Kamis, 02 Maret 2017

Tentang Pantang dan Puasa, serta Penantian KedatanganNya

Gue udah jadi Katolik 20+ tahun, tetapi Katoliknya yang abangan. Alias Katolik KTP. Ke Gereja suka-suka. Pantang suka-suka (kalo inget). Puasa kaga pernah. Dan gue selow aja dengan kondisi itu. Mungkin itu yang namanya comfort zone. Boro-boro kenal dengan orang di lingkungan, kalo ke Gereja aja buru-buru cepetan pulang setelah komuni, bahkan sebelum berkat penutup.








As we get older, dengan meleburnya kita dalam komunitas dan ritual-ritual keagamaan, kita jadi bertanya ke dalam diri sendiri. Apa yang kita cari dengan mengikuti Dia? Dia yang dahulu dibenci bahkan dibunuh oleh lingkungannya. Dia yang disangkal muridnya. Dia yang dijauhi sanak keluarganya. Apakah kita akan tetap mengikuti Dia bila kita dibenci, disangkal, dijauhi?


Kita mulai mencari makna. Makna dari kenapa harus melakukan ritual keagamaan, kenapa harus ada doa di komunitas (dari Keluarga, lingkungan, hingga Misa di Paroki). Ada teman yang bahkan menyindir gue saat gue ikut Kursus Evangelisasi Pribadi, bahwa gue sedang religious masturbation. Orang yang ikut retret, pencurahan, adorasi, dianggap sedang masturbasi spiritual. Rest in Spirit dianggap orgasme spiritual.


Demikian juga saat kita memasuki Masa Prapaskah, dimana dari Gereja Katolik ada kewajiban berpantang dan berpuasa, ada juga sindiran bahwa puasa Katolik itu puasa nanggung. Puasa agama lain, lebih ‘keras’ dan lebih ‘sulit’ untuk dilakukan, therefore ‘berkat’ yang didapat juga lebih banyak, ‘dosa yang diampuni’ juga lebih banyak.


Mari kita kembali ke dalam hati kita. Niat kita untuk melakukan semua ritual keagamaan tersebut itu apa? Apabila niat kita untuk dilihat orang, namanya religious exhibitionism. Kalau kita melakukan ritual untuk dipuji orang, namanya religious masturbation. Kalau niat kita mendapat berkat dan ampunan, namanya pamrih, dan menganggap Allah manager investasi berkat dan ampunan. Kalau kita melakukan puasa supaya kurus, itu namanya diet.


Jadi bagaimana seharusnya hati kita?


Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa kita sudah diberkati, kita sudah ditebus dari dosa, kita sudah beroleh kasih sempurna dari Allah Bapa melalui misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan Bapa. Tetapi kita belum selesai dalam peziarahan di dunia. Dan sebagai Gereja yang Berjuang / Berziarah, teman seperjalanan kita banyak, dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang dalam kondisi berkekurangan makanan / pakaian / tempat tinggal. Ada yang dalam kondisi berkekurangan kasih sayang / perhatian / pendidikan.


Disaat itulah kita diminta tanggapannya, bagaimana kita menuju ke Bapa bila kita membiarkan Yesus yang kelaparan, kehausan, sakit, dipenjara (Matius 25:31-46)? Bagaimana kita meringankan beban saudara sepeziarahan yang bersama-sama ingin menuju Kristus. Bahwa doa, amal, dan puasa kita, kita persembahkan untuk silih atas dosa-dosa kita, silih atas penderitaan orang lain, silih atas Gereja dalam Penantian (yang kita percaya sebagai arwah orang beriman yang menanti di api penyucian).


Masalah penghakiman akhir, masalah dosa, masalah sah atau tidak puasa kita, kita serahkan semuanya ke Kerahiman Allah, karena kita pun tidak tahu, mana yang benar ataupun yang salah. Yang penting kita coba menjaga hati kita untuk benar dan lurus, menuju dan mengarah kepada Allah... Sangkan Paraning Dumadi... Alpha dan Omega kita...

Tidak ada komentar: