Saya
lahir di Surabaya di keluarga besar dimana 1 mobil Fiat dipakai oleh seluruh
saudara ayah, dari tante, oom, papa, mama, kakek, nenek. Saya sendiri bersama
kakak, selalu ke sekolah dan les naik becak.
Waktu SD kelas 1 dan 2, dikarenakan di sekolah jam belajarnya singkat,
papa suka menjemput saya dengan Vespa-nya.
Waktu kecil, posisi bonceng saya adalah berdiri di depan papa. Serasa
seru sekali saat angin menerpa wajah dan rambut. Ketika saya mulai beranjak besar (benar-benar
besar karena badan saya bongsor), papa menolak memboncengkan saya karena saya
tidak bisa membonceng miring ala cewe. Sejak saat itu, apabila mobil keluarga
dipakai, saya kemana-mana naik becak, mulai dari sekolah, les, senam, dll. Saya
bahkan punya becak langganan.
Saya mulai belajar menyetir mobil kelas 1 SMA.
Kursus mengemudi selama 10 jam hari Minggu pagi, menjadi turning point saya untuk
mulai bepergian dengan moda transportasi selain becak tanpa harus tergantung
dengan jadwal sopir. Mobil pertama yang diserahkan adalah Honda Life warna
merah hati bekas dipakai oom. Mobil ini
sempat mencium roda belakang becak saat pulang dari extrakurikuler di sekolah
Minggu pagi.
Setelah
itu Honda Accord biru lagi-lagi bekas dipakai oom. Mobil ini sempat membuat saya dimaki- maki
dari sopir yang kebetulan saya salib ditengah genangan saat berangkat pagi ke
sekolah. Mobil saya diberhentikan dengan dipepet dan sopir itu marah-marah
karena dia menjadi basah kuyup karena dia menyetir dengan jendela terbuka.
Dasar
tomboy, saat menunggu keberangkatan kuliah di luar negeri, saya dan 2 sobat SMA
sempat mengikuti City Rally memakai mobil Honda Accord Prestige warna merah
metalik milik keluarga dengan ditempeli stiker nomor kepesertaan. Dan (apesnya)
berpapasan di jalan sama papa. Sejak saat itu, setiap pemberitahuan
perpanjangan Kartu Ijin Start dr IMI datang saat saya di luar negeri, surat
tersebut disobek-sobek oleh papa tanpa dibuka.
Saat
kuliah di luar negeri pun, saya dibelikan Honda Accord Cielo warna hijau, dan
merupakan sahabat saya berkelana ke luar kota sendirian. Teman setia saya
adalah pendeteksi radar polisi penangkap mobil yang melewati batas kecepatan. Dengan mobil ini, saya menuai speeding ticket sebesar USD 132, yang
dengan berat hati saya bayar sesaat sebelum pulang ke Indonesia setelah
kelulusan. Mobil ini pula yang pernah saya bawa tertidur di highway yang
mengakibatkan mobil saya terperosok ke jalur tengah akibat keasyikan memakai cruise-control pada kecepatan 80mph.
Sekembalinya
saya ke Indonesia, saya langsung memperoleh pekerjaan di Jakarta dan tinggal
menumpang di rumah tante. Lagi-lagi dipinjami mobil Mazda warna abu-abu yang
hebatnya, masih bisa dibawa mengebut memasuki tol dalam kota (yang waktu itu
belum terhubung, masih terputus di daerah Pluit – Ancol – Priok).
Tidak
lama setelah banjir, kantor melego beberapa mobil BMW yang terendam banjir
dengan diskon lumayan, maka mama membelikan mobil tersebut (yang setelah
discount, harganya jadi beda tipis dengan Toyota Corolla) untuk saya. Mobil BMW
320 warna biru ini benar-benar menyenangkan dibawa mengebut. Sunter – Bandara
via tol bisa ditempuh hanya dengan 10 menit subuh-subuh. Itupun setelah
menabrak cone orange yang entah mengapa teronggok di sisi kanan jalan tol
bandara.
Sayangnya
si gesit lincah ini tidak lama saya miliki. Saat kerusuhan 1998, mulailah saya
berpikir untuk memiliki mobil yang tidak menyolok dan tidak menjadi incaran
massa apabila terjadi kerusuhan serupa. Jadilah saya beralih ke Isuzu Panther
warna merah. Dasar biasanya menyetir sedan, saya hampir menabrak pembatas jalan
di tol Ancol arah Jelambar karena tikungan tajam dan saya terlambat membanting
setir, serta tidak berusaha memperlambat Panther saya.
Sejak
punya anak, kriteria saya untuk mobil sudah berubah dari “yang bisa ngebut”
menjadi “yang besar”. Suami saya sering menggoda saya, lain kali akan dibelikan
ELF yang dipakai travel Jakarta-Bandung supaya bisa mengangkut semua
teman-teman dan anak-anak serta pembantu-pembantu. Itupun tidak mengurangi hobi
ngebut saya, walaupun roda belakang saya pernah ngacir lepas saat membawa
anak-anak. Untungnya anak-anak duduk di carseat, sehingga aman.
Terakhir
setelah melahirkan anak ke 3, suami sempat memberi opsi: mau sopir atau mau
X-Trail bekas suami. Dengan cepat saya menyahut: MAU X-TRAIL!! Dan melanjutkan
hobi mengebut di jalanan Jakarta yang macet dan padat. Lain kali kalau orang
tua yang lain memaki-maki mobil saya yang ngebut mengantar anak ke sekolah,
harap maklum…. Yang nyetir mantan pereli.
Hehehe... X-Trail gue udah gak bisa dipake ngebut lagi 5 tahun setelah tulisan ini gue buat... gue berharap dapat lungsuran ... Pajero Sport...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar