Selasa, 03 Januari 2017

Menimang Nilai Kebangsaan di Ende

Perjalanan ke Timur identik dengan mencari terang karena timur adalah dimana Matahari terbit. Berjalan ke Timur berarti menyongsong terbitnya mentari.

Perjalanan kami sekeluarga ke Tanah Timur diawali dengan menginjakkan kaki di kota Ende yang terletak di tengah Pulau Flores.

Kota ini sedikit dikenal orang, dan hanya menjadi persinggahan sementara turis yang ingin menaklukkan Puncak Kelimutu dengan danau tiga warnanya.

Yang orang lebih sedikit ketahui, bahwa di kota inilah gagasan kebangsaan yang menjadi dasar negara dikonsepkan oleh Bung Karno, yang kemudian kita kenal dengan nama Pancasila.

Lebih jauh lagi, perjalanan Bung Karno sebagai seorang pemuda yang vokal melawan Belanda, diasingkan dalam usia masih sangat muda ke Ende.

Dalam bayangkanku, tahun 1934, seorang pemuda dibawa naik kapal dari Batavia ke Ende, ditinggal di sini untuk memulai hidup dalam status tahanan luar yang harus melapor ke Belanda setiap hari.

Jangankan internet. Jaman itu bahkan tidak ada telepon.

Selain itu, ada beberapa orang lokal yang juga dibayar Belanda untuk memata-matai Bung Karno, yang dianggap membahayakan kekuatan Belanda di tanah air.

Tidak heran Bung Karno kemudian patah arang dan kehilangan gairah hidup. Bila bukan karena Ibu Inggit Ganasih, istrinya pada saat itu, dan Ibu Mertuanya, mungkin dia bukanlah Bung Karno yang kita kenal sekarang.

Dalam pembuangannya itu pula, Bung Karno berhubungan dengan banyak tokoh agama Islam dan Katolik di Ende, sehingga pengalamannya itu mewarnai Pancasila yang kelak kita sakti-saktikan.

Pengkonsepan lima sila ini sendiri terkristalisasi di tempat yang kini disebut Taman Renungan Bung Karno. Di tempat yang ditumbuhi beberapa beringin raksasa ini, Bung Karno memilih merenung di bawah pohon sukun.

Mungkin hal-hal besar baru bisa terjadi saat kita ada di lowest point of our life, sebagaimana dibuktikan oleh Bung Karno.



Hal-hal besar juga baru bisa terjadi bila kita ada di dalam selubung kasih yang luar biasa. Dalam hal ini, kasih tulus seorang istri yang gagal memberikan keturunan dan kemudiab mengalah untuk melepas suami tercinta kepada wanita lain.

Lepas dari tuduhan kepada Ibu Inggit bahwa dia seorang cougar yang saat itu berhasil menaklukkan hati seorang mahasiswa bernama Soekarno yang ngekos di rumahnya, dia dengan setia mendampingi Bung Karno selama 19 tahun, termasuk selama pengasingan di Ende, dan pengasingan di Bengkulu.  

Pernikahan mereka berakhir ketika di Bengkulu, Bung Karno bertemu dan jatuh cinta kepada Ibu Fatmawati yang saat Indonesia merdeka menjadi Ibu Negara, ibunda dari mantan presiden Megawati Soekarno Putri, Guruh, Guntur, Rachmawati.

Ibu Inggit memilih melepaskan Bung Karno supaya beliau bisa menikahi Fatmawati daripada dimadu. Sebuah sikap hidup luar biasa yang bahkan untuk wanita masa kini sangat sulit direalisasikan.

Di Taman Renungan ini pula, aku merenungkan nasib Pancasila yang sekarang ada diambang ancaman untuk dikembalikan kepada Piagam Jakarta yang sudah jelas ditentang banyak tokoh kemerdekaan pada jaman itu.

Kemerdekaan yang kita sekarang nikmati, adalah hasil perjuangan kolektif pahlawan dari segala suku, segala etnis, segala agama. Dan saat ini, akan dibelokkan untuk menjadi hak milik 1 agama saja.

Dan di taman ini dan di taman-taman imajiner seluruh negeri, pergolakan penentuan nilai-nilai kebangsaan tetap berlangsung, hingga saat ini.

Ende, 20 Desember 2016

PS: Pasca pemugaran 2012 oleh Wapres Budiono, ada 10 lokasi yang dipugar menjadi landmark sejarah Bung Karno di Ende, mulai dari pelabuhan Ende, pasar, percetakan, dll. 
Detail untuk napak tilas bisa ditanyakan ke penjaga Rumah Pengasingan Bung Karno.

Tidak ada komentar: