebut hidup, yang tentunya berbeda dengan kostum saat Salome dan Herodes hidup.


Jadi bertanya-tanya wanita macam apakah Herodias? Manusia kejam yang meminta kepala orang lain sebagai hadiah? Wanita yang tega meninggalkan suaminya demi saudara suaminya yang penguasa? Yang menyodorkan anak gadis menari untuk "menyenangkan hati suaminya"?

Orang seperti apakah Herodes? Gengsi seorang penguasa saat dihadapkan di tamu-tamunya disaat ditagih untuk memenuhi janji yang di sesumbarkan sesaat sebelumnya. Dan laki-laki yang tega merampas istri saudaranya dan dijadikan istri sendiri. (Rupanya jaman-jaman itu berebut istri itu sudah biasa, seperti juga kisah Daud dan Betsheba).

Sikap bathin bagaimanakah yang dialami seorang Salome, yang menari karena menuruti ibunya, kemudian meminta kepala sesorang karena menuruti permintaan ibunya. Adakah rasa penyesalan dan ngeri meliputi hatinya sesaat setelah kepala Yohanes Pembaptis dipersembahkan padanya di atas nampan? Beberapa lukisan menunjukkan wajah ngeri dan pucat yang berpaling dari pemandangan ngeri penggalan kepala yang dihidang di piring.


Tapi yang paling menarik adalah tarian macam apa yang sampai membuat seorang raja terpikat sedemikian rupa sehingga ia berani menjanjikan separuh Kerajaannya dan bahkan (akhirnya) kepala nabi tawanannya? Kesenangan hati seperti apa yang membuat orang lupa diri? Keindahan apa yang dimaksud? Apalagi dikatakan menari di depan tamu-tamu raja.



Mari merenung..

Kamis, 25 Agustus 2016

Begini Rasanya Ditinggal Anak




Sebenernya cerita ini adalah flashback dr perjalanan Adeline mengikuti summer camp di Norwegia tgl 30 Jun - 24 Jul 2016 lalu. Tetapi karena safety issue, semua social media posting is discouraged demi keamanan anak2 yang mengikuti summer camp. Jadi gue baru posting sekarang.

Kita semua yang pernah muda pasti tahu radanya ditinggal pacar dan kemudian harus LDR. #eaaa... gak enak kan? Ditinggal anak lebih gak enak lagi. Suwer!!.. Apalagi dalam program ini, program koordinator menganut "No news is good news". Terlebih lagi dengan no gadget policy dan no communication with home selama program.


Saat pesawat mulai take off, seperti orang gila gue following the plane path via FlightStats. Wondering how she is doing inside airplane. If she warm enough for the trip, etc. 


Malam itu, setelah keberangkatannya, gue (yang biasanya begitu diem dikit langsung pules) nyaris gak tidur semalaman, kebangun tiap jam dan ngecek dia di mana. Edan kan? Untungnya besoknya udah mulai bisa tidur. 

Satu-satunya kabar kita terima dari program coordinator. Foto mereka nunggu boarding di CGK, transit di KUL, transit di AMS. Setelah itu gak ada news.


Sebetulnya ada blog program. Dan gue seperti orang gila sehari beberapa kali membuka website yang gak tiap hari diupdate *cobalah ngana bayangkan!!*

Sekalinya kita pergi berlibur tanpa anak gadis, saat kita memperbolehkan anak2 lanang beli permen di C*nd*licious, gue juga beli satu kantong sampe bapaknya anak-anak kaget kok mamanya ngikut doyan. Dan aku bilang: "ini untuk anak gadis" yang setelah itu diketawain karena anak gadis mah entah kapan pulangnya, masih lama banget.

Belum lagi setiap beberapa hari sekali, masuk ke kamar anak gadis dengan perasaan nostalgic... melihat sekeliling dan memikirkan sedang apa dan di mana dirimu yang slalu kurindu.. *nyanyi seperti Sammy Simorangkir*... hahahha

Saat camp akan berakhir, yang terasa adalah mixed feeling antara dia yang mau pulang ke pelukan, dan dia yang akan bersedih meninggalkan teman-teman di camp. Trman-teman yang 3 minggu sebelumnya awkward dan malu-malu, dan harus berpisah di zenith keakraban mereka (sebelum banyak konflik muncul kalau diperpanjang sampai jangka waktu tidak tertentu).



Begitu Flightstats menunjukkan pesawat BGO-AMS sudah bergerak, serasa melonjak hati ini. Perasaan semakin berdebar saat pesawat bergerak sepanjang jalur AMS-KUL. Ngalah-ngalahin deg-degannya menunggu pacar jaman baheula. Sumpah.


Dan lebih uring-uringan lagi saat penjemputan yang nyaris terlambat dan salah terminal (kita epic fail)... tetapi semua terbalas dengan nguwel-nguwel kepala anak gadis yang udah gak mandi puluhan jam. 


Dan malam harinya, membaca komentar semua temannya di buku BrokenPlanet nya.. I know you're gonna be okay.. 



May be deep down inside ada hal-hal yang selalu dikhawatirkan seorang ibu, worry because the unknown future, fear karena gak bisa melindungi anak lagi. But sometimes, there are things that better left unanswered and best left to God's hand.

29 July 2016
Mellow Mama