Jumat, 25 Juli 2014

It's (never) a Black and White World

Pemikiran ini diawali dari pertanyaan anak-anak, "Kenapa Prabowo dibilang melanggar HAM?"

Sebagai anak2 yang lahir setelah Era Millenium (paska Y2K), mereka sulit memikirkan bahwa negara yang dibilang 'gemah ripah loh jinawi' ini bisa menyebabkan luka bathin yang dalam di lokasi-lokasi bertikai, terlepas dari apakah pertikaian itu antara penguasa dan rakyat seperti Kasus Tanjung Priok dan Kedung Ombo, maupun pertikaian horizontal antar rakyat yang dipicu oleh dalang yang menghembuskan isu SARA seperti di Poso, Ambon. Apalagi penumpasan "pemberontakan" seperti di Timor Timur (sekarang sudah menjadi Negara Timor Leste), Papua, Aceh.

Aku sendiri, pra kejadian 98, atau lebih jauh lagi, yaitu sebelum kejadian Juli 1996, susah memikirkan ada Ibu Pertiwi yang memakan nyawa anak kandung sendiri. Negara yang membunuh rakyat. Mungkin aku adalah pengagum Film G30S/PKI, Janur Kuning, buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, dan pelajaran PMP dan PSPB yang dimotori oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Nugroho Notosusanto.  Jadi aku menelan bulat-bulat tai kucing yang disediakan pemerintah dan tercetak di buku-buku.  Aku juara 1 lomba cerdas cermat P4 tingkat SD se Kodya Surabaya saat kelas 6. Aku wakil sekolah untuk lomba bidang studi PMP/PSPB saat SMP. Aku ... produk sukses brainwash orde baru.

Keheranan dan keraguan mulai timbul saat SD kita diwajibkan nonton G30S/PKI di gedung bioskop. Dengan perasaan ngeri karena adegan yang di dramatisir, terutama saat Gerwani menari-nari sambil menyiksa para Jendral, mama membisikkan: "jangan percaya film ini, yang sesungguhnya terjadi gak seperti ini". Sumpah, suara mama yang lirih di gedung gelap saat kita fokus nonton adegan mengerikan itu, lebih seram dari thriller Stephen King.

Dan beberapa tahun sesudahnya, mama menceritakan bagaimana salah satu guru wanita di sekolah cina dimana dulu mama bersekolah, yang sangat sopan, baik hati dan lembut, suatu hari menghilang dan gak pernah kembali, karena dia dianggap Gerwani. Bahwa sesungguhnya gak ada kejadian penyiksaan oleh Gerwani. Bahwa mama pernah berminggu-minggu tidak tidur karena saat bersepeda keluar gang untuk berangkat sekolah, banyak mayat di sungai dekat rumah, setelah kejadian G30S. Sungguh mengguncang 'iman' akan sejarah bangsa ini. Jadi siapa yang benar?

Saat kuliah, sempat ada viewing film Riding the Tiger. Salah satu cuplikannya adalah kasus St Cruz di Dili, Timor Timur. Adegannya nyata, penguburan salah satu tokoh Fretelin yang meninggal beberapa hari sebelumnya, yang dihadiri banyak orang. Kemudian TNI merangsek berteriak-teriak. Orang-orang bubar. TNI menuju kameramen, dan kameramen (sepertinya) terjatuh, kemudian gelap. 

Adegan ini terulang di kepala saat anak-anak menanyakan masalah 'melanggar HAM'... Betapa 1 orang pahlawan suatu bangsa, adalah pembunuh buat bangsa lain. Betapa gerombolan penuntut kemerdekaan, adalah pengacau keamanan, pemberontak, buat golongan lain. Betapa pahlawan adalah siapa yang menang dan mencatatkan sejarah. Mungkin itu sebabnya sejarah disebut HIStory. 

Adegan demi adegan seperti berputar lagi di kepala ini, saat menonton film Act of Killing  nya Joshua Oppenheimer, saat jagal-jagal merasa jadi pahlawan, hanya karena mereka menang. Tidak ada penyesalan. Malah kejumawaan. 

Adegan berikutnya adalah saat FPI berteriak-teriak menyerang gereja dan orang beragama lain, dengan dalih membela Islam. Betapa pahlawan buat seseorang, adalah ancaman buat orang lain. Atau tetangga berburqa yang demi menghindari bersentuhan dengan laki-laki lain yang bukan muhrim, melemparkan kartu parkir kawasan ke tanah, untuk dipungut Bapak Satpam. Betapa keinginan kita untuk dekat dengan Tuhan membuat kita jauh dengan sesama, bahkan memperlakukan sesama manusia seperti binatang.

Sungguh betapa ironisnya bangsa ini... Ironis karena untuk menjadi orang baik untuk seseorang, kita harus jadi orang jahat untuk orang lain. Ironis karena untuk menjadi putih, kita akhirnya menjadi hitam....

Kota Wisata, 25 Juli 2014

PS: Thank you, mama, engkau membuat aku jadi manusia kritis yang kadang menyebalkan. Terima kasih atas sudah mengajariku:

Lebih baik memelihara kenyataan yang pahit daripada khayalan yang indah.




Tidak ada komentar: